Siapa Mafia Impor Gula?

Minggu, 22/10/2023 18:51 WIB
Karyawan bekerja di dalam gudang penyimpanan stok gula pasir milik PT Rejoso Manis Indo (RMI) di Blitar, Jawa Timur, Senin (9/3/2020). ANTARA FOTO/Irfan Anshori

Karyawan bekerja di dalam gudang penyimpanan stok gula pasir milik PT Rejoso Manis Indo (RMI) di Blitar, Jawa Timur, Senin (9/3/2020). ANTARA FOTO/Irfan Anshori

Jakarta, law-justice.co - Adanya pihak-pihak yang memburu rente dalam proses impor pangan seperti gula semacam menjadi masalah laten, mungkin ada mafia impor gula. Ujung-ujungnya impor gula menjadi lahan bancakan bagi segelintir orang, yang tidak hanya melibatkan importir, tapi juga internal pemerintahan. Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang mengusut dugaan kasus korupsi impor gula dengan menempatkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebagai fokus utama penyidikan.

Interval waktu yang diduga terjadi korupsi mulai 2015-2023. Dalam rentang waktu tersebut, sudah lima kali menteri perdagangan berganti. Mulai dari Thomas Lembong pada 2015, Enggartiasto Lukita (2016-2019), Agus Suparmanto (2019-2020), Muhammad Lutfi (2020-2022) hingga Zulkifli Hasan (Zulhas) yang kini masih menjabat.

Menariknya, Kejagung memastikan tidak bakal memanggil Zulhas sebagai saksi dalam kasus korupsi ini. Korps Adhyaksa menilai Ketua Umum Partai PAN itu tidak ada kaitannya dengan kasus yang sedang disidik, meski Zulhas dilantik menjadi mendag pada pertengahan periode 2022. “Menteri Perdagangan saat ini memberikan kesempatan untuk membuka kasus ini secara objektif dan transparan,” kata Ketut dalam taklimatnya, awal Oktober 2023.

Ketut menyebut Zulhas bersikap kooperatif sehingga membiarkan Kejagung melakukan penggeledahan pada 3 Oktober lalu, termasuk menyita beberapa dokumen yang didapat dari ruangan tata usaha menteri. Pada saat yang sama, tim Kejagung juga menggeledah kantor BUMN PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Korporasi pelat merah ini diduga kaitannya dengan penugasan dari Kemendag untuk mengimpor gula kristal putih atau gula konsumsi.

Kejagung mengungkapkan konstruksi perkara korupsi ini berkaitan dengan persetujuan impor gula kristal mentah. Impor gula jenis tersebut semulanya untuk diolah menjadi gula konsumsi guna mengisi kebutuhan gula dalam negeri. Namun, penyidik Kejagung menemukan adanya perbuatan melawan hukum atas penerbitan izin impor gula mentah tersebut. Diduga, restu impor diberikan kepada pihak yang tidak berwenang. Lain itu, penyidik mendapati temuan adanya izin impor yang melebihi batas kuota.

Mafia Impor Gula `buka` Lahan Bancakan

Tercatat, sudah ada 13 saksi yang dimintai keterangannya oleh penyidik sejak kasus ini naik sidik hingga pemeriksaan terakhir pada 18 Oktober kemarin. Dari pihak kementerian, saksi-saksi yang diperiksa mulai dari unsur Kemenperin, Kemenko Perekonomian dan tentunya Kemendag.

Peneliti Transparency International Indonesia, Lalu Hendri Bagus, menduga sejak awal impor gula ini memang diarahkan untuk menjadi lahan bancakan. Modus dengan menunjuk pihak yang tidak seharusnya menjalankan proses impor adalah bukti permulaannya. Dari sana, pengawasan impor yang seharusnya ketat di atas kertas menjadi sekadar formalitas dalam implementasinya.

“Prosenya tidak sesuai asal tunjuk dalam menjalankan impor sehingga proses pengawasan tidak memadai yang menimbulkan kolusi dan manipulasi di balik layar,” kata dia kepada Law-justice, Kamis (19/10/2023).

Izin impor yang dimainkan itu, kata Hendri, digenapkan usaha korupsinya dengan menggelembungkan jumlah impor gula. Jumlah impor yang seharusnya mengikuti kebutuhan industri dan konsumsi dalam negeri dibuat fiktif demi mendapat untung sebesar-besarnya. Ditambah, celah korupsi dalam permainan harga juga patut diperhatikan, seiring seberapa besar nilai konversi gula mentah menjadi gula konsumsi.

“Jadi memang sengaja dibikin tidak valid datanya sesuai realitas kebutuhan. Bayangkan impor gula itu kita tambahkan seribu ton aja itu bisa membuat keuntungan banyak,” ujar dia.

Adapun tren impor gula kecenderungan naik dengan nilai kenaikan hingga dua juta ton dalam enam tahun belakangan. Menukil data BPS, berikut pergerakan jumlah impor gula: 2017 sebanyak 4,4 juta ton, 2018 (5,02 juta ton), 2019 (4,09 juta ton), 2020 (5,53 juta ton) 2021 (5,48 juta ton) dan 2022 (6,007 juta ton). Gula sebanyak itu setidaknya diimpor dari tujuh negara, dengan empat negara utama, yakni India, Australia, Thailand dan Brasil.  

Sementara itu, perusahaan negara yang ditugasi untuk impor gula selain PT PPI, adalah Bulog dan PT RNI (Rajawali Nusantara Indonesia). Saat awal pandemi, ketiga badan usaha nasional itu ditugasi impor gula kristal putih masing-masing sebanyak 50 ribu ton. Belakangan, laku importasi juga diemban oleh BUMN lain, yakni PT Perkebunan Nusantara (PTPN).

Swasta juga diberikan kuota impor. Pada periode 2019-2020, sedikitnya ada lima korporasi yang mendapat jatah impor ratusan ribu ton gula kristal mentah. Mereka adalah: PT Adikarya Gemilang (100,050 ton), PT Rejoso Manis Indonesia (80,140 ton), PT Kebun Tebu Mas (87,140 ton), PT Sukses Mantap Sejahtera (80,300 ton) dan PT Industri Gula Nusantara (20 ribu ton).

Dalam industri gula nasional, sejumlah perusahaan di atas termasuk bagian Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Selain lima korporasi tersebut, ada enam perusahaan lagi dalam holding company yang menjadi anggota AGRI. Mereka dijuluki “Sebelas Samurai” lantaran menguasai industri gula rafinasi dalam negeri. Adapun sebelas korporasi yang dimaksud tergabung dalam holding berikut: Grup Artha Graha yang dimiliki Tomy Winata, Grup Samora, Grup Labinta, Grup Wilmar, Grup Olam International, Grup FKS dan Grup Berkah Manis Makmur.

Ekonom dan pengamat kebijakan publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat mengatakan pasar gula nasional kecenderungan oligopolistik lantaran hanya dikuasai oleh segelintir kelompok perusahaan. Dalam perjalanannya pula, sejumlah korporasi itu berjejaring dengan pemerintahan yang tak pelak membuka potensi perburuan rente.

Impor gula sejauh ini dibagi menjadi dua kebutuhan, untuk konsumsi dalam negeri dan industri makanan-minuman. Dalam catatan pemerintah pada 2022, kebutuhan impor untuk gula konsumsi sebanyak 3,21 juta ton dan gula rafinasi 3,27 juta ton. Gula konsumsi disebar ke pasaran, sedangkan gula rafinasi diolah oleh korporasi gula rafinasi sebelum akhirnya dijual ke korporasi makanan-minuman sebagai bahan baku.

Achmad menilai lebih rendahnya jumlah impor untuk konsumsi publik sebagai bentuk perburuan rente itu. Sebab, alih-alih pemerintah menekan inflasi harga gula di pasaran, tapi yang terjadi justru memberi kuota lebih banyak bagi industri. Sehingga masyarakat yang dibebankan lantaran adanya kelangkaan dan fluktuasi harga.  

“Akhirnya impor gula itu hanya untungkan korporasi. Kenapa? Karena mungkin harga gula di level korporasi lebih rendah. Sementara gula eceran yang mengandung komponen inflasi itu naik harganya,” kata Achmad kepada Law-justice, Kamis.

“Mereka itu mendapat izin (impor) tentunya, itu biasanya memberikan rente kepada sejumlah pihak,” imbuhnya.

Ia juga menduga permainan dalam impor gula ini dimulai dari tahap perencanan hingga distribusinya. Mulai dari perumusan data soal defisit gula sampai dengan vendor-vendor yang terlibat dalam menyebar pasokan gula di daerah, yang pada perjalanannya bisa ‘membunuh’ pasar karena mematok harga kelewat murah dari harga normal.

“Permainannya adalah siapa yang pertama mengatakan ada gap antara demand and supply, itu pasti terlibat. Maka permainannya jadi permainan elite. Sehingga tipu-tipunya lebih canggih. Ya misalkan dengan manipulasi data-data dari produsen gula, data demand masyarakat yang ujung-ujungnya impor. Sehingga sudah ada networking antara vendor, importir, para regulator yang saling menguntungkan dan membentuk jaringan mafia,” tutur dia.

Sekongkol Importir, Produsen, Distributor dan Pedagang Grosir

Terkait stok dan distribusi gula, pemerintah rupanya menggunakan jasa BUMN dalam melakukan verifikasinya. Merujuk LPSE Kemendag, PT Sucofindo menjadi pemenang tender terkait pengurusan dua hal tersebut. Dari keikutsertaan Sucofindo dalam sejumlah lelang proyek, Kemendag selalu memenangkan perusahaan pelat merah itu. Bahkan, lelang pada 2017, Sucofindo menjadi satu-satunya yang mengajukan penawaran.  

Manajer Riset Seknas FITRA, Badiul Hadi, sepakat dengan dugaan adanya rente bisnis dalam impor gula. Tolok ukurnya lagi-lagi dari inflasi harga gula di pasaran yang berawal adanya kelangkaan. “Ini tidak terlepas dari perburuan rente. Terjadinya proses kongkalikong yang dilakukan para pihak di dalamnya untuk menggoalkan proses impor itu,” ujar Badiul kepada Law-justice, Kamis.

Badiul ingin mengatakan bahwa ada persekongkolan antara imporitr, produsen, distributor dan pedagang grosir dalam memainkan harga di pasaran. Dugaan rente bisnis dalam impor gula ini bukan tanpa indikasi, sebab terungkap penemuan 300 ton gula di gudang distributor di Malang pada pertengahan 2020. Distributor diduga menjual gula kepada empat hingga lima distributor lain dengan harga di atas HET.

Merujuk data Badan Pangan Nasional, harga gula konsumsi masih melebih dari HET. Tren kenaikan harga terjadi sejak pertengahan 2023. Harga gula naik hingga Rp15.460 per Oktober dari yang semulanya sebesar Rp14,510. Tercatat pula, tren kenaikan pada tahun ini lebih besar dibanding 2022.

“Praktik-praktik semacam itu yang memperkeruh situasi pasar. Pangan impor ditahan karena berkaitan dengan proses monopoli, kongkalikong dalam pengusaan pasar. Kecenderungannya kan seperti itu misal kasus minyak,” kata Badiul.

Ia menduga pihak yang bermain dalam impor ini adalah lintas pihak, “Mafia di balik impor gula ini pasti ada keterlibatan internal pemerintahan di Kemendag itu sangat besar. BUMN dan pihak ketiga juga terlibat,” imbuhnya.

Kejagung hingga kini belum menetapkan tersangka. Kalangan elite semisal mantan menteri belum juga dimintai kesaksiannya. Kata Hendri, Kejagung selayaknya membuka opsi pemeriksaan terhadap Zulhas. “Karena dia memimpin Kemendag dan harus bantu menjelaskan apa yang terjadi secara kelembagaan,” ucap dia.

Sementara itu, Achmad menilai ada aroma politik di balik penyidikan kasus ini. Lagi-lagi kaitannya soal Pilpres 2024. Sebelumnya, Kejagung juga diterpa isu serupa saat menjerat eks Menkominfo yang sekaligus kader NasDem, Johnny Plate dalam kasus korupsi proyek BTS 4G.

“Yang saya dengar ini (aktornya) bukan menterinya yang berada di koalisi sekarang (Zulhas), tapi menteri di luar koalisi, yang dikejar adalah masalah impor gula pada masa Mendag Enggar dan Enggar ini pendiri NasDem,” ucap Achmad.

 

Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan bagian dari artikel bertajuk "Bongkar Mafia di Balik Kasus Korupsi Impor Gula, Ada Menteri Terlibat?". Artikel dimuat terpisah untuk penekanan pada konteks dan narsum tertentu. 

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar