Triliunan Dana Sawit Habis untuk Subsidi Biodiesel, Siapa Diuntungkan?
Membongkar Para Pemain Dana Sawit Biodisel

Ilustrasi: Biodiesel B35. (GAPKI)
law-justice.co - Pemerintah menetapkan adanya pungutan ekspor dan sejumlah iuran di sektor sawit. Dana sawit yang terkumpul lantas dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Salah satu misinya, tentu saja, sebagai dana litbang dan pelestarian sawit rakyat. Apa lacur, dana yang terkumpul kemudian justru lebih banyak dikucurkan dalam program biodiesel. Perbandingannya subsidi biodiesel menghabiskan anggaran belanja sebesar 97,09 persen dan sisanya baru dialihkan untuk program lain. Akibatnya, dana sawit ini justru dinikmati oleh segelintir taipan sawit. Kejaksaan Agung telah membidik adanya aroma kongkalikong bagi-bagi duit sawit di balik program biodiesel ini.
Penyidik Kejagung tengah melakukan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada tahun 2015-2022. Artinya sejak zaman Menko Perekonomian Sofyan Djalil selaku inisiator pembentukan BPDPKS hingga kini posisi Menko Perekonomian diemban oleh Airlangga Hartarto yang sekaligus menjadi pimpinan Komite Pengarah.
Airlangga sempat menjalani pemeriksaan di Kejagung hinga berjam-jam pada Juli lalu terkait kasus dana sawit ini. Meski pemeriksaan utama terkait kasus dugaan korupsi minyak goreng yang juga merupakan ranah BPDPKS. Sedangkan Sofyan Djalil hingga sekarang belum dipanggil penyidik.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memenuhi panggilan penyidik Kejaksaan Agung di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (24/7/2023). (Antara)
Meski demikian penyidik sempat memeriksa pimpinan Indonesia Heritage Foundation milik Sofyan Djalil. Mereka adalah Kepala Divisi Keuangan, Shifa Sinthia serta Direktur Pendidikan Penelitian Pengembangan dan Keuangan Florence Yulisinta Tanjung. Keduanya diperiksa tak berselang lama setelah Kejagung menaikan status kasus korupsi BPDPKS ke ini tahap penyidikan pada September lalu.
Setelah memeriksa dua saksi tersebut. Penyidik melakukan penggeledahan di kantor yayasan yang berlokasi di Jalan Raya Bogor, Depok, Jawa Barat. Penyidik juga menyita sejumlah barang atau dokumen. Saat ditanya, tindak lanjut atas perkembangan penyidikan kasus ini, Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana tidak bicara banyak. “Kami masih penyidikan umum. Kalau sudah ke penyidikan khusus sudah ada tersangka dan kerugian riil nanti kami sampaikan,” kata Ketut saat dihubungi Law-justice, Jumat (3/11/2023).
Sejak naik penyidikan, Kejagung sudah melakukan belasan pemeriksaan dengan menggali keterangan dari puluhan saksi. Sejumlah saksi mengindikasikan fokus penyidikan terkait relasi BPDPKS dengan korporasi sawit. Penyidik berulang kali meminta kesaksian dari Wilmar dan Sinar Mas.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Lalu Hendri Bagus, mengatakan kasus korupsi BPDPKS bisa kentara konflik kepentingannya karena banyak pihak di jajaran pimpinan korporasi sawit yang sebelumnya berkecimpung di ranah politik-pemerintahan atau disebut Politically Exposed Peoples (PEP’s). “Jadi orang-orang yang memiliki kepentingan. Mereka ada relasi ke politik dan berkepentingan pula di industri sawit. Misal, seorang yang sudah selesai di pemerintahan lalu masuk ke direksi perusahaan sawit. Mereka ditempatkan di posisi strategis untuk melakukan lobi-lobi ke pemerintah,” kata Hendri kepada Law-justice, Kamis.
“Kuat dugaan kami subsidi yang tinggi itu ulah PEP’s itu yang ditaroh oleh perusahaan yang ditunjuk oleh Airlangga untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya kembali lagi kepada perusahaan yang mereka wakili,” ujarnya. Dia mengaku tak terkejut ketika ada dugaan donasi tidak halal yang mengalir ke yayasan milik Sofyan Djalil. Sebab, Sofyan yang pernah membawahi BPDPKS memiliki relasi dengan sejumlah korporasi sawit yang membersamai penetapan kebijakan program maupun anggaran dana sawit. “Donasi politik sangat besar dari sektor sawit,” katanya.
Merujuk kajian TII soal penilaian 50 perusahaan sawit di Indonesia, jumlah PEP’s di perusahaan sawit mencapai 80 orang dengan beragam kategori dari 33 perusahaan. Mereka mulai dari kalangan; Birokrat (19 orang); Oligarki (7 orang); Kerabat/Orang dekat PEPs (15 orang); Aparat Penegak Hukum (13 orang); Militer (7 orang); dan Jabatan Strategis (19 orang).
Adapun perusahaan dengan PEP’s yang sering diundang oleh Komite Pengarah BPDPKS, seperti Grup Wilmar memiliki sedikitnya 3 PEP’s dan Grup Sinar Mas diisi 6 PEP’s. Kami mencoba mengonfirmasi soal PEP’s ini dan intervensi Sinar Mas dalam penentuan HIP Biodiesel ke Dian Wulan Suling, tetapi belum berkenan menjawab. “Saya kebetulan lagi dinas. Nanti saya follow up kembali sepulang dari dinas ya,” kata Head of Corporate Communications PT SMART itu saat dihubungi.
Hendri menduga modus korupsi kasus ini adalah mark up dana subsidi sawit. Modus seperti ini tak sulit dilakukan lantaran kebijakan anggaran dan program di BPDPKS disusun sarat konflik kepentingan. “Ada manipulasi anggaran, menggelembungkan biaya seperti program biodiesel untuk kepentingan kelompok tertentu. Jadi pejabat memihak dengan perusahaan yang memiliki kedekatan pribadi,” katanya.
Law-Justice mencoba untuk meminta keterangan kepada pihak BPDPKS namun hingga saat ini pihak BPDPKS belum memberikan jawaban terkait hal tersebut. Kantor BPDPKS di kawasan Imam Bonjol Jakarta Pusat terlihat lengang dan tak ada pihak yang bersedia dimintai keterangan.
Apa BPDKS, Bagaimana Perannya Dalam Bagi-bagi duit Sawit?
BPDPKS dibentuk sesuai Undang Undang No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Mula lahirnya BPDKS menyasar program penelitian dan pengembangan, peremajaan sawit, peningkatan sumber daya manusia serta kemitraan dengan sawit rakyat. Namun, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 dan Peraturan Presiden 61/2015 yang menjadi pedoman penggunaan dana pungutan ekspor dipakai untuk subsidi biodiesel.
Oleh karena itu, program peremajaan sawit rakyat (PSR) dikesampingkan. Berdasar data realisasi belanja BPDPKS tampak nilai ketimpangan antara dana subsidi biodiesel untuk PSR. Pada 2021 saja, subsidi biodiesel mencapai Rp51,9 triliun, sedangkan alokasi untuk PSR hanya 1,3 triliun. Perbandingannya subsidi biodiesel menghabiskan anggaran belanja sebesar 97,09 persen dan sisanya baru dialihkan untuk program lain.
Ketua Umum Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI), Pahala Sibuea merasakan betul bagaimana ketimpangan anggaran itu. Menurutnya, petani juga berkontribusi pada pungutan ekspor CPO. Sebab, dari hasil panen sawit petani lah, alur produksi-ekspor CPO sekurang-lebihnya bisa berjalan.
“Petani iri dengan program biodiesel ini karena subsidi lebih besar dibanding untuk PSR yang sejatinya untuk kebaikan sawit rakyat. Hitung-hitung secara kasar areal sawit petani sawit rakyat 41 persen. Secara produktivitas 1,5 ton perbulan. Dan kontribusi ke CPO ada 30 persen,” kata Pahala kepada Law-justice, Jumat.
Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron mengungkap potensi penyimpangan dalam program biodiesel B35. Menurutnya, ada pelanggaran dalam alokasi dana dalam bentuk subsidi kepada perusahaan sawit. Politisi yang akrab disapa Kang Hero ini merasa apa yang dilakukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sudah jauh dari ruh pembentukan awal badan tersebut.
Sejatinya, Hero menyebut bila dana BPDPKS diperuntukkan bukan untuk mensubsidi harga biodiesel. "BPDPKS sudah jauh dari ruhnya. Saya semakin aneh karena kok kalau melihat alokasi anggaran sekarang menyimpang, dari sebelumnya untuk peremajaan dan peningkatan produktivitas petani sawit malah sekarang lebih banyak digunakan untuk subsidi selisih harga biodiesel," kata Hero melalui ketika dikonfirmasi, Selasa (31/10/2023).
Herman mengutip laporan keuangan BPDPKS 2021 yang komposisinya sudah sangat jauh, dimana Rp 51 triliun untuk subsidi selisih harga biodiesel dan hanya Rp1,3 triliun untuk peremajaan lahan sawit. Ia menegaskan aturan soal BPDPKS tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Kemudian, lahir Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
"Jenis kelamin BPDPKS ini gak jelas. Karena dia tidak masuk di Komisi IV, juga tidak masuk di Komisi VI. BPDPKS nyaris tidak ada pengawasan secara khusus terhadap pelaksanaan karena di bawah langsung Kemenko Perekonomian. Ini yang menurut saya pelanggarannya semakin jauh," ungkapnya.
"Kalau sekarang sebagian besar dananya digunakan untuk subsidi selisih harga biodiesel, sekali lagi saya pastikan ini adalah pelanggaran. Pelanggaran keuangan yang sesungguhnya sudah diamanatkan di dalam UU bahwa dana ini bukan untuk mensubsidi terhadap selisih harga biodiesel," sambungnya.
Untuk itu, ia menyerahkan sepenuhnya kasus korupsi di BPDPKS kepada penegak hukum. Namun, ia menyesalkan anggaran sebesar itu seharusnya bisa dirasakan oleh para petani sawit. "Kalau untuk urusan korupsi, penyalahgunaan kewenangan dan lain sebagainya, silahkan ke penegak hukum. Tapi esensinya bagi kami adalah supaya anggaran itu betul-betul bermanfaat bagi rakyat khususnya para petani sawit rakyat," tandasnya.
Sementara itu, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah agar tidak membiarkan kasus biodiesel berlarut-larut supaya itu terjadi opini liar di publik. Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung menyebut hal itu dimaksudkan agar kasus tersebut tidak berdampak terhadap masa depan program biodiesel nasional dan petani sawit tidak menjadi korban.
"Kalau ada catatan di biodiesel, kami setuju Kejagung sebagai aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya. Kalau ada yang salah segera diselesaikan agar tidak ada multitafsir. Orang akan tanya (biodiesel) akan dilanjutkan atau tidak. Tapi itu jangan berlarut-larut karena ini tidak baik bagi kami petani sawit," kata Gulat, Jumat (03/11/2023).
Gulat mengingatkan bahwa biodiesel merupakan mandatory pemerintah bagi kemandirian energi, dan agar minyak sawit dapat terserap di dalam negeri. Hal itu terbukti selama empat tahun terakhir harga tandan buah segar (TBS) petani juga meningkat mengikuti pergerakan harga minyak sawit dunia. Data Apkasindo menunjukkan, harga TBS petani pasca implementasi mandatori B30 meningkat menjadi Rp1.800 per kg sampai Rp2.550 per kg, atau lebih tinggi dibanding tingkat harga pada tahun-tahun sebelumnya yang hanya Rp700 per kg sampai Rp1.200 per kg.
Menurut Gulat, semua pihak juga perlu hati-hati dalam menyikapi kasus biodiesel karena akan ada efek domino terhadap petani sawit. Pasalnya, instansi terkait pelaksana program biodiesel, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perekonomian, Pertamina, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Kementerian Pertanian, akan mengevaluasi program tersebut jika ada masalah hukum, bahkan tidak menutup kemungkinan akan dihentikan.
"Kalau biodiesel dihentikan akan ada 13,5 juta ton per tahun minyak sawit yang tidak terserap," ujar Gulat.
Dia mencontohkan, harga minyak sawit langsung terkoreksi begitu ada berita mengenai kasus biodiesel. Harga tender minyak sawit di Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) turun dari Rp11.300 per kg dan sempat menyentuh Rp9.800 per kg. "Harga minyak sawit yang anjlok akan terkoneksi dengan 17 juta petani. Isu sawit yang sedang tidak baik-baik saja akan mempengaruhi industri (sawit) secara global di Indonesia," papar dia.
Berdasarkan catatan Apkasindo, harga TBS petani swadaya terjun bebas dari Rp3.300 per kg menjadi di bawah Rp1.500 per kg saat ada larangan ekspor minyak goreng dan bahan baku turunannya, termasuk minyak sawit pada 28 April 2022. Harga mulai terkerek menjadi Rp2.200 per kg saat pemerintah membuka kembali keran ekspor pada 24 Mei tahun lalu. Setelah itu harga terus fluktuatif di bawah Rp2.500 per kg, dan belum pernah pulih seperti sebelum adanya larangan ekspor.
Gulat mengingatkan, pemerintah perlu mengapresiasi industri sawit nasional. Ekonomi Indonesia dapat bangkit dengan cepat usai pandemi karena ditopang oleh industri kelapa sawit. "Dunia sampai takut kekurangan suplai minyak sawit, tapi di dalam negeri emas hijau tersebut belum menjadi icon," ungkapnya.
Anggota Komisi III DPR RI Santoso menyoroti bobroknya kinerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Santoso menyebut jika manajemennya baik maka tidak akan terjadi dugaan tindak pidana korupsi (tipikor). "Kinerja amburadul, terbukti besarnya nilai dugaan korupsi dari dana yang dikelola BPDPKS sangat besar. Jika manajemennya baik akan sulit pihak direksi melakukan korupsi yang besar itu," kata Santoso, Jumat (03/11/2023).
Santoso menuturkan bila dugaan tipikor itu terjadi karena minimnya pengawasan kepada BPDPKS. Terlebih instansi yang membawahi BPDPKS tentu ikut terlibat dalam tipikor tersebut. "Peristiwa korupsi itu terjadi bisa saja karena pengawasan dari oknum instansi yang membawahi BPDPKS ikut terlibat dan kecipratan dana yang dikorupsi itu. Karena modus korupsi tidak dilakukan oleh seorang diri melainkan dilakukan secara bersama- sama," ujarnya.
Terlebih politisi partai Demokrat itu menyampaikan, komoditas sawit sangat menjanjikan dan menjadi primadona untuk mendapatkan dana besar. "Komoditas sawit adalah primadona dalam mendapat dana baik untuk pajak dan juga iuran dari perusahaan yang bergerak di bidang sawit kepada BPDPKS," imbuhnya.
Siapa Saja Raksasa Penikmat Dana BPDKS?
Konflik kepentingan terbuka lebar dalam tata kelola dana sawit yang dihimpun Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sebab, ada komite pengarah di dalam lembaga pemerintah berbentuk badan layanan umum atau BLU yang berdiri sejak 2015 itu. Rapat komite berisikan perpaduan antara unsur pemerintahan dan swasta yang disupervisi menteri perekonomian. Masalahnya, hasil rapat komite ini yang menentukan kebijakan dan anggaran untuk program tata kelola sawit, semisal subsidi biodiesel.
BPDPKS sepanjang 2016-2020 telah mengucurkan sekitar Rp 57,7 triliun insentif biodiesel untuk 23 perusahaan sawit. Berikut daftarnya:
- PT Anugerahinti Gemanusa merupakan anak usaha dari PT Eterindo Wahanatama pada tahun 2016 menerima insentif biodiesel sebesar Rp 49,48 miliar.
- PT Batara Elok Semesta Terpadu menerima insentif dari BPDPKS senilai Rp1,13 triliun sepanjang 2017-2020. Rinciannya, pada tahun 2017 menerima Rp 241 miliar, Rp109,83 miliar diterima pada 2018, Rp56,45 miliar pada 2019, dan Rp728 miliar diterima pada tahun 2020.
- PT Bayas Biofuels menerima insentif biofuel sebesar Rp3,5 triliun sepanjang 2016-2020. Pada 2016, perusahaan ini menerima Rp438 miliar. Selanjutnya, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp866 miliar pada 2018, Rp487,8 miliar pada 2018, Rp129,9 miliar pada 2019, dan Rp1,58 triliun pada 2020.
- PT Dabi Biofuels menerima insentif biofuel sebesar Rp412,3 miliar pada 2017-2020. Rinciannya, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp110,5 miliar pada 2017, Rp171,3 miliar pada 2018, Rp80,82 miliar pada 2019, dan Rp49,68 miliar pada 2020.
- PT Datmex Biofuels menerima insentif biodiesel sebesar Rp677,8 miliar pada 2016. Lalu, Rp307,5 miliar pada 2017. Selanjutnya, perusahaan ini menerima insentif sebesar Rp143,7 miliar pada 2018, Rp27 miliar pada 2019, dan Rp673 miliar pada 2020.
- PT Cemerlang Energi Perkasa mendapatkan insentif sebesar Rp615,5 miliar pada 2016, lalu Rp596 miliar pada 2017, lalu Rp371,9 miliar pada 2018, Rp248,1 miliar pada 2019, dan Rp1,8 triliun pada 2020.
- PT Ciliandra Perkasa menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS lebih dari Rp2,18 triliun sepanjang 2016-2020. Rinciannya sebesar Rp564 miliar diterima pada 2016, Rp371 miliar pada 2017, Rp166 miliar pada 2018, Rp130,4 miliar pada 2019, dan Rp953 miliar pada 2020.
- PT Energi Baharu Lestari menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS lebih dari Rp302,47 miliar sepanjang 2016-2018. Rinciannya, sebesar Rp126,5 miliar pada 2016, Rp155,7 miliar pada 2017, dan Rp20,27 miliar pada 2018.
- PT Intibenua Perkasatama menerima insentif sebesar Rp381 miliar pada 2017. Kemudian, Rp207 miliar pada 2018, Rp154,29 miliar pada 2019, dan Rp967,69 miliar pada 2020.
- PT Musim Mas mendapatkan insentif biodiesel sebesar Rp7,19 triliun sepanjang 2016-2020. Tercatat, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp1,78 triliun pada 2016, Rp1,22 triliun pada 2017, Rp550,3 miliar pada 2018, Rp309,3 miliar pada 2019, dan Rp3,34 triliun pada 2020.
- PT Sukajadi Sawit Mekar menerima lebih dari Rp1,32 triliun sepanjang 2018-2020. Rinciannya, perusahaan mengantongi insentif sebesar Rp165,2 miliar pada 2018, Rp94,14 miliar pada 2019, dan Rp1,07 triliun pada 2020.
- PT LDC Indonesia menerima insentif sekitar Rp2,77 triliun pada 2016-2020. Tercatat, BPDPKS mengucurkan insentif sebesar Rp496,2 miliar pada 2016, Rp596,68 miliar pada 2017, Rp231,1 miliar pada 2018, Rp189,6 miliar pada 2019, dan Rp1,26 triliun pada 2020.
- PT Multi Nabati Sulawesi menerima insentif sebesar Rp259,7 miliar pada 2016. Begitu juga dengan tahun berikutnya sebesar Rp419 miliar. Lalu, kembali mengantongi insentif sebesar Rp229 miliar pada 2018, Rp164,3 miliar pada 2019, dan Rp1,09 triliun pada 2020.
- PT Wilmar Bioenergi Indonesia mendapatkan insentif biofuel dari BPDPKS sebesar Rp1,92 triliun pada 2016, Rp1,5 triliun pada 2017, dan Rp732 miliar pada 2018. Kemudian, perusahaan kembali menerima dana insentif sebesar Rp499 miliar pada 2019 dan Rp4,35 triliun pada 2020.
- PT Wilmar Nabati Indonesia mendapatkan dana insentif sebesar Rp8,76 triliun selama 2016-2020. Rinciannya, Wilmar Nabati menerima insentif sebesar 2,24 triliun pada 2016, Rp1,87 triliun pada 2017, Rp824 miliar pada 2018, Rp288,9 miliar pada 2019, dan Rp3,54 triliun pada 2020.
- PT Pelita Agung Agriindustri dalam periode 2016-2020 menerima dana insentif sekitar Rp1,79 triliun. Terdiri dari Rp662 miliar pada 2016, Rp245 miliar pada 2017, Rp100,5 miliar pada 2018, Rp72,2 miliar pada 2019, dan pada Rp759 miliar pada 2020.
- PT Permata Hijau Palm Oleo menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS sebesar Rp2,63 triliun sepanjang 2017-2020. Angka itu terdiri dari Rp392 miliar pada 2017, 212,7 miliar pada 2018, Rp109,8 miliar pada 2019, dan Rp1,35 triliun pada 2020.
- PT Sinarmas Bio Energy dalam periode 2017-2020 menerima sekitar Rp1,61 triliun. Besaran itu terdiri dari insentif sebesar Rp108,54 miliar pada 2017, Rp270,24 miliar pada 2018, Rp98,61 miliar pada 2019, dan Rp1,14 triliun pada 2020.
- PT SMART Tbk dalam periode 2016-2020 menerima sekitar Rp2,41 triliun. Besaran itu terdiri dari insentif sebesar Rp366,43 miliar pada 2016, Rp489,2 miliar pada 2017, Rp251,1 miliar pada 2018, Rp151,6 miliar pada 2019, dan Rp1,16 triliun pada 2020.
- PT Tunas Baru Lampung Tbk menerima insentif dari BPDPKS sekitar Rp2,08 triliun sepanjang 2016-2020. Angka itu terdiri dari insentif Rp253 miliar pada 2016, Rp370 miliar pada 2017, Rp208 miliar pada 2018, Rp143,9 miliar pada 2019, Rp1,11 triliun pada 2020.
- PT Kutai Refinery Nusantara mendapatkan aliran dana dari BPDPKS sebesar Rp1,31 triliun sejak 2017 sampai 2020. Rinciannya, Kutai Refinery mengantongi insentif sebesar Rp53,93 miliar pada 2017, Rp203,7 miliar pada 2018, Rp109,6 miliar pada 2019, dan Rp944 miliar pada 2020.
- PT Primanusa Palma Energi hanya mendapatkan insentif biofuel sebesar Rp209,9 miliar pada 2016.
- PT Indo Biofuels menerima dana insentif biofuel sebesar Rp22,3 miliar pada 2016.
Sejak kali pertama dibentuk pada era Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, komite pengarah diberi keleluasaan menunjuk kalangan pengusaha sawit sebagai narasumber dalam rapat. Kala itu, Sofyan sudah melibatkan Master Parulian Tumanggor, mantan Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia dan Weibianto Halimdjati alias Lin Che Wei untuk membahas subsidi biodiesel. Dua orang itu belakangan tersangkut kasus korupsi minyak goreng sampai menjadi terpidana lantaran merugikan keuangan negara hingga Rp6,47 triliun.
Selepas Sofyan Djalil, Airlangga Hartarto yang membawahi komite itu melalui Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 134 Tahun 2020 pada Maret 2020 menunjuk lima pengusaha sawit: Martua Sitorus, pendiri Grup Wilmar; Martias Fangiono alias Pung Kian Hwa dari Grup Surya Dumai; Arif P. Rachmat, anak mantan CEO Astra, T.P. Rachmat, yang mendirikan PT Triputra Agro Persada Tbk; dan Franky Oesman Widjaja, putra taipan Eka Tjipta Widjaja yang memimpin Grup Sinar Mas. Dari unsur petani, masuk Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo).
Ketua Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit, Marselinus Andry menduga rapat komite itu yang memuluskan subsidi biodiesel untuk sejumlah korporasi sawit besar. Penentuan besaran subsidi bahan bakar solar yang dicampur minyak sawit ini tidak lepas dari pengaruh para pengusaha sawit. “Sebetulnya nilai untuk subsidi biodiesel itu komponennya dari mana saja. Nah itu yang sampai saat ini belum ada informasinya dan enggak terbuka,” kata Andry, Kamis (2/11/2023).
Adapun dana subsidi biodiesel ini berasal dari pungutan ekspor sawit. Dana yang disetor oleh perusahaan-perusahaan sawit itulah yang digunakan mensubsidi selisih harga antara solar dan biodiesel. Besaran subsidi yang diterima korporasi adalah selisih harga indeks pasar (HIP biodiesel dan HIP solar. HIP Biodiesel memakai rumus (harga CPO+faktor konversi) x (870 kilogram per meter kubik + ongkos angkut). Angka 870 itu merupakan patokan konversi dari kilogram ke liter. Merujuk Peraturan Presiden Nomor 66/2018, ongkos angkut dan faktor konversi sebenarnya ditentukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Merujuk Jurnal KPK pada 2021, terdapat temuan soal penentuan HIP Biodiesel yang tidak transparan. Patokannya dalam jurnal itu, pemerintah disebut belum punya formula yang benar-benar kredibel dalam menentukan HIP Biodiesel yang efisien dan ekonomis. Juga, penetapan HIP Biodiesel belum mengacu pada standar harga keekonomian dalam setiap komponen biayanya.
Sebab, tidak bisa ditelusuri semua komponen yang membentuk HIP Biodiesel tersebut, terutama pada besaran konversi CPO menjadi biodiesel. Pun, tak dijelaskan rujukan biaya konversi tersebut, baik lewat regulasinya maupun dalam pengumuman di website resmi Kementerian ESDM dan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konversi Energi.
KPK juga memukan adanya selisih secara akumulasi antara HIP biodiesel yang sudah berlaku dengan HIP yang dihitung KPK dari periode Januari-Desember 2020. HIP biodiesel paling besar menurut hitungan KPK adalah Rp 9.141/liter per Desember. Sedangkan HIP versi Kemen ESDM Rp9.505/liter. Sehingga, dalam periode tersebut atau sejak Program B30 dilaksanakan, hasil perhitungan menunjukan terdapat potensi inefisiensi pemberian subsidi biodiesel sebesar Rp 4.204.844.899.650, yang merupakan kerugian keuangan negara.
Kata Andry, musykil tidak terjadi permainan dalam penentuan besaran subsidi. Potensi nilai subsidi bisa saja berpatokan dari nilai produksi fatty acid methyl ester atau FAME. Asam lemak nabati ini merupakan hasil akhir produksi minyak sawit mentah yang dipakai sebagai bahan campur biodiesel.
“Yang tidak terbuka itu apakah benar nilai subsidi per kilo liter itu sesuai dengan biaya produksinya. Tapi dugaan kami nilai subsidi bisa diambil dari nilai produksinya. Jadi lebih menguntungkan perusahaan,” ujar dia. “Kami melihat tata kelola BPDPKS sarat konflik konflik kepentingan. Karena aktor dari swasta masuk sebagai narasumber dan mereka sangat besar kewenangannya dalam menentukan program prioritas.”
Merujuk kajian SPKS yang terbit awal tahun ini, grup Wilmar menjadi kelompok korporasi yang paling diuntungkan dengan adanya skema subsidi biodiesel. Wilmar mendapatkan subsidi biodiesel hampir tiga kali lipat dari jumlah pungutan ekspor yang dibayarkannya selama periode 2019-2021. Surplus yang diperoleh Wilmar mencapai Rp14,42 triliun.
Selain Wilmar, ada 11 grup korporasi sawit yang menikmati subsidi biodiesel. Mereka adalah Best Industry, Darmex Agro, First Resources, Jhonlin, KPN Corp, Louis Dreyfus, Musim Mas, Permata Hijau, Royal Golden Eagle, Sinar Mas, dan Sungai Budi. Jumlah pemberian subsidi biodiesel selama Januari 2019 hingga September 2021 mencapai Rp66,78 triliun untuk 12 korporasi tersebut. nariknya, Wilmar bukan penyumbang pungutan ekspor terbanyak, melainkan Royal Golden Eagle dengan total setoran ekspor Rp14,5 triliun. Dengan pungutan eskpor dua digit triliun, BPDPKS mengganjar subsidi tak lebih dari Rp5,2 triliun. Sedangkan, Wilmar mendapat jatah subsidi Rp22,14 triliun dengan hanya pungutan ekspor sekira Rp7,71, triliun.
Secara akumulasi dari periode 2015-2021, Wilmar mengecap manis subsidi mencapai Rp39,52 triliun. Sementara total subsidi yang dikeluarkan hingga Rp110,05 triliun sehingga hampir 40 persen jatah subsidi mengalir ke korporasi milik Martua Sitorus itu.
Andry sempat mendapat informasi bahwa dana ekspor yang disetor ke BPDPKS bukan dari keuangan si korporasi selaku eksportir, melainkan nilai ekspor dibebankan kepada importir. Oleh karena itu, korporasi sawit sama saja mendapat subsidi secara cuma-cuma dari pemerintah. “Jadi klaim pungutan ekspor dari dana ekspor perusahaan sawit itu bohong. Temuan itu muncul ketika ada kwitansi nilai beban ke importir itu,” katanya.
Subsidi bioediesel, ia menambahkan, sebelumnya tidak diperuntukkan bagi korporasi sawit, melainkan ke Pertamina. Sehingga subsidi dialihkan ke Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU-BBN). “Tapi ketika Pertamina enggak mau, akhinya subsidi dialihkan ke BUBN-nya yang memproduksi FAME untuk biodieselnya, seperi Wilmar, Sinar Mas dan lain-lain. (Tapi), Secara logika, subsidi itu (seharusnya) ke Pertamina, karena mereka yang membeli (dari korporasi sawit),” ujarnya.
Kajian KPK juga menyebutkan penetapan penyalur biodiesel yang dilakukan oleh Kementerian ESDM dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung dan sistem kuota. Hal tersebut dilakukan tanpa ada kriteria yang jelas dan tidak transparan. Hal ini lantas berpotensi menciptakan konflik kepentingan dan berujung korupsi.
Review terhadap pengelolaan dana sawit mesti segera dilakukan. BUkan saja maraknya dugaan dana tersebut hanya menadi bancakan di kalangan elit dan taipan tertentu. Lebih miris lagi adalah, petani-petani sawit justru tidak memperoleh manfaat. Mereka masih harus jibaku dengan peremajaan sawit menggunakan kocek sendiri. Padahal, semestinya ada dana sawit yang bisa mereka gunakan. Harga sawit yang kerap fluktuatif semakin memberatkan hidup petani sawit.
Sementara, menurut temuan awal penyidik Kejaksaan Agung, kuat diduga terdapat kongkalikong bagi-bagi dana sawit dengan menunggangi program biodiesel. Penyidik harus mau bekerja keras dan menjaga integritas untuk membongkar total siapa di balik penggangsiran dana sawit triliunan rupiah ini.
Rohman Wibowo
Ghivary Apriman
Komentar