Nawaitu Redaksi

Saat Intel Negara Dipakai Penguasa Demi Cawe-cawe Kepentingan KuasaNya

Sabtu, 30/09/2023 13:09 WIB
Badan Intelijen Negara (BIN) (Tribunnews)

Badan Intelijen Negara (BIN) (Tribunnews)

Jakarta, law-justice.co - Saat bertemu dengan sejumlah pimpinan media massa di Istana Negara, Jakarta Pusat pada senin, 29 Mei 2023 yang lalu, Presiden Jokowi menyatakan bahwa dirinya akan cawe-cawe atau terlibat langsung dalam Pemilihan Umum/Pemilu 2024 yang sebentar lagi bakal tiba.

Untuk memuluskan program  cawe cawenya ini, Presiden Jokowi tentu memerlukan informasi dan data. Informasi dan data ini penting sebagai sarana untuk memuluskan rencana cawe cawenya. Agar angan angannya untuk memenangkan calon presiden dan wakil presiden yang menjadi jagoannya bisa lancar jaya.

Data dan informasi yang dibutuhkan itu diantaranya berasal dari kelembagaan negara yaitu lembaga yang berkecimpung dunia intelijen spionase negara. Makanya alat negara yang bergerak di bidang spionase seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS-TNI), Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam-Polri), diduga telah dijadikan sarana untuk mendukung misinya.

Intelijen negara itu telah digunakan untuk memata-matai partai politik guna mengetahui kearah mana kecenderungan dukungan politiknya."Saya tahu dalemnya partai-partai seperti apa, ingin mereka menuju ke mana saya juga ngerti. Informasi yang saya terima komplit, dari Intelijen Negara (BIN) saya ada, Badan Intelijen Polri ada, dari Intelijen TNI saya punya dan informasi-informasi di luar," begitu katanya seperti dikuti oleh media.

Lalu bagaimana bagaimana sebenarnya praktek penggunaan spionase negara ini oleh para pemimpin suatu negara  dalam mengamankan kepentingan politiknya ?, Apakah penggunaan spionase negara untuk kepentingan politik penguasa negara itu sah sah saja ?

Menyalahgunakan Intel

Tugas aparat Intelijen adalah sebagai mata dan telinga Negara. Hal ini berarti  sebagai mata untuk menjalankan fungsi melihat dan merekam apa yang dilihat di wilayah tugasnya sedangkan telinga berfungsi untuk mendengar informasi yang berkembang di wilayah tugasnya guna menjaga keamanan dan keutuhan Negara.

Kerahasiaan sebagai kebutuhan dasar bagi intelijen mencakup fungsi-fungsi penyelidikan (collecting and analysis), fungsi pengamanan (contraintelligence), dan fungsi penggalangan (covert operation).

Intelijen berperan memberi peringatan dini bagi para pengambil kebijakan sehingga para pengambil kebijakan memiliki cukup informasi untuk membuat keputusan atau langkah yang tepat dalam menghadapi suatu ancaman atau bahaya.

Dengan demikian Intelijen itu pada dasarnya merupakan aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi terutama kepada Presiden sebagai penguasa. Adapun data dan  informasi intelijen yang diberikan kepada presiden  itu berkaitan dengan musuh negara atau masalah keamanan negara bukan yang lainnya sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 1 dan 2 UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

Tetapi yang namanya orang lagi berkuasa, akan selalu tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Termasuk menyalahgunakan data dan informasi yang dihasilkan intelijen negara untuk kepentingan politiknya. Fenomena ini sebenarnya sudah berlangsung lama, terjadi baik didalam negeri ataupun mancanegara.

Dari mancanegara, kita bisa belajar pada kasus yang terjadi Korea Selatan atau Amerika. Penggunaan intel negara untuk kepentingan politik penguasa terjadi di Pemilu Korea Selatan pada tahun 2012 yang lalu dimana Badan intelijen di negara itu telah mengaku membantu Partai Konservatif memenangi pemilihan presiden yang diusung oleh partainya.

Penyelidik dari National Intelligence Service (NIS) mengonfirmasi bahwa unit siber badan intelijen negara itu telah mengorganisasi dan mengoperasikan 30 tim selama lebih dari dua tahun jelang pemilihan umum 2012. Mereka membayar warga sipil yang jago internet dan berusaha memengaruhi pendapat publik melalui berbagai unggahan di sosial media.

"Tim-tim ini menyebarkan opini pro-pemerintah dan menekan pandangan anti-pemerintah, dengan melabeli diri mereka sebagai pasukan pro-Korea Utara yang bermaksud mengganggu urusan negara.

Penyelidikan internal telah menemukan fakta bahwa pimpinan intel negara itu telah memerintahkan badan intelijen yang dipimpinnya untuk memberangus pers, memberikan dukungan kepada kubu konservatif pro-pemerintah, dan mengawasi sejumlah tokoh oposisi yang berseberangan dengan pemerintah yang sedang berkuasa.

Skandal keterlibatan lembaga spionase negara  itu telah berbuntut panjang karena akibat keterlibatannya dalam menyalahgunakan fungsi badan intelijen negaranya telah membuat Presiden yang berasal dari Partai Konservatif terpilih akhirnya masuk penjara karena korupsi yang dilakukannya.

Di Korea Selatan, penyalahgunaan jabatan sangat mudah untuk dikaitkan dengan  praktek korupsi karena pejabat yang menyalahgunakan jabatannya itu berarti telah menggunakan dana publik untuk kepentingannya sendiri bukan kepentingan negara.

Sementara itu penyalahgunaan data dan informasi intelijen oleh penguasa juga pernah terjadi di Amerika Serikat yaitu pada masa Presiden Richard Nixon dari Partai Republik berkuasa. Richard Nixon melalui kaki tangannya telah mencoba untuk memata-matai Partai Demokrat yang menjadi rivalnya menjelang Pemilu 1972.

Pada akhirnya berkat kerja investigasi wartawan Washington Post telah mengungkap skandal Water Gate yang menghebohkan dunia itu karena berujung  pada nasib Richard Nixon yang kemudian kehilangan kekuasaannya. Nixon tersungkur karena kesalahannya menggunakan intel negara untuk memata matai lawan politiknya.

Dari dalam negeri kita misalnya bisa berkaca pada masa ketika orde baru (Orba) berkuasa. Di masa Orba berkuasa, dunia mata mata yang dibangun oleh Soeharto adalah intelijen yang sangat kental aroma politiknya.

Dunia intelijen yang seharusnya bertindak sebagai instrumen keamanan negara yang bertanggung jawab kepada rezim pemerintahan demokratis yang sah, sudah  terpolitisasi sedemikian rupa untuk melayani kepentingan rezim yang berkuasa. Dalam konteks ini, obyek utama yang berusaha dilindungi adalah kepentingan rezim  itu sendiri, bukan keamanan negara.

Pada awal kekuasaan Orde Baru (1966-1971), intelijen dibangun sebagai basis kekuatan Soeharto untuk mendapat legitimasi kekuasaan pada Pemilu 1971 yaitu Pemilu pertama setelah Orba berkuasa. Tumpang tindih kewenangan dan ruang lingkup, serta sifat badan intelijen (baik formal maupun nonformal) tidak terlalu dihiraukan selama Soeharto dapat melakukan kontrol penuh terhadap intelijennya.

Pada tahap awal, kerja-kerja intelijen fokus untuk melemahkan kekuatan politik Soekarno yang mantan penguasa orde lama (Orla). Hal ini dilakukan dengan cara membersihkan PKI sebagai salah satu basis massa pendukung Soekarno, menggalang kekecewaan rakyat melalui Tritura, melemahkan dan mengambil alih Badan Pusat Intelijen (BPI) yang didirikan Soekarno, hingga upaya melegitimasi Supersemar dalam Tap MPRS.

Selain itu penguasa Orba juga melakukan militerisasi intelijen yakni penataan perwira militer pada kelompok intelijen sipil KIN/BAKIN dan organisasi mata mata lainnya. Upaya ini dilakukan karena militer menjadi  basis utama kekuatan yang dipercaya Soeharto kala itu untuk menjadi penopang pemerintahannya. Langkah ini bertujuan untuk memusatkan seluruh kekuatan (power) dan kewenangan ditangannya.

Pada masa awal konsolidasi politik Orde Baru (1971-1988) kerja intelijen difokuskan untuk membantu pemerintah melembagakan kekuasaan melalui pemilu yang diselenggarakannya. Intelijen tidak hanya memobilisasi partai pemerintah untuk mendapatkan kemenangan dalam setiap pemilu, tetapi elite intelijen terlibat langsung mendesain partai baru yang sepenuhnya akan menjadi media legitimasi kekuasaan Orba. Intelijen pada masa konsolidasi juga sering menggunakan trauma masa lalu untuk memanipulasi kepentingan politik rezim dan kelompoknya.

Sementara itu, untuk mendukung stabilitas nasional dan mengurangi perlawanan di tingkat daerah atas ketidakpuasan kebijakan pemerintah pusat, intelijen bersama-sama dengan militer melakukan operasi-operasi khusus hingga sampai ke desa desa. Berbagai operasi militer yang melibatkan intelijen di wilayah Aceh, Papua, dan Timor Leste adalah bagian dari upaya intelijen untuk menjaga stabilitas nasional dari rezim baru yang bernama Orba.

Dalam hal ini setidaknya ada tiga bentuk kegiatan yang dilakukan oleh intelijen pada masa konsolidasi kekuasaan Soeharto, yakni melakukan rekayasa peristiwa, melakukan kekerasan fisik dan mental, penyusupan serta penggalangan melalui media propaganda. Kerja-kerja intelijen pada masa konsolidasi diarahkan pada dua hal, yakni penghancuran oposisi dan menciptakan kolaborator untuk mengamankan kekuasaan Orba.

Pada periode akhir kekuasaan (1988-1998),  Soeharto semakin mengkhawatirkan akan keamanan rezim kekuasaannnya. Ia kemudian melakukan pelemahan kekuatan politik dari komunitas intelijen negara. Secara organisasi, pelemahan Komando Operasi Pengamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menjadi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) dan Badan Intelijen Strategis (Bais) menjadi Badan Intelijen ABRI (BIA) berdampak pada diferensiasi fungsi intelijen negara.

Sayangnya, diferensiasi fungsi tidak bertujuan untuk terbentuknya spesialisasi intelijen yang professional sebagaimana mestinya. Terbukti, mereka yang duduk di jabatan strategis tidak dipilih secara obyektif melainkan tergantung selera penguasa. Faktor loyalitas dan karakter yang tunduk sepenuhnya kepada Soeharto menjadi indikator utama. Akibatnya, intelijen menjadi normatif dalam melakukan kerja-kerjanya.

Sepanjang era Orba, intelijen mengalami beberapa kali perubahan yang mempengaruhi fokusnya. Sayangnya, ambisi untuk melanggengkan rezim membuat perubahan tersebut tidak berdampak pada profesionalisme intelijen tetapi justru malah sebaliknya.

Implikasi Penyalahgunaan Data Spionase

Intelijen pada dasarnya merupakan aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi terutama kepada Presiden sebagai Kepala Negara. Namun demikian, informasi intelijen itu seharusnya terkait dengan musuh negara (masalah keamanan nasional) dan bukan yang lainnya.

Aturan itu sebagaimana disebutkan di Pasal 1 angka 1 dan 2 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Dalam hal ini Partai politik dan masyarakat sipil adalah elemen penting dalam demokrasi sehingga tidak pantas dan tidak boleh Presiden memantau, menyadap, mengawasi kepada mereka dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingannya.

Dengan demikian kalau kemudian Presiden Jokowi sesuai pengakuannya telah mendapatkan data lengkap dari lembaga spionase negara tentang partai politik termasuk kearah mana kecenderungan partai politik itu mengarahkan dukungannya, maka hal ini mengindikasikan adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap alat-alat keamanan negara untuk melakukan kontrol dan pengawasan demi tujuan politiknya. Hal ini tidak bisa dibenarkan dan merupakan ancaman bagi kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia.

Apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi menurut penilaian Koalisi Masyarakat Sipil disebut sebagai bentuk penyalahgunaan intelijen untuk tujuan tujuan politik Presiden dan bukan untuk tujuan politik negara. Karena pada hakikatnya, Lembaga intelijen di bentuk untuk dan demi kepentingan keamanan nasional dalam meraih tujuan politik negara dan bukan yang lainnya.

Pengumpulan data dan informasi yang dilakukan oleh intelijen hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengambilan kebijakan, bukan disalahgunakan untuk memata-matai semua aktor politik untuk kepentingan politik pribadinya.

Dengan sendirinya pemanfaatan intelijen sebagai alat kepentingan politik penguasa merupakan bukti kemunduran demokrasi Indonesia.Sebab, sejatinya intelejen berfungsi sebagai pengumpul informasi yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara. Kalau di era demokrasi saat ini intel dipakai untuk politik penguasa maka sama saja halnya kita ini telah kembali ke zaman Kopkamtib Orde ala Orba.

Di zaman Orba, intel Kopkamtib kerap mematai-matai aktivitas lawan politik penguasa. Atas restu penguasa para intel tak segan `mengamankan` orang-orang yang diduga mengancam kekuasaan pemerintah yang dipimpinnya. Dengan gampangnya orang dikirim ke penjara dengan dalih demi untuk stabilitas keamanan negara.

Bahwa pengakuan Jokowi yang telah mendapatkan data dan informasi terkait dengan partai politik di Indonesia dari intel negara, dinilai sebagai sebuah penyalahgunaan kekuasaan dan seharusnya ada konsekuensinya.

Tapi belum lagi clear soal dugaan penyalahgunaan kekuasaan ini, buru buru kubu Jokowi sudah berusaha membantahnya. Adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD yang membeberkan soal informasi intelijen yang dimiliki atasannya.

Mahfud menilai wajar jika Jokowi memiliki informasi intelijen soal situasi dan arah partai politik di Indonesia.Kata dia, data intelijen yang dimiliki Jokowi tidak ada kaitannya dengan cawe-cawe dalam Pemilu 2024."Enggak urusan urusan cawe-cawe, itu tidak ada kaitannya. Ini Presiden pasti punya intelijen, siapa politikus yang nakal, siapa politikus yang benar. Siapa yang punya kerja gelap, siapa yang punya kerja terang, itu punya Presiden," kata Mahfud di Jakarta, Minggu (17/9/23) seperti dikutip media.

Pembelaan juga disampaikan oleh Politisi PDI Perjuangan (PDIP), Adian Napitupulu melalui pernyataannya. Adian menilai tidak ada pelanggaran dalam pernyataan Jokowi yang mengaku mendapat informasi intelijen tersebut dalam kapasitas sebagai Presiden Kepala Negara."Kalo dia cuma duduk di Istana lalu masing-masing menteri, kapolri, intelijen melaporkan boleh," kata Adian dalam acara The Political Show CNN Indonesia TV, Senin (18/9/23).

Mereka yang berada kubu pemerintah memang sah sah saja untuk membela “bosnya”. Mereka punya pendapat yang bernada membela tokoh idolanya agar tidak disalahkan apalagi sampai hilang kekuasaannya atau sampai masuk penjara.

Akan tetapi dengan merebaknya berita seputar pengakuan Presiden Jokowi yang mendapatkan informasi lengkap dari intel negara soal partai politik termasuk ke arah mana kecenderungan politiknya, hal in tentu saja memunculkan tanda tanya.

Pertama, Presiden Jokowi yang sekaligus menjadi kepala Pemerintahan dan Kepala Negara maka seyogyanya presiden bersikap netral pada pemilu 2024 tidak memihak kepada salah satu paslon yang ada.

Tetapi netralitas ini seakan sirna begitu presiden dengan terus terang menyatakan akan ikut cawe cawe di pemilu 2024. Kalau kemudian ternyata Presiden mengaku mendapatkan informasi lengkap soal partai politik dari badan intel negara, mungkinkah informasi itu hanya sekadar informasi semata, tidak digunakan untuk cawe cawe demi kepentingan politik pribadinya ?.

Kedua, dalam Undang Undang Intelijen jelas disebutkan bahwa tugas badan-badan telik sandi adalah mengumpulkan data untuk mencegah, menangkal, dan menanggulangi ancaman terhadap keamanan negara. Intelijen tak seharusnya memata-matai partai politik yang menjadi organ utama demokrasi di Indonesia. Usaha menginteli partai politik dengan sendirinya tidak relevan jika dikaitkan dengan tugas yang seharusnya dijalankan oleh intel negara.

Dalam hal ini apakah partai politik itu dianggap sebagai lawan sekaligus ancaman terhadap keamanan negara ?. Kalau memang bukan dianggap sebagai ancaman mengapa harus menginteli partai politik jika tidak dilakukan demi memuluskan usaha cawe cawenya ?

Ketiga, Partai politik adalah elemen penting demokrasi sehingga tidak seharusnya penguasa memantau atau bahkan menyadap dengan menggunakan lembaga intelejen demi kepentingan politiknya. Intelejen memang berfungsi memberikan informasi kepada presiden, namun informasi itu seharusnya menyangkut keamanan negara bukan partai politik atau yang lainnya.

Alhasil ketika penguasa memata matai partai politik maka ada indikasi kuat adanya pelanggaran terhadap hukum dan undang undang seperti UU Intelijen, UU partai politik UU HAM (Hak Azasi Manusia). Seharusnya fenomena  ini menjadi skandal politik dan menjadi masalah serius dalam demokrasi sehingga wajib untuk diusut tuntas setuntas tuntasnya.

Pelanggaran seperti itu kalau dinegara lain seperti Korea Selatan atau Amerika bisa menjadi penyebab seorang penguasa kehilangan jabatannya bahkan sampai masuk penjara. Tapi di Indonesia nampaknya sulit untuk bisa berproses sampai kesana. Karena disini kelembagaan seperti DPR sudah kehilangan fungsi pengawasannya. Semuanya sudah dikendalikan oleh penguasa sehingga rakyat hanya bisa mengurut dada.

Ke empat, untuk saat ini penguasa mungkin bisa menepuk dada karena merasa bangga. Bahwasanya segala tindak tanduknya yang diduga keras menggunakan intel negara untuk kepentingan politiknya bisa berjalan mulus tanpa kendala. Tetapi tentunya rakyat tidak buta dan rakyat tetap sadar tentang apa yang terjadi sebenarnya. Semua pada akhirnya akan berujung pada longsornya kepercayaan publik pada pemilu, kepada partai, kepada sistem demokrasi yang sudah diperalat oleh penguasa.

Saat ini yang berkuasa mungkin sudah merasa menang karena bisa mengatur segalanya tanpa ada pelawanan yang bisa membahayakan posisinya. Tapi kalau kepercayaan rakyat sudah  hilang, maka dipandang dari sudut moral dan etika, hakekatnya sang penguasa itu sudah kehilangan segala galanya. Buat apa menjadi orang yang sangat berkuasa, berlimpah harta tapi kepercayaan dari rakyatnya telah pudar akibat perilaku politiknya ?.

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar