Dr. Ivan Yustiavandana S.H, LL.M,

Sistem Hingga Modus Pencucian Uang dan Rekening Jumbo Al-Zaytun

Sabtu, 29/07/2023 19:50 WIB
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana (ppid.ppatk.go.id).

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana (ppid.ppatk.go.id).

Jakarta, law-justice.co - Ivan Yustiavandana diangkat menjadi Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 25 Oktober 2021 usai dilantik oleh Presiden Jokowi.

Pria kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur, 20 Mei 1971 itu sudah bertugas di PPATK sejak tahun 2003 untuk itu ia terbiasa melacak dana-dana hasil pencucian uang. 
 
Tercatat dia pernah duduk sebagai Direktur Pemeriksaan, Riset dan Pengembangan, serta didapuk menjabat sebagai Deputi Bidang Pemberantasan PPATK sejak bulan Agustus 2020 hingga Oktober 2021.
 
Sepanjang kariernya di PPATK, berbagai riset juga ia lakukan. Pertama, ia memproduksi Hasil Pemeriksaan dan Riset Strategis di bidang anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme alias APU PPT. 
 
Nama Ivan juga tercatat sebagai koordinator penyusunan National Risk Assessment on Money Laundering alias NRA-ML serta National Risk Assessment on Terrorist Financing alias NRA-TF. 
 
Dengan pengalamannya di bidang penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang alias TPPU serta tindak pidana pendanaan terorisme alias TPPT, ia pun mengkoordinir penyusunan tiga indeks. 
 
Mulai dari Financial Integrity Rating alias FIR, Indeks Efektivitas Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan TPPT, kemudian Indeks Persepsi Publik terkait Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan TPPT. 
 
Namanya juga dikenal di tingkat regional dan internasional. Ivan aktif dalam Financial Intelligence Consultative Group alias FICG, Anti-Money Laundering/Counter-Terrorist Financing Work Stream di kawasan ASEAN, Australia, dan Selandia Baru.  
 
"Saya sudah sejak tahun 2003 bertugas disini (PPATK), artinya sudah 20 tahun," kata Ivan kepada Law-Justice.
 
Selain itu, Kepala PPATK ini memiliki latar belakang sarjana hukum dari Universitas Jember. Pendidikan lanjutan ia tempuh di Washington College of Law, Amerika Serikat. Dari situlah ia menerima gelar Latin Legum Magister (LLM), setara dengan Master of Law. Namanya semakin panjang dengan gelar Doktor Cum Laude dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.  
 
Nama Ivan sempat menjadi sorotan ketika ia terlibat dalam tim satgas TPPU untuk mengusut dugaan pencucian uang Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan bersama dengan Menkopolhukam Mahfud MD.
 
Kejahatan Pencucian Uang Semakin Modern
 
Pada tahun 2023 ini, PPATK berhasil mengungkap beberapa kasus pencucian uang yang melibatkan sejumlah pejabat dari tingkat nasional hingga regional.
 
Ivan menjelaskan seiring dengan perkembangan teknologi, kejahatan pencucian uang saat ini terjadi semakin modern. Ivan menuturkan dengan menjauhkan para pelaku kejahatan dari hasil kejahatannya, pelaku kejahatan dapat menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepadanya. 
 
Selain itu pelaku bisa melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah.
 
"Pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) tahap kegiatan, yakni placement, layering dan integration," tuturnya.

Ivan menyebut yang dimaksud Placement adalah fase menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan misalnya dengan pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening simpanan bank, atau dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan (misalnya cek atau giro) yang akan ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di rekening bank yang berada di lokasi lain. 
 
Selain itu, Placement dapat pula dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah.

"Kedua, Layering diartikan sebagai memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan," ungkapnya. 
 
Ivan menyatakan bila dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/menyembunyikan sumber uang “haram” tersebut.

Sementara untuk, Integration yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legitimate explanation` bagi hasil kejahatan. Disini uang yang ‘dicuci’ melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi.
 
"Sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry," imbuhnya. 
 
Integration merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh para pelaku dalam hubungan dengan penyedia barang atau jasa lainnya. Penyedia barang atau jasa lainnya misalnya dapat dimanfaatkan melalui pembelian kendaraan bermotor tempat tinggal dalam bentuk rumah maupun apartemen, perhiasan maupun logam mulia, koleksi barang seni dan antik.

Ivan menyebut pesatnya kemajuan teknologi dan arus globalisasi membuat kegiatan usaha penyedia barang dan/atau jasa lainnya juga dapat menjadi lahan yang empuk bagi para pelaku kejahatan pencucian uang. 
 
Ia juga memaparkan pada kenyataannya menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir para pelaku pencucian uang telah membuat langkah terobosan dengan mempergunakan penyedia barang dan/atau jasa lainnya sebagai sarana pencucian uang. 
 
"Tren sekarang, para pelaku tindak pidana pencucian uang sudah beralih ke sistem digital seperti bitcoin, NFT dan lain sebagainya," paparnya.
 
Modus Pelaku Pencucian Uang
 
Ivan menyebut pada tahap pencucian uang, uang yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.
 
Ivan mengatakan terdapat beberapa modus pencucian uang yang banyak dilakukan oleh pelaku pencucian uang. Pertama adalah Smurfing yakni upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi yang dilakukan oleh banyak pelaku.

"Kedua adalah Structuring, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi sehingga jumlah transaksi menjadi lebih kecil.

Kemudian, pencucian uang biasa dilakukan pelaku dengan melakukan pembelian aset/barang-barang mewah, yaitu menyembunyikan status kepemilikan dari aset/barang mewah termasuk pengalihan aset tanpa terdeteksi oleh sistem keuangan.

Selain itu, Ivan menjelaskan ada pula dengan menggunakan metode pertukaran barang (barter), yaitu menghindari penggunaan dana tunai atau instrumen keuangan sehingga tidak dapat terdeteksi oleh sistem keuangan.

"Ada juga, penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari terdeteksinya identitas dari pihak yang sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana," ucapnya.

Kepala PPATK itu juga menyatakan adapula metode mingling yaitu dengan mencampurkan dana hasil tindak pidana dengan dana dari hasil kegiatan usaha yang legal dengan tujuan untuk mengaburkan sumber asal dananya.

Ivan menjelaskan pelaku pencucian uang juga terkadang menggunakan identitas palsu, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas palsu sebagai upaya untuk mempersulit terlacaknya identitas dan pendeteksian keberadaan pelaku pencucian uang.
 
"Memang semakin berkembangnya teknologi maka kita harus waspada pula dengan tindak pencucian uang yang semakin modern itu menjadi tugas PPATK," bebernya.
 
Rekening Jumbo Al-Zaytun
 
Usai menangani kasus Rp 349 Triliun di Kementerian Keuangan, saat ini publik tengah dibuat geger dengan ditemukannya fakta bahwa terdapat rekening jumbo dari Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun Panji Gumilang.
 
Ivan mengatakan bila saat ini PPATK tengah mendalami adanya temuan 256 rekening diduga milik pemimpin Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang dengan enam nama yang berbeda. 
 
Ivan juga menyatakan bila proses pendalaman terkait rekening tersebut juga terus dikoordinasikan secara intensif dengan penyidik yang menangani perkara Panji Gumilang. 
 
“Soal Al Zaytun ini masih dalam proses ya. Koordinasi dengan penyidik terus dilakukan secara intensif,” katanya.
 
Ivan juga belum mau berbicara banyak terkait proses pendalaman yang dilakukan PPATK tersebut. Ivan hanya memastikan bahwa PPATK melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
 
"Jadi saya memastikan bahwa PPATK menjalan tugas sesuai UU yang berlaku," imbuhnya.
 
Beberapa waktu lalu juga beredar kabar bahwa PPATK memblokir sejumlah rekening dari Panji Gumilang dan Pondok Pesantren Al Zaytun.
 
Ivan menyebut terkait isu PPATK memblokir seluruh rekening milik Panji Gumilang dan Pondok Pesantren Al Zaytun itu tidak benar. Ivan menyebut masih ada rekening yang bisa dioperasikan oleh Panji maupun Al Zaytun untuk operasional.

"Statemen PG bahwa semua rekening diblokir dan AZ tidak bisa mengelola kegiatannya adalah tidak benar," ujarnya.

Ivan mengungkap, dalam pemantauan PPATK, rekening yang tidak diblokir masih melakukan transaksi keuangan. Hal itu sekaligus membantah Al Zaytun tidak bisa menjalankan operasionalnya.

"Rekening operasional masih bisa dipakai dan faktanya dilakukan penarikan dalam jumlah besar hampir tiap hari melebihi estimasi biaya kebutuhan operasional harian atau bulanan," jelasnya.

Tak hanya itu, Ivan bahkan menyebut penarikan uang dari rekening yang tidak diblokir jumlahnya fantastis. Namun, dia tak menyebut secara pasti jumlahnya. Hanya saja dalam kisaran ratusan miliar rupiah.

"Ratusan M (jumlah penarikannya). Kita tidak tahu apakah dipakai untuk operasional atau untuk hal lain," tutupnya.

(Givary Apriman Z\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar