Triliunan Dana PMN untuk BUMN Menguap Tak Jelas
Ada Apa Dugaan KKN PMN di Kodja Bahari, Bebas di Pengadilan?

Ilustrasi: Galangan kapal milik PT Dok Perkapalan Kodja Bahari (Persero). (DKB)
law-justice.co - Suntik modal alias penyaluran penyertaan modal negara (PMN) rupanya masih menjadi metoda yang dipandang ampuh untuk menyehatkan badan usaha milik negara (BUMN) yang tengah sakit. Cara ini tergolong sederhana saja, negara memberikan suntikan modal untuk menambah darah segar bagi BUMN yang tengah kesulitan modal ataupun yang sedang menghadapi megaproyek negara. Padahal, tanpa pengawasan dan mekanisme yang jelas dan terukur, bagi-bagi PMN ini justru berpotensi seperti menabur garam ke laut, alias sia-sia saja.
Dalam catatan Law-Justice, Komisi VI DPR RI menyetujui Penyertaan Modal Negara (PMN) baik tunai dan non-tunai untuk 10 BUMN senilai Rp73 triliun pada 2023. Wakil Ketua Komisi VI Mohamad Hekal mengatakan BUMN yang menerima PMN yaitu PT PLN (Persero) sebesar Rp10 triliun dan PT LEN Industri (Persero) Defend ID sebesar Rp3 triliun. Kemudian, PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero)/ ID Food sebesar Rp2 triliun. "Akan digunakan dalam rangka memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha perusahaan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional," ujar Mohamad Hekal dalam rapat kerja dengan Kementerian BUMN, Senin (4/7/2023).
Kemudian PT Hutama Raya Karya (Persero) sebesar Rp30,56 triliun dan PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) sebesar Rp9,5 triliun. Lalu, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) atau IFG sebesar Rp6 triliun dan PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp4,1 triliun. Selain itu, PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) menerima PMN sebesar Rp3 triliun, Perum DAMRI sebesar Rp867 miliar serta Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia/AirNav sebesar Rp790 miliar.
Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir memastikan BUMN yang menerima PMN akan menjalankan tugas dengan baik. Selain itu, dividen ditargetkan akan meningkat menjadi Rp43 triliun di 2023 dan Rp50 triliun di 2024. "Jadi antara PMN dan dividen bisa berimbang," ujar Erick.
Ekonom Senior Indef, Aviliani, menilai pemberian penyertaan modal negara (PMN) kepada badan usaha milik negara (BUMN) oleh pemerintah, ke depannya perlu dilakukan adanya pembenahan terkait dengan besaran kontribusinya ke pemerintah. Dia melihat bahwa hal tersebut harus dilakukan karena dari sekian banyak BUMN yang ada, hanya enam BUMN yang memberikan kontribusi paling besar, di antaranya adalah bank-bank BUMN, telekomunikasi, dan Pertamina yang juga menjadi perusahaan tercatat atau go public.
Aviliani mengusulkan dalam hal pemberian PMN, pemerintah harus memilah-milah kembali, mana saja BUMN yang memberikan keuntungan, memberikan multiplier efek, sebagai pelayanan publik, dan mana saja BUMN yang perlu dikonsolidasi oleh swasta. “Jadi memang kalau saya sarankan semua bumn yang terkait dengan keuntungan harus go public, tapi yang terkait dengan multiplier efek ekonomi ini yang harus ada bisnis model yang lain dan harus ada meredefinisikan kembali tentang BUMN dan fungsinya bukan hanya sekedar dibuat holding-holding ya karena holding itu akan menyulitkan,” kata Aviliani.
Dari sejumlah BUMN yang menerima PMN, salah satu yang menonjol adalah BUMN PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari (Persero). Dikenal sebagai BUMN yang terus menerus ‘sakit’ secara finansial, merujuk laporan BPK, kondisi keuangan DKB defisit sejak sebelum 2015.
Diyakini bakal menjadi obat, pemerintah lantas mengucurkan PMN ke DKB. Dalam APBN 2015 sebanyak Rp900 miliar disisihkan untuk PMN di DKB. Berbekal Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2015 dan diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Desember tahun tersebut, ratusan miliar dikucurkan dengan pertimbangan untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha galangan kapal nasional melalui DKB. Namun, alih-alih untung, justru PMN sekian ratus miliar berujung buntung. Dalam catatan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2016 terkait korporasi yang memperoleh PMN, ternyata DKB menjadi satu dari enam korporasi pelat merah yang merugi setelah mendapat suntikan modal.
Penanaman Modal Negara (PMN) untuk DKB sarat potensi penyimpangan yang berujung kerugian keuangan negara. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada periode 2018-2020 mengungkapkan proyek pembangunan penunjang industri perkapalan DKB yang berasal dari PMN dalam status tebengkalai. Hasil pemeriksaan auditor negara juga menemukan ratusan miliar uang PMN yang bersumber dari APBN tahun 2015 itu tidak digunakan sebagaimana mestinya oleh jajaran manajemen DKB.
Lain itu, alokasi penggunaan dana PMN ditujukan bagi revitalisasi peralatan produksi. Adapun rincian alokasi dana PMN terserap banyak untuk pembangunan sejumlah infrastruktur penunjang seperti galangan Batam dengan slipway sebesar Rp96 miliar, revitalisasi peralatan produksi sebesar Rp234 miliaran dan yang terbesar pengadaan floating dock atau dermaga apung yang mencapai Rp400 miliar. Sisanya, PMN dialihkan untuk restrukturisasi korporasi.
“Rugi Tahun Berjalan yang timbul pada Tahun 2020, 2019 dan 2018 disebabkan karena pendapatan perusahaan tidak mampu menutup beban yang timbul di perusahaan,” petikan laporan BPK.
Kerugian dipicu oleh sejumlah proyek maupun operasional DKB yang bermasalah. BPK mencatat ada tujuh proyek galangan kapal yang didanai PMN, rincinya tersebar di beberapa galangan Jakarta, Semarang, Cirebon, Palembang dan Banjarmasin. PT Dok Kodja Bahari menerima dana PMN yang berasal dari APBN-P pada tahun 2015 sebesar Rp 900 Miliar. Namun terdapat beberapa catatan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait PT DKB untuk segera menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
Toto Pranoto, Pengamat BUMN. (Dok. UI)
Pengamat BUMN Toto Pranoto berpendapat penyelewengan dana PMN memang berpotensi terbuka lebar. Pangkalnya, perusahaan yang diberikan PMN tidak diawasi oleh instansi terkait dalam hal ini Kementerian BUMN maupun internal BUMN-nya. “Seolah-olah tidak ada pengawasan. Apakah perusahaan bisa achive tidak sesuai proposal bisnis yang diajukan atau tidak. Jadi moral hazard itu bisa saja terjadi,” kata dia kepada Law-justice, Rabu (23/8/2023).
“Berarti internal pengawasan dari Kodja Bahari dan Kementerian BUMN terhadap alokasi PMN kurang berjalan baik,” imbuhnya.
Menurutnya, pertimbangan negara dalam mengucurkan PMN bekutat pada dua hal, pertama untuk meningkatkan daya saing bisnis BUMN tersebut dan kedua untuk mendukung ekspansi bisnis. Namun, katanya, dalam kasus DKB perlu dipertanyakan seperti apa proposal bisnis yang ditawarkan saat mengajukan PMN. “Jangan sampai diberi PMN, tapi untuk bayar utang,” katanya.
Banyak Persoalan, DPR Minta Menteri BUMN Segera Bereskan DKB
Terkait dengan PMN di PT DKB ini, Anggota Komisi VI DPR RI Rafli meminta Menteri BUMN untuk segera membereskan persoalan yang terjadi di BUMN. Lebih lanjut, Anggota Fraksi PKS dari Aceh itu meminta Erick Thohir menjadikan BUMN yang kondisinya “sakit” parah sebagai prioritas utama penataan dan penyehatan.
Rafli mencontohkan BUMN Perkapalan. Penyehatan BUMN perkapalan penting sebagai penopang utama kebangkitan industri perkapalan nasional yang sangat penting dalam upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Sejumlah sektor yang menjadi sumber penting pendapatan negara seperti industri pariwisata bahari, perikanan, dan industri maritim lainnya sangat membutuhkan dukungan industri galangan kapal nasional.
Rafli menyebut hal yang tidak kalah pentingnya perdagangan antar pulau hanya mungkin berkembang dengan dukungan industri perkapalan nasional yang kuat. “Sebagai negara kepulauan, Indonesia harus mempunyai BUMN yang kuat di bidang galangan kapal agar perekonomian dalam negeri bisa berlari,“ kata Rafli saat dikonfirmasi, Rabu (23/08/2023).
Terlebih Presiden Jokowi yg sendiri telah mencanangkan Indonesia menjadi poros maritim dunia, antara lain dengan program tol laut. Program tersebut penting untuk menyambungkan antar kepulauan dengan memperbanyak lalu lintas kapal. Konektivitas antar pulau berperan dalam mengatasi ketimpangan harga bahan barang pokok maupun kebutuhan lainnya di pelbagai daerah.
Menurut Rafli, salah satu BUMN yang mendesak dibenahi adalah PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari (PT DKB) yang kondisinya dalam beberapa tahun terakhir kian memprihatinkan. Rafli pun mengaku sudah mengantongi laporan bahwa PT DKB tak menyelesaikan proyek kapal perintis untuk program tol laut yang dipesan oleh Kementerian Perhubungan pada 2015 lalu.
Proyek itu berupa 4 unit, 2 unit kapal perintis 2.000 GRT dikerjakan langsung oleh PT. DKB; 1 unit kapal perintis 2.000 GRT yang dikerjasamakan dengan perusahaan swasta; PT. Krakatau Shipyard; dan 1 unit 750 GRT juga dikerjakan langsung oleh PT. DKB. “Kalau selaras dengan pemerintah, kenapa BUMN ini malah memperlambat pengerjaannya?” bebernya.
Proyek lain yang juga bermasalah adalah proyek nasional alutsista TNI milik Kemenhan, yaitu kapal angkut tank (AT-1) dengan nilai sebesar Rp 159,5 miliar dan pekerjaan kapal angkut tank (AT-2) senilai Rp 159,5 miliar. Padahal PT DKB sudah mendapat tambahan modal lewat Penyertaan Modal Negara (PMN) seperti pernah disinggung Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Ketika itu, Sri Mulyani menyebut ada 7 BUMN yang kinerja keuangannya tetap merugi pada tahun 2018 meskipun pemerintah telah menyuntikkan PMN Rp 3,6 triliun. Salah satu BUMN yang disebut oleh Sri Mulyani adalah PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari.
Rafli pun menyoroti kinerja jajaran direksi PT DKB selama memimpin perusahaan. Sebab, menurut dia, perusahaan yang bisa mendapatkan rapor hijau harus dipimpin oleh pemimpin yang kompeten dan mengetahui seluk beluk usaha di bidang galangan kapal. “Jika tidak punya kapabilitas, seharusnya mereka dicopot dan diganti oleh orang yang punya kapabilitas di bidang perkapalan,” tegasnya.
Rafli menyebut pergantian direksi yang tidak punya kapabilitas maupun integritas, merupakan langkah awal bebenah BUMN agar kinerja perseroan melesat dan tidak merugikan negara. “Saya mendukung langkah Pak Erik untuk segera memulihkan kesehatan perusahaan,” ungkapnya.
Anggota Komisi VI DPR RI Rafli. (Parlementaria)
Sementara itu Mantan Komisaris Utama PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (PT DKB), Desi Albert Mamahit menegaskan bila DKB harus dilakukan pembenahan. Desi mendukung penuh program bersih-bersih perusahaan negara yang dilakukan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Sebab, perusahaan yang bergerak di bidang galangan kapal ini selalu merugi setiap tahunnya.
“Harus ada pembenahan di jajaran manajemen direksi,” ujar Desi melalui keterangan tertulis yang diterima Law-Justice, Kamis (24/08/2023).
Desi menceritakan ketika ia menjadi Komisaris, Jajaran Komisaris PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari pun pernah melakukan investigasi mengenai kondisi perusahaan maupun proyek yang dikerjakan. Hasilnya, Desi menuturkan terdapat temuan beberapa proyek tersendat. Seperti, proyek nasional (Alutsista TNI) milik Kementerian Pertahanan yaitu kapal angkut tank (AT-1) dengan nilai sebesar Rp 159,5 milyar dan pekerjaan kapal angkut tank (AT-2) senilai Rp 159,5 milyar. Nilai total pekerjaan 319 Milyar yang dipesan oleh Kementerian Pertahanan sejak tahun 2011.
Dalam kerja sama antara Kementerian Pertahanan dengan PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari dimulai pada tahun 2011, seharusnya proyek itu selesai dalam waktu 18 bulan pengerjaan. Namun, setelah beberapa tahun berjalan, pekerjaan itu tak jelas kelanjutannya.
PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari yang sudah meneken sepuluh kali surat perpanjangan kontrak itu saat ini tengah mengajukan permohonan kembali untuk perpanjangan kerja sama dengan Kementerian Pertahanan. Tujuannya, agar target penyelesaian proyek bisa kembali mundur.
Belum lagi, proyek nasional kapal perintis untuk program tol laut milik Kementerian Perhubungan yang dimulai pada tahun 2015 juga tak selesai pengerjaanya.
Proyek itu berupa 4 unit, 2 unit kapal perintis 2.000 GRT dikerjakan langsung oleh PT. DKB; 1 unit kapal perintis 2.000 GRT yang dikerjasamakan dengan perusahaan swasta; PT. Karakatau Shipyard; dan 1 unit 750 GRT juga dikerjakan langsung oleh PT. DKB.
Ada juga temuan tentang dari Badan Pemeriksa Keuangan tentang penggunaan dana penyertaan modal negara (PMN) yang diduga bermasalah. Selain digunakan untuk pembangunan serta perbaikan galangan kapal atau floating dock di Cirebon, Jawa Barat; Banjarmasin, Kalimantan Selatan; Palembang, Sumatera Selatan; Semarang, Jawa Tengah; PMN juga diduga digunakan tidak sesuai dengan aturan. Yakni, untuk biaya operasional maupun gaji karyawan. Mamahit pun membenarkan adanya investigasi ini. “Masih ada beberapa temuan lainnya,” tuturnya.
Selain itu, Desi menyebut bila ia pernah mengirimkan surat kepada Menteri BUMN 2014-2019 Rini Soemarno ihwal kondisi PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari pada 20 Agustus 2019. Isinya, menyoroti neraca keuangan perusahaan yang negatif hingga Rp2,06 miliar hingga April 2019. Akibatnya, biaya operasional dan hak para karyawan, seperti gaji, tersendat akibat dari merahnya kinerja perusahaan ini.
Dalam suratnya, Desi menjelaskan semua kondisi PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari terjadi karena tidak lepas dari gaya Kepemimpinan Direktur Utama perusahaan, Wahyu Suparyono yang sudah menjabat sejak tahun 2017. Padahal, perusahaan tersebut sangat berpotensi mendatangkan keuntungan dari bisnis galangan kapal. Desi juga pernah meminta kepada Menteri BUMN periode 2014-2019, Rini Soemarno, untuk mengganti Wahyu. Ketika dikonfirmasi mengenai surat itu, Mamahit membenarkannya. “Itu memang surat yang pernah saya tandatangani sebagai tugas komisaris yang mengawasi perusahaan,” ujarnya.
Desi pensiun dari Komisaris Utama PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari pada September 2019. Desi juga menyarankan kepada Menteri BUMN Erick Thohir untuk segera mengevaluasi kinerja direksi maupun Direktur Utama PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari. Menurutnya, perusahaan harus dipimpin oleh orang yang memahami dan berpengalaman di bisnis galangan kapal agar mendapatkan pendapatan serta keuntungan yang maksimal.
Law-Justice mencoba untuk meminta konfirmasi kepada pihak PT DKB untuk menelusuri lebih jauh terkait dengan beberapa temuan BPK dan terkait kasus yang terjadi di perusahaan perkapalan tersebut.
Namun, hingga berita ini diturunkan pihak PT DKB belum memberikan respon terkait permasalahan tersebut. Saat ini Direktur Utama PT DKB adalah Ari Rochmat Basuki. Ari menggantikan kepemimpinan dari La Mane yang menjabat sebagai Direktur DKB sejak tahun 2020 hingga Juli 2023 kemarin.
BPK Temukan Dugaan Bancakan PMN, Lolos Di Pengadilan
Dalam laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan bertajuk DTT Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan PT Dok Perkapalan Kodja Bahari 2020, lembaga audit ini menemukan sejumlah dugaan bancakan terhadap penggunaan dana PMN.
PT DKB menerima dana PMN yang bersumber dari APBN-P Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp900.000.000.000,00 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 113 Tahun 2015, dengan peruntukkan memperkuat struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha khususnya dalam industri pertahanan perusahaan perseroan.
Berdasarkan laporan penggunaan dana PMN per 30 Juni 2021 Realisasi keuangan yaitu senilai Rp501.615.000.000,00 dengan sisa anggaran yang belum direalisasikan yaitu senilai Rp398.385.000.000,00 (Rp900.000.000.000,00 - Rp501.615.000.000,00). Dari hasil pemeriksaan atas Dana PMN pada rekening penampungan diketahui bahwa jumlah dana riil yang ada adalah sebesar Rp248.130.015.239,26 yaitu dalam rekening deposito pada Bank Mandiri, Bank BTPN dan Bank Bukopin dengan Saldo per 30 Juni 2021 sebesar Rp235.000.000.000,00 dan rekening giro Bank BRI dan Bank Mandiri sebesar Rp13.130.015.239,26.
Dana PMN yang belum direalisasikan menurut laporan realisasi PMN adalah sebesar Rp398.385.000.000,00 dan bila dibandingkan dengan saldo riil dana PMN di rekening penampung sebesar Rp248.130.015.239,26 sehingga terdapat selisih kurang sebesar Rp150.254.984.760,74 (Rp398.385.000.000,00 - Rp248.130.015.239,26).
Selisih kurang antara dana PMN yang belum digunakan dengan dana PMN yang ada di bank sebesar Rp150.254.984.760,74 tersebut diketahui digunakan oleh PT DKB sebagai pinjaman sementara Selain Penggunaan dana PMN yang tidak sesuai peruntukkan. Terdapat bunga deposito dengan Saldo per 30 Juni 2021 sebesar Rp165.093.666,07. Bunga deposito tersebut digunakan untuk operasional perusahaan bukan melalui mekanisme peminjaman tetapi penggunaannya melalui persetujuan Direksi.
Empat terdakwa perkara proyek pengadaan graving dock atau dok kolam untuk kapal bersandar di galangan Banjarmasin pada 2018 menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Selasa (27/6/2023). (Antara via Jawapos)
Temuan lain yang sudah ditangani oleh penegak hukum adalah adanya dugaan penyimpangan dalam proyek pengadaan graving dock atau dok kolam untuk kapal bersandar di galangan Banjarmasin pada 2018. Dalam kasus ini, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan menemukan adanya dugaan korupsi dengan potensi kerugian Rp5,7 miliar lebih dari total anggaran proyek korporasi periode 2018 sebesar Rp20,5 miliar.
Kasus ini bermula dari penyidikan Kejati Kalimantan Selatan pada 2021 lalu. Saat kasus naik sidik, penyidik menetapkan empat tersangka yang diduga terlibat dalam proyek pengadaan graving dock atau dok kolam untuk kapal bersandar di galangan Banjarmasin pada 2018. Dua di antaranya pimpinan DKB selaku Direktur Komersial 2015-2019 Albertus Pattaru dan Direktur Operasi dan Teknik periode 2019-2020 Suharyono. Sisanya adalah pihak kontraktor yang menggarap proyek, yakni Direktur Utama PT Lidy’s Artha Borneo (LAB) Lidyannoor dan penerima kuasa perusahaan bernama Muh. Saleh.
Proses hukum kasus ini sampai ke pengadilan dengan sidang perdana pada November 2022 lalu di PN Tipikor Banjarmasin. Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terungkap bahwa ada patgulipat antara terdakwa Albertus selaku kuasa pengguna anggaran sekaligus pejabat pembuat komitmen dan terdakwa Muh. Saleh yang diberi kuasa oleh Lidyannoor untuk meneken kontrak proyek dengan DKB pada Juli 2018.
Muh. Saleh sendiri tidak termasuk dalam struktur LAB, baik sebagai pekerja maupun pengurus korporasi. Sehingga JPU menilai kontrak proyek yang diteken tidak sah secara hukum. Namun, Albertus yang mengetahui hal itu tak mempersoalkan dan justru tetap melanjutkan kontrak proyek serta memberikan hak kepada LAB menggarap proyek sejak Agustus 2018.
Dalam pelaksanaan proyeknya pun, jaksa menilai proyek berjalan serampangan berdasar sejumlah temuan. Di awal proyek, LAB justru absen dari kewajibannya dalam membuat pancangan tiang. Yang terjadi adalah pancangan tiang dialihkan pembuatannya ke perusahaan lain yang tidak termasuk dalam kontrak sebagai sub-kontraktor.
Ditemukan pula proyek tidak berjalan sesuai spesifikasi, baik secara material maupun teknis. Lain itu, durasi proyek molor dari tenggat waktu 210 hari kalender sejak 15 Agustus 2018. Jaksa lantas menilai ada unsur kesengajaan dari Albertus yang membiarkan proyek berjalan sebagaimana mestinya. Albertus dianggap tidak melaksanakan pengendalian dan pengawasan secara optimal dan benar.
“Sehingga mengakibatkan kegagalan konstruksi dan mengakibatkan pekerjaan tidak dapat difungsikan dan perbuatan Terdakwa (Albertus) tersebut adalah merupakan perbuatan menguntungkan orang lain yaitu Muh Saleh sebesar Rp. 5.708.577.071,82,” petikan surat dakwaan jaksa yang termaktub dalam putusan sidang Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2022/PN Bjm.
Dari hasil untung proyek, Lidyannoor dan Muh Saleh menyepakati pembagian 30 persen untuk Lidyannor dan jatah 70 persen milik Muh Saleh. Dari hasil pembagian untung ini dan pemberian kuasanya secara ilegal kepada Muh Saleh, jaksa menilai Lidyannoor turut terlibat dalam pusaran bancakan.
Lidyannoor dalam kasus ini seolah menjadi katalisator antara Muh Saleh dengan DKB. Awalnya Lidyannoor mendapat informasi soal lelang proyek dari Muh Saleh. Karena merasa tertarik, Lidyannoor maju dalam lelang. Namun, persyaratan lelang mengharuskan perusahaan memiliki deposit senilai Rp4 miliar. Perusahaan Lidyannoor tidak memiliki dana sebanyak itu. Dalam kondisi demikian, Muh Saleh berperan dalam mengisi deposit perusahaan. Atas peranan inilah, Lidyannoor memberikan kuasa direktur kepada Muh Saleh, mulai dari proses lelang hingga pelaksanaan proyek.
Jika Albertus, Saleh dan Lidyannoor berperan sejak awal lelang, nama Suharyono muncul saat pertengahan proyek, persisnya pada Maret 2019. Ia menggantikan Albertus sebagai PPK yang pensiun. Akan tetapi, jaksa menemukan pergantian PPK tersebut tidak dituangkan dalam addendum kontrak. Jaksa juga melihat kejanggalan di saat Suharyono memberikan izin lanjutan pengerjaan proyek, padahal saat itu tidak ada konsultan pengawas karena masa kontrak konsultan telah habis.
Jaksa menilai ada kejanggalan juga karena izin Suharyono diberikan saat progres pengerjaan proyek mengalami deviasi minus 53,34 persen. Suharyono dalam hal ini mengubah durasi pengerjaan proyek hingga 465 hari/kalender atau bertambah 255 hari dari kontrak awal. Dan pada bulan yang sama, Suharyono pun beperan dalam pembagian uang proyek. Ia mengucurkan dana tahap kedua sebesar Rp4,7 miliar.
“Terdakwa selaku PPK tidak melakukan penilaian kinerja Penyedia/Muh.Saleh, namun tetap memberikan kesempatan kepada Muh.Saleh untuk menyelesaikan pekerjaan dan memberikan perpanjangan waktu /Addendum kontrak,” tulis jaksa.
Melihat perbuatan empat tersangka, jaksa yang diwakili Harmanto menjatuhkan pidana selama 9 tahun kepada empat terdakwa. Jaksa menjerat mereka dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke.1 KUHP. Dengan subsidair Pasal 3 ayat (1) jo pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Namun, Majelis Hakim PN Tipikor memutus vonis bebas keempat tersangka. Amar putusan dibacakan Hakim Ketua I Gede Yuliartha, Selasa (27/6/2023) menyatakan membebaskan dari segala dakwaan jaksa terhadap empat terdakwa karena dinilai tidak terbukti secara sah melakukan korupsi. “Berdasarkan semua uraian pertimbangan hukum, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa unsur “Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” tidak terpenuhi menurut hukum,” petikan putusan hakim, dikutip dalam hasil putusan sidang.
Majelis hakim menilai perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi dengan cara korupsi dana PMN tidak terbukti. Hakim berpijak pada segala pernyataan jaksa selama persidangan yang tidak mampu membuktikan besaran kekayaan yang dimiliki oleh para terdakwa sebelum atau sesudah pelaksanaan proyek graving dock.
“Justru dalam fakta hukum penggunaan anggaran konstruksi pengembangan Galangan Banjarmasin PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero) Tahun 2018 yang di dalamnya termasuk pekerjaan Pembangunan Graving Dock, sebagiannya telah digunakan untuk pembayaran atas sebagian pekerjaan yang telah dilakukan oleh penyedia/pelaksana pekerjaan yang disesuaikan dengan kontrak/perjanjian, dan tidak pernah terbukti anggaran yang dikeluarkan tersebut untuk keperluan pribadi supaya bertambahnya harta kekayaan terdakwa atau orang lain atau korporasi,” kata putusan majelis hakim.
Menyoal dakwaan jaksa yang bilang Albertus dan Suharyono menyalahi kewenangan jabatannya karena tidak melakukan pengendalian dan pengawasan proyek, pun tidak diterima oleh majelis hakim. Pelaksana proyek disebut majelis hakim telah melakukan pengawasan dengan memberikan teguran atas pengerjaan proyek yang molor dari tenggat waktu.
“Ternyata telah memberikan kesempatan sebanyak tiga kali kepada penyedia untuk melakukan penambahan waktu pekerjaan baik karena alasan kahar ataupun karena sebab lain yaitu teknis pelaksanaan pekerjaan di lapangan sesuai dengan alasan diajukan permohonan perpanjangan waktu pekerjaan,” tulis majelis hakim dalam pertimbangan putusan.
Namun, ada hal yang agak rancu dari pertimbangan majelis hakim terkait legalitas kontrak antara DKB dan LAB. Meski tidak terbukti ada aliran dana proyek ke masing-masing terdakwa, hakim menilai ada unsur ketidaktelitian Albertus dan Suharyono dalam mencermati legalitas Muh Saleh sebagai perwakilan LAB saat penekanan kontrak.
“Dengan keadaan tersebut maka terdapat keuntungan dari Muhammad Saleh dan PT Lidy’s Artha Borneo sehingga perbuatan terdakwa bertujuan menguntungkan orang lain atau korporasi yaitu saksi Muhammad Saleh dan PT Lidy’s Artha Borneo,” tulis majelis hakim.
Kutipan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan bertajuk DTT Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan PT Dok Perkapalan Kodja Bahari 2020. (BPK-RI)
Kembali ke laporan BPK, auditor negara mengungkapkan sejumlah pengerjaan proyek belum rampung. Lingkup pekerjaan terdiri dari pembangunan graving dock II, pelebaran dan pemanjangan rampway, serta pembuatan bolder. Namun pekerjaan pembuatan boulder dan pekerjaan pemanjangan rampway belum dilaksanakan. Sedangkan pekerjaan pembangunan graving dock II dalam proses pembangunan dengan kondisi dinding sisi utara graving dock - II sebagian mengalami kerusakan roboh di bagian tengah, dinding Selatan antara Dok ABS miring, dan sebagian lantai graving dock terangkat.
Masih dalam laporan BPK, konsultan perencana proyek ini pun tidak berpengalaman menangani proyek pembuatan graving dock. Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat yang ditunjuk DKB ternyata tidak mempunyai kompetensi dalam proyek industri perkapalan. Namun, Albertus justru melakukan kesepakatan proyek dengan Dekan Fakultas Teknik UNLAM.
“Penunjukan langsung tersebut tanpa melalui evaluasi yang diantaranya menilai pengalaman dan kompetensi Fakultas Teknik UNLAM untuk melaksanakan pekerjaan perencanaan bangunan pendukung galangan kapal, khususnya konstruksi bangunan graving dock,” petikan laporan BPK.
Sebenarnya, kejanggalan dalam penanganan perkara ini sudag tercium sejak mula penyidikan. Meskipun pada akhirnya jaksa melakukan penuntutan dengan tuntutan hukum yang tinggi. Namun, keempat terdakwa tak pernah ditahan. Padahal, mereka ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal 2 UU Tipikor, memenuhi syarat obyektif untuk ditahan.
Terehadap putusan bebas ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Selatan (Kalsel) telah mengajukan kasasi.
Pengajuan kasasi terdata di SIPP Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin untuk perkara nomor 34/Pid.Sus-TPK/2022/PN Bjm dengan terdakwa Albertus Pattaru dan perkara nomor 37/Pid.Sus-TPK/2022/PN Bjm terdakwa Ir Suharyono. Kemudian perkara nomor 35/Pid.Sus-TPK/2022/PN Bjm terdakwa Muh Saleh dan perkara nomor 36/Pid.Sus-TPK/2022/PN Bjm terdakwa Lidyannor.
Permohonan kasasi empat perkara tersebut teregister pada tanggal 3 Juli 2023 dan diajukan oleh JPU dari Kejati Kalsel Harwanto SH. Menurut keterangan telah dikirimkan ke Mahkamah Agung pada Rabu (23/8/2023).
Bola kini ada di tangan Mahkamah Agung yang akan menyusun Majelis Hakim Agng untuk memeriksa perkara ini. MA harus bisa memberikan putusan yangs seadil-adilnya dan rasional, serta dengan memperhatikan temuan-temuan dari BPK. Secara psikologis, bebasnya terdakwa dalam dugaan kasus kourpsi yang menggunakan dana PMN ini bisa menjadi preseden.
Selain itu, Pemerintah, dalam hal ini Menteri BUMN dan DPR selaiknya tak perlu lagi jor-joran memberikan PMN kepada BUMN-BUMN sakit tanpa ada due diligent dan proposal bisnis yang memadai. jangan sampai, PMN yang diberikan hanya untuk menambal hutang dan defisit operasional. Hal ini tentunya seolah menggarami laut saja, tak akan membawa pengaruh terhadap BUMN tersebut sementara duit rakyat terlanjut larut.
Pemerintah juga perlu mengevaluasi BUMN-BUMN yang ada. Jika BUMN yang sakit bukanlah poeruhsaan yang memiliki dampak sosial ekonomi ke publik, juga tidak dalam penugasan PSO, sebaiknya ditutup saja. Sebab, menilik temuan BPK, ada indikasi PMN telah menjadi modus dari BUMN tertentu sebagai ladang bancakan. Apalagi, pemerintah, dalam hal ini Menteri BUMN, pun tak pernah menyampaikan ke publik hasil evaluasi penggunaan PMN terhadap BUMN yang menerimanya.
Rohman Wibowo
Ghivary Apriman
Komentar