Nawaitu Redaksi
Koalisi Besar Terwujud, Ganjar Terhempas & Siapa Gantikan Ganjar?

Gerindra, PKB, Golkar & PAN Resmi Bangun Koalisi Pilpres 2024. (Twitter Partai Golkar).
Jakarta, law-justice.co - Setelah terkatung-katung cukup lama karena tidak jelas mau hinggap kemana, pada akhirnya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golongan Karya (Golkar) merapat ke KKIR (Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya).
KKIR seperti diketahui telah dideklarasikan oleh dua partai yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Merapatnya Golkar dan PAN ke KKIR berarti dua partai itu telah sepakat untuk mendukung Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu 2024.
Deklarasi dukungan kedua partai tersebut diselenggarakan di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta Pusat pada Minggu, 13 Agustus 2023 bertepatan dengan satu tahun terbentuknya KKIR setahun sebelumnya.
Prabowo punya alasan tersendiri dibalik terpilihnya Museum Perumusan Naskah Proklamasi menjadi lokasi deklarasi dukungan yang diberikan Partai Golkar dan PAN, salah satunya karena museum ini dinilai membawa aura perjuangan didalamnya.
"Diambil kesimpulan bahwa di sinilah tempat yang paling baik, karena membawa suatu aura perjuangan, spirit, perjuangan kita. Walaupun ini hanya katakanlah, suatu lambang," kata Prabowo dalam sambutannya sebagaimana dikutip media.
Merapatnya Golkar dan PAN ke KKIR merupakan lonceng kematian bagi KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) yang telah dibentuk sebelumnya. KIB seperti diketahui beranggotakan tiga partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar dan PAN dimana PPP telah lebih dulu menyeberang bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai Bacapresnya.
Dengan merapatnya PAN dan Golkar ke KKIR berarti pula telah terbentuk koalisi besar di pemilu 2024 karena berhasil menghimpun koalisi partai dengan perolehan 41,41 persen suara. Mengalahkan Koalisi Perubahan dan Perbaikan (KPP) yang terdiri dari Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan PKS yang mengusung Anies Baswedan sebagai Bacapresnya, dengan 25,03 persen suara. Sedangkan koalisi yang digawangi PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo bersama PPP hanya mengantongi 23,45 suara.
Apakah pembentukan koalisi besar ini memang telah lama direncanakan oleh Presiden Jokowi dimana ia sebagai king makernya ?. Apa efek domino yang terjadi dengan terbentuknya koalisi besar yang ditandai dengan merapatnya Golkar dan PAN ke Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya ?. Mengapa terbentuknya koalisi besar ini dinilai telah mengancam posisi Ganjar Pranowo sebagai Bacapres di pemilu 2024 nantinya ?
Sudah Lama Direncanakan
Terbentuknya koalisi besar yang menggabungkan empat partai yang berhasil menempatkan wakil wakilnya di Senayan yaitu PAN, Golkar, PKB dan Gerindra sesungguhnya bukan hal yang mengejutkan karena memang telah digagas sejak lama.
Kalau kita telusuri jejak digitalnya, awalnya dulu sekitar awal bulan April 2024 Presiden Joko Widodo bertemu dengan lima ketua umum partai politik (parpol) di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN) di kawasan Warung Buncit, Jakarta, Minggu (02/04/23).
Kelimanya merupakan pentolan parpol pendukung pemerintahan Jokowi, yaitu Prabowo Subianto (Gerindra), Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), dan Mardiono (PPP). Namun pertemuan ini tanpa kehadiran Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dan Ketua Umum NasDem, Surya Paloh yang sesungguhnya masih menjadi bagian dari unsur pemegang kekuasaan pemerintahan di Indonesia.
Seperti dikutip oleh media, dalam pertemuan yang berlangsung tertutup kurang lebih satu jam itu, Jokowi mengatakan pertemuan ini dalam rangka membahas “komitmen kebangsaan dan keberlanjutan pembangunan ke depan. ”Saat itu, Jokowi juga menanggapi gagasan penggabungan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) koalisi dan Koalisi Indonesia Baru (KIB)
."Cocok. Saya hanya bilang cocok. Terserah kepada ketua-ketua partai atau gabungan partai. Untuk kebaikan negara, kebaikan bangsa, kebaikan rakyat hal yang berkaitan bisa dimusyawarahkan akan lebih baik," kata Jokowi seperti dikutip media.
Kehadiran Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan kelima Ketua Parpol tersebut dianggap sebagai entitas politik pribadi bukan mewakili PDIP dimana ia menjadi petugas partainya. Meskipun begitu, disini Jokowi memiliki peran sentral yaitu sebagai king makernya karena posisinya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Sebagai Presiden yang masih berkuasa dengan tingkat approval rating yang masih tinggi, serta memiliki relawan yang begitu besar jumlahnya, maka posisi tawar Jokowi lebih tinggi dari posisi tawar kelima Ketua partai itu yang sebagian dari mereka masih menjadi Menteri di kabinet pemerintahannya sehingga masih menjadi pembantunya
Setelah Pertemuan Warung Buncit antara Presiden Jokowi dengan lima ketua parpol, sejumlah elite partai politik lain mulai membuka komunikasi, khususnya kepada Prabowo Subianto sebagai Bacacpres dari Partai Gerindra.
Tercatat misalnya Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, yang melakukan pertemuan dengan Prabowo yang dikemas dengan agenda silaturahmi biasa. "Ini pertemuan kawan lama,“ kata Prabowo. Selain PBB ada juga Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga menyatakan kesediaannya untuk bergabung dengan koalisi besar yang akan dibentuk nantinya.
Pada kenyataannya gagasan untuk membentuk koalisi besar memang menjadi maknet bagi tokoh tokoh politik lainnya untuk merapat dan ingin bergabung kedalamnya. Karena meskipun bukan jaminan untuk menang, tapi terbentuknya koalisi besar membuka peluang untuk menang lebih besar daripada yang lainya. Karena selain kekuatan partai ada unsur relawan disana.
Selain itu, dengan posisi Jokowi sebagai presiden, akses logistik dan kekuasaan menjadi lebih mudah didapatkan untuk kelancaran proses kemenangan sesuai dengan keinginan penguasa. Kekuatan kampanye juga akan lebih masif hingga ke akar rumput karena ada unsur birokrasi dan aparat yang biasaya agak sulit untuk bisa sepenuhnya netral meskipun sudah ada ketentuan hukum yang telah mengaturnya.
Dengan gambaran sebagaimana dikemukakan diatas maka sesungguhnya pembentukan koalisi besar yang ditandai dengan merapatnya Golkar dan PAN ke KKIR bukan sesuatu yang mengejutkan alias biasa biasa saja.
Seperti diungkapkan oleh pengamat Sosial Politik Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA), Herry Mendrofa yang mengaku tidak terkejut dengan keputusan Golkar dan PAN masuk ke barisan pendukung Prabowo.Pasalnya, Golkar dan PAN juga pernah bergabung ke dalam gerbong koalisi PKB dan Gerindra pada Pilpres 2014 lalu mengusung Prabowo Subianto.
"Tentunya kita tidak lupa pada tahun 2014 lalu ketika Golkar dan PAN berada satu perahu mengusung Prabowo menjadi capres. Artinya hal ini tak menyulitkan komunikasi politik diantara parpol tersebut," kata Herry dalam keterangannya, Minggu (13/8/2023).
Selain itu dengan gambaran latar belakang terbentuknya koalisi besar sebagaimana diungkapkan diatas maka akan sulit untuk mengatakan bahwa Jokowi sebagai Presiden tidak terlibat dalam pembentukan koalisi besar yang saat ini terbentuk dengan merapatnya PAN dan Golkar serta partai lainnya seperti Partai Bulan Bintang (PBB) yang diketuai oleh Yusril Ihza Mahendra.
Dalam kaitan dengan terbentuknya koalisi besar ini memang Prabowo menepis adanya anggapan bahwa koalisi terbentuk merupakan arahan dari Presiden yang sekarang berkuasa. "Apapun keputusan partai, partai apapun, pengalaman saya dan keyakinan saya, saya kira beliau (Presiden Jokowi) tidak akan melarang, tidak akan mendikte. Itu kenyataannya demikian," ujar Prabowo di Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok), Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (13/8/23).
Meskipun demikian publik tentu bisa menilainya bahwa adanya cawe cawe dari Jokowi selaku Presiden Indonesia sulit untuk di bantah faktanya. Hal ini diamini juga oleh para pengamat politik antara lain Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS) Agung Baskoro yang menilai, ada peran istana ketika Golkar dan PAN bergabung dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) mendukung bakal calon presiden (bacapres) Prabowo Subianto
"Di titik inilah, susah untuk tidak mengaitkan bergabungnya Golkar-PAN tanpa hadirnya dukungan (political endorsment) Istana," kata Agung dalam keterangannya, Minggu (13/8/2023).
Pada sisi lain dengan adanya dukungan Partai Golkar dan PAN untuk Bacapres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto di Pilpres 2024 telah mempertegas dukungan Jokowi ke Menteri Pertahanan itu. Karena dalam berbagai kesempatan, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan pun menyatakan bahwa keputusan mereka terkait dukungan capres akan lebih dulu dikonsultasikan dengan kepala negara. Sehingga sangat kecil kemungkinan sikap dan keputusan politik Golkar dan PAN bergerak tanpa sepengetahuan dan restu politik Istana.
Efek Domino
Adanya dukungan gerbong Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan terhadap Prabowo memperjelas bahwa Pilpres 2024 nantinya akan diikuti oleh tiga pasang sehingga akan nampak lebih berwarna daripada kontestasi sebelumnya di 2019 yang hanya diikuti oleh dua pasang saja.
Adanya tiga pasang capres dan cawapres dapat meminimalkan polarisasi yang timbul di masyarakat akibat kontestasi yang membuat masyarakat terbelah jadi dua dimana polarisasi itu sampai sekarang masih terasa.
Lalu apa kira kira efek domino yang terjadi dalam dunia perpolitikan di Indonesia menjelang pemilu 2024 yang sebentar lagi akan tiba ?. Sekurang kurangnya ada lima efeknya.
Yang pertama, Bacapres Prabowo Subianto Semakin Kuat Posisinya. Dengan dukungan dua partai yaitu Golkar dan PAN maka posisi Prabowo menjadi semakin kuat dalam menatap pemilu 2024 nantinya.
Di saat Capres lain masih sulit karena ‘tiket’ tidak terpegang di tangan sendiri, Prabowo sudah memegang tiket ditangannya karena kebetulan ia adalah Ketua Umum Partai Gerindra sehingga apa yang dilakukan Prabowo bersama partai yang dipimpinnya, adalah manuver bebas dan tidak takut kehilangan tiket sebab modal awal sudah ada.
Dengan modal dukungan partai pendukungnya yaitu PKB, PAN, Golkar dan PBB menyusul kemungkinan partai Gelora makaPrabowo juga bisa menentukan siapa calon wakil presidennya meskipun di waktu mepet sekalipun.
Bagi Prabowo dan Gerindra, masuknya Golkar dan PAN, akan membawa mereka pada situasi yang jauh lebih nyaman, bargaining position mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya .Mereka akan leluasa menentukan pendampingnya, meskipun tak akan mudah juga.
Kalkulasi matang untuk menjadikan salah satu yang disodorkan ketiga partai sekondannya tersebut menjadi bacawapres akan sangat berat konsekuensinya.Salah-salah akan membuat ikatan koalisi yang sudah terjalin bisa bubar ditengah jalan seperti Koalisi Indonesia Baru.
Karena tentu saja Golkar berharap, Ketum mereka Airlangga Hartarto yang akan duduk menjadi calon RI-2 nya Prabowo, begitu pun PAN yang pasti mengasongkan Erick Thohir jagoan mereka untuk mengisi jabatan bacapresnya.Jangan tanya PKB, Gus Imin sang Ketum terlihat begitu ambisius untuk menduduki jabatan itu, bahkan beberapa fungsionarisnya mengancam, apabila Gus Imin tak dicalonkan sebaga bacawapres bukan tidak mungkin PKB akan menarik diri dari KKIR.
Yang Kedua, Posisi Tawar PPP ke PDIP Semakin Kuat. Efek berantai dari bergabungnya Partai Golkar dan PAN ke barisan Prabowo Subianto tampaknya cukup menguntungkan PPP. Utamanya, mengenai daya tawar mereka di hadapan PDIP. Kini, PPP tampak hanya tinggal menanti tiket cawapres Ganjar Pranowo atau meninggalkan PDIP kalau tawaran itu ditolak oleh kubu Mega.
Bagi PPP sendiri, konstruksi intrik yang menjurus ke pertarungan daya tawar bermula saat Wakil Ketua Umum (Waktetum) PPP Arsul Sani menyebut di internal PPP tengah muncul pembahasan mengenai skenario jika Cawapres Ganjar bukan Sandiaga Uno yang di tawarkannya.
Kendati secara organisasi PPP menyatakan tetap berkomitmen mendukung Ganjar meskipun tak dapat jatah cawapres tetapi pernyataan dari Asrul Sani yang yang menyinggung komitmen dan keluar dari elite PPP agaknya memiliki intensi tertentu yang bisa mengandung kebenaran didalamnya. Tetapi bisa jadi hal itu hanya sekadar gertakan belaka ?
Kendati demikian, akan sangat menarik untuk menanti sikap PPP sesungguhnya andai Sandi tak dipilih sebagai cawapres Ganjar, termasuk dampak berantainya terhadap peta politik nasional di 2024 nantinya.
Memang dengan bergabungnya Golkar dan PAN ke Prabowo, urusan internal di Koalisi PDIP terutama untuk bacawapres lebih sederhana, pilihannya hanya tinggal satu, yakni Sandiaga Uno yang disodorkan oleh PPP.Kecuali, ada kondisi di mana PKB lantaran Gus Imin tak jadi bacawapresnya Prabowo di KKIR, ia loncat pagar dan bergabung ke Koalisi PDIP.Namanya juga politik segala kemungkinan masih sangat terbuka.
Ketiga, Peran Sentral para King dan Queen Maker di masing-masing koalisi menjadi krusial. Seperti diketahui lahirnya koalisi besar telah memunculkan adanya peran sentral (king maker dan queen makernya) di masing masing koalisinya.
Di Koalisi KKIR ada nama Jokowi yang di duga sebagai king makernya. Di Koalisi Perubahan dan Perbaikan (KPP) ada nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY yang kuat dugaan sebagai king makernya. Sementara di koalisi PDIP bersama PPP ada nama Megawati Soekarno Putri yang dianggap sebagai Queen makernya.
Ketiga King dan Queen maker tersebut nampaknya harus tetap waspada dan bekerja keras untuk memastikan poros yang terbentuk bisa dipertahankan di tengah perdebatan capres-cawapres yang meruncing sebagai arahan demi mengejar efek ekor jas (coat tail effect) agar raihan suara partai bisa turut terdongkrak nantinya.
Ke empat, Posisi KKP yang mengusung Anies Baswedan sebagai Capresnya Semakin Jelas. Karena lahirnya KKIR dengan tambahan 2 partai (Golkar dan PAN) memperjelas posisi kontestasional, dan ini yang diharapkan kubu Anies-dengan KKP-nya. Mereka akan all out bertarung di medan kontestasi elektoral 2024 dengan rival yang sudah semakin jelas harus berhadapan dengan siapa.
Di sisi lain, yang tak kalah penting diulas adalah faktor Anies-KKP pasca putusan MA menolak PKnya kubu Muldoko. Karena dengan adanya keputusan MA itu telah membuat kubu Anies-KKP makin solid saja. Semangat mereka kain berkibar lantaran clear sudah: Anies-KKP bisa melaju dan mendaftarkan Paslon mereka ke KPU Oktober-November nanti, karena posisi Demokrat aman untuk mempertahankan koalisinya dengan Nasdem dan PKS setelah lolos dari pembegalan yang dilakuka oleh orang istana.
Kelima, Bergabungnya PAN dan Golkar ke KKIR telah Membuat Koalisi PDIP dan PPP Menjadi Kesepian.Diakui atau tidak, bergabungnya Golkar dan PAN ke Prabowo telah membuat koalisi PDIP dan PPP menjadi sedikit "kesepian". Saat ini sekondan PDIP dalam mengusung Ganjar hanya 1 partai parlemen paling mini, PPP, dan dua partai non-parlemen Partai Hanura dan Partai Perindo.
Dengan minimnya dukungan dari sisi partai kepada Capres Ganjar Pranowo tentu merupakan suatu hal yang tidak menguntungkan bagi mereka. PDIP yang awalnya begitu percaya diri karena bisa mengusung calonnya sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lainnya, saat ini justru menjadi barisan koalisi yang sangat minim pendukungnya.
Meskipun demikian, semua pihak memang tidak boleh buru buru bungah duluan atau merasa menang sebelum hari penentuan itu tiba. Karena sesungguhnya koalisi partai yang terbentuk saat ini baru setengah perjalanan menuju koalisi permanen di Pilpres 2024 nantinya.
Di tengah perjalanan everything can happen, sebelum ada janur kuning melengkung, sebelum ada keputusan resmi dari KPU siapa capres dan cawapres secara definitif, maka sepanjang itu juga peta politik akan dinamis dan bisa berubah tanpa bisa disangka sangka.
Ganjar Ambyar ?
Kalau kita mengikuti proses pencalonan Ganjar Pranowo sebagai capres yang di usung oleh PDIP, begitu panjang panjang dan berliku jalannya. Hal pertama yang harus diungkapkan, dan mestinya juga disadari betul terutama oleh Ganjar dan Ganjarian terkait pencapresannya oleh PDIP adalah, bahwa pencalonan itu terjadi karena situasi fait accompli (fetakompli) yang dihadapi Megawati sebagai Ketumnya.
Megawati sepertinya "dipaksa" harus tunduk pada kehendak publik, meski kita semua tahu betul, beliau sesungguhnya menginginkan Puan Maharani putrinya. Maka dengan berat hati beliau menyerah dan Ganjar dideklarasikan sebagai Capres dari partai yang dipimpinnya.
Tapi ditengah perjalanan pencalonan Ganjarpun ternyata mendapatkan tantangan dari internalnya. Ada riak riak “pengkhianatan” yang muncul sebagai sebuah bentuk perlawanan halus kepada pencalonan Ganjar dari lingkungan internalnya.
Maka muncullah pernyataan aneh aneh dari internal kader PDIP seperti yang di lakukan oleh Effendi Simbolon, Budiman Sujatmiko dan yang lain lainnya yang tiba tiba saja memuji muji Prabowo Subianto sebagai Capres yang di usung partai Gerindra.
Bahkan kader utama PDIP sendiri yaitu Jokowi terlihat tidak sepenuhnya mendukung Ganjar melainkan justru cenderung mendorong Prabowo sebagai jagoannya.Di sisi lain, di tubuh Jokowian (baik dari kalangan relawan maupun partai politik) juga terjadi perubahan sikap dan/atau perpecahan dalam menyikapi pencapresan Ganjar.
Dengan frasa "kami tegak lurus dengan Jokowi" seperti yang kerap diungkapkan Projo dan Bara JP misalnya, para pendukung fanatik Jokowi sejak Pemilu 2014 dan 2019 belakangan berhamburan dan sebagian besar merapat ke kubu Prabowo.
Padahal, PDIP tentu saja berharap mereka akan menjadi bagian dari mesin pemenangan Pemilu 2024, mesin pengantar Ganjar ke istana. Terakhir bahkan PSI, yang kerap dijiuluki publik sebagai "PDIP U-23" juga cenderung mengalihkan endorsmentnya dari Ganjar ke Prabowo.
Posisi Ganjar sebagai Capres yang diusung oleh PDIP dan PPP menjadi bertambah rawan setelah PAN dan Golkar merapat ke KKIR yang mengusung Prabowo sebagai calon presidennya. Pada hal partai PAN, Golkar dan PPP itu bergabung menjadi menjadi Koalisi Indonesia Bersatu dulunya dibentuk bertujuan untuk mendukung Ganjar sebagai Capresnya kalau PDIP tidak mengusungnya.
Kini dengan terbentuknya koalisi besar dengan suara akumulasi hasil Pemilu 2019 sekitar 40%an tentu akan menjadi tantangan berat buat kubu Ganjar yang sejauh ini baru bisa mengumpulkan kumulasi modal suara sekitar 27%an bersama PPP, Perindo dan Hanura.
Dalam konteks ini, dua fenomena terbaca: Jokowi makin jelas arah dukungannya kepada Prabowo dan koalisi 4 partai di KKIR bakal menjadi sandungan berat buat Ganjar untuk bisa melenggang ke istana.
Jika analisis ini sahih, Ganjar akan benar-benar sulit memenangi kontestasi dan itu artinya PDIP bakal menerima imbas menjadi pecundang di Pemilu 2024. Sepertinya tidak mustahil Megawati akan meninjau ulang keputusannya mencalonkan Ganjar yang dari awal mula sebenarnya tidak terlalu dikehendakinya.
Selain sebab sebab sebagaimana dikemukakan diatas, alasan yang bisa menjadi dasar pencalonan Ganjar bisa di kaji kembali adalah sebagai berikut:
Pertama, Terus Anjloknya Elektabilitas Ganjar Pranowo. Hari hari terakhir ini elektabilitas Ganjar sebagai Capres yang di usung oleh PDIP terindikasi terus menurun dibandingkan dengan saat awal pencalonannya. Terus menurunnya elektabilitas Ganjar ini bisa menjadi sebab Megawati Ketua Umum PDIP akan mengevaluasi pencalonannya digantikan oleh Puan Maharani, putrinya.
“Ganjar diplot untuk capres tidak untuk calon wakil presiden, maka ketika suaranya di bulan Agustus ini tidak mencapai 40% maka dia dievaluasi oleh SK Ketua Umum Megawati,” kata Beathor Suryadi Penasihat Repdem yang juga kader PDIP dekat dengan almarhum Taufik Kiemas kepada redaksi www.suaranasional.com, Senin (14/8/2023).
Setelah Ganjar dievaluasi, kata Beathor, Megawati mengeluarkan SK untuk posisi cawapres. “Untuk itu dikeluarkan lagi SK berikutnya tentang SK pengganti Ganjar oleh kader lain untuk posisi cawapres,” papar mantan tahanan politik era Soeharto itu sebagaimana dikutip media.
Kedua, Jika Jokowi Memasangkan Prabowo dengan Gibran Rakabuming, putranya. Kemungkinan Jokowi memasang Gibran sebagai wakilnya Prabowo bukan sesuatu yang mengada ada. Mengingat sinyal ke arah sudah ada. Diantaranya dengan diajukannya yudisial review ke Mahmakah Konstitusi (MK) terkait dengan batasan usia calon presiden dan wakil presiden Indonesia.
Adanya usulan untuk meninjau ulang batasan umur tersebut di sinyalir untuk mengakomodasi kepentingan agar Gibran bisa ikut berlaga di 2024 sebagai wakil Prabowo. Mengingat saat ini minimal usia Capres atau Cawapres harus berusia minimal 40 tahun sementara usia Gibran belum mencapai prasayarat itu sehingga ketentuan yang ada harus diamandemen agar anak presiden bisa mencalonkan dirinya.
Jika benar rencana pencalonan Gibran tersebut menjadi nyata maka elektabilitas Ganjar Pranowo dipastikan bakal anjlok tak berdaya. Dalam kaitan ini tentu PDIP tidak akan rela kalah di Pemilu 2024, jika Ganjar dikalahkan dengan putra pertama Presiden Jokowi itu. Maka, dari itu PDIP bisa saja bergabung dengan Gerindra mengusung duet Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.
PDIP bakal meninggalkan Ganjar di tengah jalan, jika melihat peluang menang di 2024 tidak ada. Pasalnya ekor jas Jokowi masih tinggi bagi para simpatisan PDIP yang dibuktikan dengan banyak relawan Jokowi yang masih setia kepadanya.
Ketiga, Terjadinya Indikasi Perpecahan dan Bergugurannya Pendukung Ganjar. Harus diakui, Bacapres PDI Perjuangan untuk Pemilu 2024, Ganjar Pranowo, belum mampu menjamin kemenangan. Pasalnya, selain PDI-P, rencana pencapresan Ganjar hanya didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Situasi ini cukup riskan bagi pencapresan Ganjar, karena back up mesin politik PPP masih belum bisa mengamankan dan mengoptimalkan pemenangan Ganjar di Pemilu nantinya.
Bahkan ada kecenderungan eksodus dukungan dari tokoh tokoh di internal PDIP maupun relawannya kepada calon lain di luar Ganjar Pranowo. Indikasi eksodus dukungan juga diperlihatkan oleh organisasi diluar PDIP dan underbownya seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan sebagainya.
Atas dasar kondisi sebagaiman dikemukakan diatas, pada bulan agustus ini mulai nyaring angin berembus yang mewartawakan kabar bahwa Ganjar akan dievaluasi kembali pencalonannya.
Sinyalemen itu antara lain di suarakan oleh Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Djarot Saiful Hidayat yang mengatakan pihaknya akan melakukan evaluasi terkait hasil survei Litbang Kompas yang mencatat elektabilitas Ganjar Pranowo kalah dari Prabowo Subianto terutama di kalangan pemilih NU (Nahdatul Ulama)
Senada dengan Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDIP Puan Maharani saat berada di Kota Solo juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, menurunnya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang berada di bawah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto versi hasil survei Litbang Kompas dinilai menjadi tantangan tersendiri bagi PDI Perjuangan.
Puan menyebut hasil survei itu akan menjadi evaluasi partai berlambang banteng moncong putih itu."Menjadi tantangan dan akan kita cermati untuk dievaluasi," kata Puan di Solo Paragon, Sabtu (27/5/2023) sebagaimana dikutip media.
Hari hari kedepan ini nampaknya merupakan saat yang cukup krusial bagi perjalanan karier seorang Ganjar menuju istana. Banyak onak dan duri yang menghambat perjalanan politiknya menjadi orang pertama di Indonesia.
Publik masih nanti perkembangan selanjutnya apakah Ganjar bisa terus bertahan sampai didaftarkan ke KPU menjadi salah satu Capres yang di usung oleh PDIP bersama sama dengan sekutu koalisinya, atau Ganjar akan ambyar ditengan jalan digantikan oleh kader PDIP yang lainnya ?. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya
Komentar