Polwan Remehkan Cerita Korban KDRT: Luka Cuma Segini Kok Lapor

Selasa, 19/09/2023 12:25 WIB
Polwan Remehkan Cerita Korban KDRT: Luka Cuma Segini Kok Lapor. (Istimewa).

Polwan Remehkan Cerita Korban KDRT: Luka Cuma Segini Kok Lapor. (Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Seorang perempuan yang enggan memberitahukan indentitasnya mengaku mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sejak 2015. Kekerasan terjadi terus menerus, bahkan kian parah.

Pada Mei 2021, perempuan yang sebut saja namanya Lasmini melaporkan suaminya, Aldi (yang juga bukan nama sebenarnya) ke kantor polisi di Jakarta.

Namun, laporannya tidak disimapi serius karena luka di badannya dianggap tidak cukup parah.

Lasmini diterima polisi wanita (polwan) saat membuat laporan.

Namun, meskipun sesama perempuan, kehadiran polwan itu tidak membantu sama sekali. Polwan itu justru meremehkan kekerasan yang didapat Lasmini.

"Luka cuma segini lapor-lapor," kata Lasmini mengingat ucapan polwan tersebut kepadanya seperti melansir cnnindonesia.com.

Lasmini diam. Kemudian, polwan itu kembali berkata, "luka segini bisa diketawain hakim mbak, lagi pula mbak tidak ada saksi. Hanya bukti rekaman suara ribut."

Padahal, kata Lasmini, dia sudah menceritakan situasi setiap dia mendapat kekerasan.

"Saya sudah jelaskan ke oknum tersebut bahwa bagaimana saya mau ada saksi, secara itu lingkungan keluarga si pelaku," kata Lasmini.

Setelahnya, Aldi memohon agar laporan dicabut. Dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Akhirnya, Lasmini mencabut laporan pada September 2021.

Kehidupan mereka sempat membaik beberapa saat. Namun, tak lama, tabiat Aldi kembali seperti biasanya.

Lasmini bercerita dia jadi korban KDRT suaminya sejak hamil anak pertama. Di tahun 2015, ketika hamil, dia didorong hingga dilempar galon.

"Saat hamil anak pertama, saya didorong, dilempar galon, dan disumpal mulut dengan tisu kasar hingga mulut luka," ucap Lasmini.

Saat mengiyakan ajakan Aldi untuk menikah, Lasmini tak ada pikiran macam-macam. Sebab, dia mengenalnya saat masih bekerja sebagai sesama pelayan di salah satu gereja di Jakarta.

Kekerasan yang dialami Lasmini terus berulang dan bertambah parah. Tidak ada yang berani menghentikan Aldi, meskipun tetangga mereka tahu apa yang terjadi.

"Dijejelin di teralis ruang tamu, dan sempat dicekik. Saya berhasil buka pintu ruang tamu. Sedangkan saat saya dijejelin di teralis ruang tamu. Saudara si pelaku melihat dari luar hanya bilang, sudah, sudah, tetangga sekitar juga melihat," tuturnya.

Lasmini terus menerima kekerasan dalam berbagai bentuk. Aldi bahkan berani melakukan kekejamannya kepada Lasmini di depan anak-anak mereka.

"Saya dilempar barang-barang yang ada di dalam kamar saat saya dan anak-anak mengunci diri di kamar karena ketakutan saat itu beliau sedang marah besar," kata dia.

Lasmini juga dicaci maki sesukanya. "Saya disebut perempuan rusak, perempuan lonte, perempuan jalang, perempuan nikah jual mek*," ucapnya.

Kemarahan dan kemuakan Lasmini memuncak pada akhir 2022. Saat dalam perjalanan di mobil, Lasmini dipukuli. Kepalanya dibenturkan ke dashboard mobil sebanyak tiga kali hingga benjol sebesar buah kedondong.

Lasmini pun melaporkan Aldi ke kantor polisi dekat rumahnya. Awalnya, laporan diproses lancar. Namun, mulai melambat saat penetapan tersangka.

Aldi bahkan tak ditahan. Desember 2022 sampai Februari 2023, Aldi disebut sakit asam lambung dan harus dirawat di rumah sakit. Tapi anehnya, kata Lasmini, Aldi masih bisa bekerja dan pulang malam sehari usai keluar dari rumah sakit.

Lalu, Lasmini tidak sengaja melihat isi percakapan Aldi dengan pengacaranya. Inti percakapan itu membahas `apel Malang` agar Aldi bisa bebas dari jeratan hukum.

"Tanpa sengaja saya temukan chat WhatsApp pelaku dengan kuasa hukumnya perihal mau SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) laporan saya dan akan memberikan sejumlah `apel Malang` ke pihak terkait yang tangani laporan saya," ujarnya.

Lasmini marah besar. Dia langsung menelepon penyidik polisi yang menangani laporannya. Dia menanyakan maksud dari percakapan yang tak sengaja dia baca itu.

Pihak kepolisian berdalih tidak tahu-menahu. Lasmini datang dan membawa bukti cetak percakapan yang ia maksud.

"Saya sampai tanyakan ke pimpinannya maksudnya apa. Apa saya harus mati dulu, atau terkapar di ICU baru ada penetapan tersangka. Saya katakan, apa laporan saya dimentahkan lagi seperti di tahun 2021? Luka saya kurang parah?" ujarnya.

Setelah beberapa waktu, laporannya dinyatakan P19. Artinya, dikembalikan karena dinilai kurang lengkap. Dia pun dimintai bukti CCTV untuk melengkapi keterangannya mendapatkan kekerasan di mobil.

Menurut Lasmini, bukan hal gampang memberikan bukti rekaman CCTV itu. Dia harus meminta izin ke Jasa Marga untuk mengaksesnya karena lokasi kejadian di tengah tol.

Akhirnya rekaman CCTV dipegang olehnya. Dia disarankan untuk melapor ke Mabes Polri. Laporan itu diproses cukup cepat.

"Hanya satu minggu proses sudah langsung keluar hasil," ucap dia.

Namun, proses penyelidikan melambat lagi. Lasmini langsung melapor ke bagian Humas Polri. Akhirnya ia dapat surat Atensi khusus dengan tembusan Kapolri, Irwasum, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), Kepala Divisi Humas Polri.

"Saya langsung kirim surat tersebut ke pihak terkait via WhatsApp, dengan ucapan hari ini LP saya genap satu tahun dan ini hadiah untuk LP saya. Baru dari situ saya olah TKP dan semua dipercepat," ucap Lasmini.

"Jika saya tidak melapor ke Mabes Polri dan Mabes Propam saya tidak tahu bagaimana nasib LP saya. Sedangkan saya hanya meminta keadilan," imbuhnya.

14 September 2023, Lasmini dan Aldi resmi bercerai. Aldi mengajukan gugatan setelah ditetapkan jadi tersangka pada Maret 2023.

Komnas Perempuan mencatat kasus KDRT selama tiga tahun terakhir menunjukkan kenaikan. Pada 2020, kasus KDRT mencapai 47 kasus. Pada 2021 sebanyak 78 kasus dan 2022 mencapai 171 kasus.

Berdasarkan aduan yang diterima berbagai sumber layanan, tahun 2020 kasus KDRT mencapai 93 kasus. Kemudian, 2021 sebanyak 457 kasus dan 2022 sebanyak 279 kasus. Namun, diyakini masih banyak kasus lain yang tak tercatat karena korban enggan melapor.

Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menyatakan KDRT tidak boleh dipandang sebagai urusan domestik. KDRT merupakan urusan publik yang harus jadi perhatian negara.

"Jika sudah ada kekerasan di dalamnya, maka itu urusan kita semua, urusan negara," kata Alim, Jumat (15/9).

Alim berpendapat aparat penegak hukum tak bisa menolak aduan KDRT. Dia menjelaskan KDRT telah memiliki payung hukum yang dalam Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Dia menegaskan korban KDRT membutuhkan pertolongan dan perlindungan segera. Dia mengibaratkan korban KDRT seperti warga yang terkena gempa kencang.

Menurut Alim, pada banyak kasus, korban lari tanpa membawa apapun. Karena fokus utamanya adalah menyelamatkan diri terlebih dahulu.

"Ketika situasi kayak gitu, sangat berharap si korban ini mendapatkan bantuan. Jadi sangat tidak pantas ketika menolak laporan KDRT gara-gara enggak ada polwan," ujarnya.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar