Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M
KPK Dititik Nadir, Rapor Merah Kabinet Jokowi & Rakus Dinasti Politik

Pakar Hukum Todung Mulya Lubis (Istimewa)
Jakarta, law-justice.co -
Sosok Todung Mulya Lubis adalah ahli hukum dan pejuang HAM yang telah beberapa kali berhasil menyelesaikan berbagai permasalahan sengketa hukum dan telah malang melintang di dunia hukum, HAM dan Demokrasi. Todung lahir di Muara Botung, Mandailing Natal, Sumatera Utara pada 4 Juli 1949, selain sebagai ahli hukum, Todung juga dikenal sebagai penulis produktif yang telah menerbitkan beragam buku fiksi dan non-fiksi.
Todung menyebut bila ia dibesarkan di tengah keluarga yang menjunjung tinggi nilai disiplin dan demokrasi. Ia lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1974 dan sempat mengikuti kursus hukum di Institute of American and International Law di Dallas tahun 1977.
Selain menguasai ilmu bidang hukum, ia aktif sebagai akademisi. Pada tahun 2014, ia mengajar sebagai Honorary Professor di University of Melbourne, Australia.
"Saya mengajar di Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan," kata Todung kepada Law-Justice.
Todung adalah anggota dari Ikatan Pengacara Indonesia (IKADIN), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal / HKHPM) dan International Bar Association (IBA). Ia juga Penerima dan Administrator berlisensi serta Konsultan Paten Terdaftar.
Selain itu, Todung juga merupakan Duta Besar Indonesia untuk Negara Balkan Norwegia dan Islandia pada tahun 2018 hingga Januari 2023. Sebagai Dubes untuk kedua Negara balkan tersebut, dia berhasil membuat beberapa terobosan salah satunya adalah investasi beberapa perusahaan Norwegia di Indonesia.
Todung menyebut bila kedua negara balkan tersebut merupakan negara yang paling demokratis di dunia. Norwegia dan Islandia merupakan dua besar negara paling demokratis di dunia.
"Norwegia adalah negara paling demokratis di dunia. Kemudian Islandia negara paling demokratis kedua di dunia. Jadi Anda bisa bayangkan saya masuk ke negara surganya demokrasi," ujarnya.
KPK era Firli Banyak Masalah
Mantan Duta Besar kedua negara balkan tersebut menyebut bila saat ini telah terjadi penurunan kualitas kinerja dan reputasi di lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di era kepemimpinan Firli Bahuri.
Fenomena tersebut, karena beberapa kasus yang terjadi di internal lembaga antirasuah tersebut. Misalnya soal pungutan liar (pungli) yang terjadi di rumah tahanan (rutan). Belum lagi soal, kasus yang baru-baru ini tengah ramai diperbincangkan yakni kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Meskipun demikian, Todung meyakini rentetan peristiwa yang terungkap saat ini tidak serta-merta terjadi. Akan tetapi, dalam pandangannya, peristiwa di internal KPK terjadi lantaran adanya penurunan sistem nilai di tubuh KPK.
"Saya sebagai pengamat KPK, dan terlibat dalam banyak pansel (panitia seleksi-pimpinan) KPK, saya baru sekali ini mendengar dan melihat betapa demoralisasi dalam tubuh KPK," ucapnya.
"Demoralisasi dan degradasi KPK itu terjadi dalam bentuk yang sangat dahysat. Sebelumnya saya tidak melihat KPK terdegradasi seperti ini," sambungnya. Ia pun menilai, rentetan peristiwa dugaan korupsi maupun pelanggaran etik di internal KPK terjadi karena adanya kerontokan integritas di tubuh lembaga antirasuah itu.
Todung menyatakan bila KPK merupakan lembaga yang menjadi contoh dan rujukan sebagai institusi bersih dan berintegritas di dunia anti korupsi.
"Saya sendiri ketika menjadi Ketua Transparency International, melihat KPK sebagai showcase, sebagai model, dia adalah pulau integritas di mana tidak boleh ada korupsi, tidak boleh ada pelanggaran etika. Tapi, sekarang ini kita banyak sekali mendengar, kasus pelanggaran etika dan kasus pelanggaran korupsi terjadi dalam tubuh KPK," katanya.
Apalagi, kata Todung, KPK saat ini dipimpin oleh Firli Bahuri, Ketua KPK yang dinilainya punya banyak masalah dalam kepemimpinannya dibanding pemimpin sebelumnya.
Ia menegaskan selama ia menjadi pansel KPK persyaratan yang harus dimiliki oleh seluruh orang yang berada di dalam KPK adalah Integritas terutama untuk Pimpinan KPK itu sendiri.
“Menurut saya, ini Ketua KPK yang banyak masalah. Saya tidak pernah menemukan Ketua KPK sebelumnya, seperti Ketua KPK yang sekarang yang punya masalah seperti ini dan waktu saya menjadi pansel KPK saya katakan, persyaratan jadi pimpinan KPK adalah nomor satu integritas, nomor dua integritas, nomor tiga integritas, dan ini turunannya mesti ke bawah. Semua staf, semua pegawai KPK mesti punya integritas," ujarnya.
Rapor Merah Kabinet Jokowi
Todung juga menyampaikan rasa kekhawatirannya karena banyaknya kasus korupsi yang menjerat menteri di era pemerintahan Jokowi. Todung merasa sedih sebab di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo seharusnya meninggalkan legacy atau warisan yang baik bagi bangsa.
Seperti diketahui, mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo baru saja ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, dengan ini maka jumlah Menteri yang korupsi di era pemerintahan Jokowi sudah berjumlah enam orang.
Sebelumnya ada mantan Menteri Sosial Idrus Marham, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate yang diadili karena terjerat kasus korupsi.
"Saya merasa sedih di periode kedua Presiden Jokowi seharusnya bisa membuat warisan yang bagus buat bangsa ini, meninggalkan sejarah perjuangan pemberantasan korupsi yang bagus dengan hasil yang bagus," katanya.
Todung menyebut menteri korupsi di era Jokowi melebihi era pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri. Di era SBY ada lima menteri korupsi, sedangkan di jaman Megawati ada tiga menteri. Todung menilai semakin banyak menteri di era Jokowi yang terseret kasus korupsi, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia makin terpuruk. Data Transparency International menyebutkan selama masa pemerintahan Presiden Jokowi, kualitas pemberantasan korupsi dan demokrasi cenderung terus menurun.
"IPK Indonesia tahun 2022 berdasarkan hasil survei Transparency International berada di skor 34/100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei," ucapnya. Todung menilai ada sejumlah faktor permasalahan yang membuat IPK di era Pemerintahan Jokowi mengalami penurunan.Pertama adanya pelemahan kewenangan KPK setelah UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) diberlakukan.
Kedua Dewan Pengawas KPK juga tidak bisa berbuat banyak dalam menjalankan tugas sebagai pengawas, menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK hingga melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK.Masalah ketiga pimpinan KPK di era Firli Bahuri tidak kompak dan tangguh seperti pimpinan KPK sebelumnya, dan masalah selanjutnya yakni adanya rivalitas antara penegak hukum, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Agung. "Saya tahu Presiden Jokowi punya komitmen dalam pemberantasan korupsi tapi fakta adalah fakta. Saya menyesali sebetulnya pelemahan KPK yang dilakukan akibat revisi UU KPK," ujar Todung. Todung juga berharap Presiden Jokowi bisa memperbaiki IPK di Indonesia dengan membenahi KPK dan membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia hingga Oktober 2024 mendatang. "Pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan KPK sendirian, Kepolisian dan Kejaksaan Agung juga melakukan hal yang sama. Tiga lembaga ini betul-betul mesti diusahakan menjadi kekuatan dan sinergi untuk memberantas korupsi," ujarnya.
Politik Dinasti
Belakangan ini, seperti diketahui publik sedang dihebohkan dengan adanya dugaan praktik politik dinasti yang dilakukan oleh keluarga Presiden Jokowi. Pasalnya, terdapat anggapan bila putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan gugatan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.
Lantas hal tersebut, membuat sejumlah aktivis, budayawan, hingga pakar hukum mengkritisi hal tersebut. Dalam gugatan tersebut tentu nama putra sulung Presiden Jokowi sekaligus Walikota Solo yakni Gibran Rakabuming menjadi kontroversi publik.
Todung bersama para tokoh lain yang tergabung dalam Maklumat Juanda menyampaikan narasi yang berjudul `Reformasi Kembali ke Titik Nol`. "Saya tergabung dalam maklumat tersebut dan tentu berharap Mahkamah Konstitusi mengerti suara-suara yang berkembang di masyarakat, mengerti rasa keadilan yang berkembang dimasyarakat mengenai kondisi Indonesia hari ini tentang hal tersebut (politik dinasti)," ungkapnya.
Todung menuturkan bila kondisi Indonesia saat ini memerlukan politik yang bisa diabadikan untuk kedaulatan rakyat tentu dengan kebijakan yang tidak mengabaikan suara rakyat.
"Indonesia memerlukan politik yang diabdikan untuk kedaulatan rakyat. Jadi dalam maklumat tersebut mendesak para pemimpin bangsa, terutama Kepala Negara, Presiden Jokowi, agar memberi teladan, dan bukan memberi contoh buruk memperpanjang kebiasaan membangun kekuasaan bagi keluarga," tuturnya.
Jika berbicara lebih jauh mengenai politik dinasti, Todung menyebut memang dinasti politik yang ditemukan di sejumlah provinsi dan kabupaten menunjukkan bahwa suara rakyat semakin tak berharga.
Niat untuk berkuasa selamanya saja sebetulnya sudah bersifat anti demokrasi (undemocratic) karena menghambat hak orang lain untuk menjalankan pemerintahan.
Todung menyatakan bila dinasti politik yang menguasai pemerintahan jika ditopang oleh perusahaan-perusahaan akan sulit untuk dikalahkan. Jadi, persaingan politik semakin dipinggirkan dan Pemilu akhirnya hanya menjadi permainan elektoral yang tak akan membawa perubahan.
"Akhirnya istri, anak, ipar, menantu, dan sedulur akan bergiliran menguasai pemerintahan, yang artinya menguasai semua sumber daya politik, ekonomi, sosial, dan budaya," paparnya.
Todung menyatakan bila dalam konteks ini, sulit memahami mengapa Mahkamah Konstitusi menolak untuk menghentikan politik dinasti. Argumentasi bahwa adalah hak setiap warga negara untuk berpolitik dalam realitasnya menjadi sejiwa dengan putusan Mahkamah Agung Amerika yang mengatakan bahwa adalah hak setiap perusahaan untuk menyumbang berapa saja untuk memperjuangkan kepentingan politiknya.
Maka, ujar Todung dengan berat hati kita akan berhadapan dengan kekuasaan uang meski kita akan dihibur dengan pidato kampanye yang seolah berpihak kepada rakyat banyak.
"Mungkin para pendiri negara ini tak pernah bisa membayangkan bahwa "kedaulatan rakyat" yang mereka cita-citakan dulu sudah berubah jadi kedaulatan uang," tutupnya.
Share:
Tags:
Komentar