Usut Eksport Biji Nikel Ilegal ke China Bukan Penyeludupan

Minggu, 17/09/2023 12:39 WIB
Eksport  Biji  Nikel ke China Bukan Penyeludupan  dan Indonesia Impor Bijih Nikel Dari Filipina, Ada Apa? foto Mitrakendari.com

Eksport Biji Nikel ke China Bukan Penyeludupan dan Indonesia Impor Bijih Nikel Dari Filipina, Ada Apa? foto Mitrakendari.com

law-justice.co -  
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membeberkan adanya dugaan kasus ekspor ilegal bijih nikel RI ke China sejak 2021 lalu. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 5 juta ton bijih nikel RI diduga telah diselundupkan ke Negeri Tirai Bambu sejak 2021-2022. Usai Satgas Korsup V Wilayah KPK mengungkap temuan sebanyak 5,3 juta ton ore nikel Indonesia diekspor ke China 2020-2022, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK ,Pahala pun meminta data bill of lading dari Bea Cukai China terkait dengan pengiriman besi itu.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan tengah menindaklanjuti hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan temuan ekspor 5,3 juta ton nikel ke China. Dia menyebut kementeriannya masih menginvestigasi dan menghitung temuan KPK yang bersumber dari data Bea Cukai China itu.

 

Sekadar informasi, sebelumnya Kedeputian Pencegahan dan Monitoring KPK memastikan bahwa temuan ekspor jutaan ton nikel ke Negeri Panda itu bukan merupakan suatu penyelundupan. KPK juga menindaklanjuti temuan tersebut dengan membentuk rekomendasi perbaikan kebijakan bersama Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Ditjen Bea Cukai Kemenkeu, serta PT Sucofindo sebagai surveyor.

Namun demikian, berbeda dengan KPK, Arifin menilai ekspor 5,3 juta ton nikel tersebut merupakan praktik penggelapan. Hal tersebut kendati temuan KPK bahwa nikel Indonesia yang ditemukan di China itu bukan merupakan penyelundupan. "Tetapi memang kan tidak boleh ekspor besi isinya nikel. Itu penggelapan. Nilainya kan lain [antara besi dan nikel]," terang Arifin saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jumat (15/9/2023).

 

Saat ini, lanjutnya, Kementerian ESDM tengah menginvestigasi, menghitung, dan menginventarisasi terkait dengan temuan ekspor nikel ke China itu. Seperti diketahui, pemerintah Indonesia memang telah melarang ekspor nikel sejak 2020 guna mendorong penghiliran di dalam negeri. "Kita masih menginvestigasi, lagi dihitung. Kita tuh harus menginventarisasi lagi nih, benar tidak [temuan ekspor nikel ke China]. Kita lagi pendataan internal, nih," lanjut Arifin.

Diberitakan Ekspor Nikel di 2023 Naik 5 Kali Lipat Dibandingkan Tahun 2015.

Jokowi Setop Ekspor Nikel, Investasi Hilirisasi Tembus Rp171 Triliun Pengusaha Kapal Ketiban Berkah Larangan Ekspor Nikel Jokowi Sementara itu, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan bahwa pengiriman ore nikel ke China sebagaimana temuan Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK bukan merupakan penyelundupan. "Penyelundupan itu kan barang tidak boleh keluar, [lalu] dikeluarkan. Kalau ini enggak," jelasnya saat ditemui di Gedung ACLC KPK, dikutip Kamis (14/9/2023).

Pengiriman ore nikel ke China itu, jelas Pahala, berasal dari perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) besi bernama PT Sebuku Iron Lateritic Ores atau SILO di Kalimantan Selatan. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan itu mengekspor besi salah satunya ke China. Berdasarkan laporan surveyor yang didapatkan KPK, Pahala menyebut terdapat 84 kali pengiriman komoditas besi dari SILO ke China.

Pengiriman itu dilihat dari bill of lading atau surat tanda terima barang yang telah muat dalam kapal angkut. Usai Satgas Korsup V Wilayah KPK mengungkap temuan 5,3 juta ton ore nikel Indonesia diekspor ke China 2020-2022, Pahala pun meminta data bill of lading dari Bea Cukai China terkait dengan pengiriman besi itu.

Dari 84 kali pengiriman besi ke Negeri Panda, hanya 73 data bill of lading yang diberikan oleh pihak China. Kemudian, sebanyak 63 dari 73 bill of lading itu menunjukkan terdapat nikel yang "menempel" di besi dengan rata-rata kadar 0,9 persen. "Jadi, 63 pengiriman [besi] yang ada nikelnya di atas 0,5 persen dihitung di China sebagai nikel. Dilihat orang Indonesia, berarti ada ekspor nikel, padahal nikel yang [menempel] bareng besi," tuturnya. Pahala menjelaskan perbedaan asumsi itu berangkat dari perbedaan regulasi yang diterapkan di dua negara. Di Indonesia, lanjutnya, eksportir hanya bisa memperoleh royalti terhadap komoditas yang didaftarkan sebagaimana IUP yang dimiliki. Dalam kasus PT SILO, perusahaan itu hanya memiliki IUP untuk komoditas besi.

Oleh karena itu, surveyor pun hanya akan mencatat komoditas yang bakal diekspor sesuai dengan IUP dari pihak eksportir. Sementara itu, otoritas di China menganggap bahwa nikel dengan kadar 0,5 persen, kendati menempel dengan komoditas/mineral lain, dihitung sebagai nikel dengan HS code yang sama. "Menurut Indonesia, kalau IUP-nya [perusahaan eksportir] besi, ya hitung besi saja. Sampai di China, lain lagi, kalau kadar nikel 0,5 persen ke atas itu kodenya [HS code] 26040000, nikel dia," jelas Pahala.

Ahirnya KPK menemukan potensi selisih nilai ekspor ore nikel tersebut senilai Rp41 miliar, berdasarkan 63 bill of lading yang didapatkan. Angka tersebut ditemukan dari royalti yang berpotensi didapatkan oleh eksportir, PT SILO, apabila ore nikel yang terkirim ke China itu diakui sebagaimana regulasi di Indonesia. Namun demikian, Pahala menegaskan bahwa adanya nikel dalam 63 bill of lading ekspor besi ke China itu tak bisa dikenakan royalti. Untuk itu, KPK langsung merekomendasikan perbaikan regulasi agar mineral utama yang diekspor dan "yang menempel dengannya" bisa sama-sama dikenakan royalti, walaupun dalam kadar yang rendah. Dengan demikian, konsekuensinya PT SILO pun tidak mendapatkan royalti dari ore nikel tersebut. "Kita cepat-cepat tulis rekomendasi perbaikan. Yang ideal, apabila kirim besi ada [kadar] nikelnya, kenakan [royalti] saja dua-duanya. Iya dong. Baru untung," tutup Pahala. Adapun temuan ekspor 5,3 juta ore nikel ke China itu diduga terjadi selama Januari 2020 hingga Juni 2022.

 

"Kalau dari ketentuan Bea Cukai di UU Kepabeanan Nomor 10 itu (sanksi) jelas di pasal 102 mengenai ekspor impor yang tidak diberitahukan dan melalui jalur-jalur yang ditentukan itu jelas namanya penyelundupan. Kemudian, pasal 103 pemberitahuan dengan tidak benar. Dari penelitian lebih lanjut tentu akan ketahuan antara pasal 102 maupun 103," jelas Nirwala.

Mengutip pasal 102 UU Kepabeanan dijelaskan sanksi yang diberikan atas tindakan penyelundupan impor adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun. Selain itu, pelaku diancam denda antara Rp50 juta hingga Rp5 miliar.

https://www.law-justice.co/artikel/155775/luhut-tahu-siapa-dalang-ekspor-nikel-ilegal-ke-china/


https://www.law-justice.co/artikel/155767/nikel-indonesia-potensi-tambang-industri-baterai-kendaraan-listrik/

 

 

 

(Patia\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar