Kata NasDem, Demokrat & PDIP soal Surat Denny Minta DPR Periksa Jokowi

Rabu, 07/06/2023 13:08 WIB
Kata NasDem, Demokrat & PDIP soal Surat Denny Minta DPR Periksa Jokowi. (Kolase Dari Berbagai sumber).

Kata NasDem, Demokrat & PDIP soal Surat Denny Minta DPR Periksa Jokowi. (Kolase Dari Berbagai sumber).

Jakarta, law-justice.co - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat buka suara merespons surat terbuka Denny Indrayana yang mendorong DPR untuk memeriksa Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pemakzulan atau impeachment dari jabatannya.

Menurut Denny, sudah ada beberapa dugaan pelanggaran terhadap UUD 1945, sehingga Jokowi layak untuk diperiksa oleh DPR.

Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Syarief Hasan menyebut partainya akan menunggu perkembangan selanjutnya soal itu.

"Ya kita lihat saja nanti perkembangannya," kata Syarief di kompleks parlemen, Rabu (7/6).

Ketika ditanyai soal keyakinannya apakah wacana itu akan disetujui oleh 2/3 anggota DPR, Wakil Ketua MPR RI Fraksi Partai Demokrat itu menyebut banyak jalan untuk menuju ke sana.

"Banyak jalan menuju ke Roma, banyak jalan untuk menegakkan kebenaran," ucap dia.

Fraksi NasDem di DPR Soal Usulan Periksa Jokowi: Lihat Saja Nanti

Disisi lain, Ketua Fraksi Partai NasDem di DPR Robert Rouw belum menentukan sikap untuk menanggapi permintaan mantan Wamenkumham Denny Indrayana mengenai hak angket untuk memeriksa Presiden Jokowi.

Denny meminta agar DPR menggunakan hak angket untuk memeriksa Jokowi dalam rangka pemakzulan karena diduga telah melakukan sejumlah pelanggaran.

"Kita lihat saja nanti," ujar Robert di kompleks parlemen, Senayan, Selasa (6/6).

Salah satu dugaan pelanggaran Jokowi adalah membiarkan Kepala Staf Presiden Moeldoko mengganggu kedaulatan Partai Demokrat yang diketuai Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Padahal, Menkumham Yasonna Laoly sudah mengakui AHY sebagai ketua umum yang sah.

Rouw mengatakan NasDem belum menentukan sikap karena yakin bahwa Jokowi sebenarnya tidak mendukung manuver kubu Moeldoko merebut Partai Demokrat dari AHY.

"Saya masih yakin enggak mungkin (Jokowi mendukung Moeldoko) lah seperti itu," kata Rouw.

Apabila mayoritas fraksi di DPR tidak akan memeriksa Jokowi dalam rangka pemakzulan, Rouw tetap menganggap manuver Moeldoko sebagai hal yang serius.

Menurutnya, gelagat Moeldoko sejauh ini sudah menjadi perhatian publik. Presiden Jokowi pun jadi kena imbas.

Misalnya citra buruk dan persepsi negatif karena anak buahnya mengganggu kedaulatan partai politik. Bahkan dianggap layak untuk dimakzulkan oleh mantan Wamenkumham Denny Indrayana.

"Ya, kan, yang dirugikan presiden. Akhirnya dianggap bahwa itu (campur tangan) presiden. Dia kepala staf loh, melekat sama presiden. Jadi, semua gerakannya dia itu ya gerakan presiden," kata dia.

Saat ini, kubu Moeldoko sudah mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas SK Menkumham mengenai kepengurusan Partai Demokrat yang diketuai AHY.

Menurut Rouw, sikap Moeldoko yang berani menempuh langkah hukum lanjutan itu perlu ditanggapi serius oleh Jokowi. Jika tidak, Rouw menganggap wajar jika masyarakat mengaitkan gelagat Moeldoko dengan restu Jokowi merebut Demokrat dari AHY.

"Kalau tidak disetujui pun (seharusnya) nyuruh mundur, kenapa terus dia lakukan itu? Jadi, saya kira masyarakat Indonesia sudah paham benar, mengerti, sudah tahu ini politik seperti apa," ucapnya.

PDIP Tantang Balik Denny Bongkar Campur Tangan Politik Rezim Era SBY

Terpisah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto menantang pakar hukum tata negara, Denny Indrayana untuk buka-bukaan soal dugaan penyalahgunaan kekuasaan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menurut Hasto, pemerintahan di era itu telah menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan elektoral untuk menaikkan suara partai tertentu hingga 300 persen.

"Kami minta Pak Denny Indrayana silakan ungkap apa yang pada tahun 2009 itu karena di situ lah justru terjadi suatu penyalahgunaan kekuasaan secara masif untuk kepentingan elektoral," ucap Hasto di Rakernas PDIP, Jakarta Selatan, Rabu (7/6).

Pernyataan itu disampaikan Hasto merespons desakan Denny agar DPR melakukan hak angket menyelidiki dugaan campur tangan pemerintah dalam proses hukum di MA. Denny bahkan menyebut SBY sudah layak dimakzulkan atas sikap cawe-cawenya di pencalonan presiden.

Merespons itu, Hasto menilai presiden dan wakil presiden memiliki legitimasi kepemimpinan yang kuat karena telah dipilih oleh rakyat. Sehingga presiden dan wakil presiden tak bisa semena-mena untuk diberhentikan.

"Itu melalui suatu mekanisme yang tidak mudah, sehingga harus paham Bung Denny terhadap sistem politik kita," kata Hasto.

Dia kembali menyindir balik Denny untuk bisa blak-blakan soal upaya campur tangan pemerintah pada 2009 dalam sistem pemilu sehingga ada perolehan suara partai yang naik hingga 300 persen. Dia menganggap angka kenaikan itu tidak normal. Sebab, PDIP dalam lima tahun saja hanya bisa naik 1,8 persen.

"Pak Denny saya ajak untuk coba evaluasi pemilu yang terjadi pada tahun 2009, ketika instrumen negara digunakan sehingga ada partai politik yang bisa mencapai kenaikan 300 persen," kata Hasto.

Surat Terbuka Denny Indrayana Minta DPR Proses Pemecatan Jokowi

Sebelumnya, Denny Indrayana mendorong DPR menggunakan hak angketnya untuk memeriksa Jokowi dalam rangka proses pemakzulannya sebagai presiden.

Setidaknya Denny menyampaikan tiga alasan. Pertama, soal indikasi penjegalan Anies Baswedan di Pilpres 2024.

Kedua, soal sikap Jokowi yang seakan diam saja ketika KSP Moeldoko mencoba mendongkel Partai Demokrat.

Denny juga menilai Jokowi telah memanfaatkan kekuasaannya dan sistem hukum untuk menekan pimpinan parpol dalam menentukan arah koalisi di Pemilu 2024.

Adapun soal pemberhentian presiden itu diatur pada Pasal 7B UUD 1945. Usulan itu diajukan oleh DPR yang harus disetujui paling sedikit oleh 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang Paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

Selanjutnya, proses itu pun berlanjut di Mahkamah Konstitusi (MK). MK wajib menentukan apakah presiden terbukti melakukan pelanggaran atau tidak.

Apabila MK memutuskan terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh presiden, selanjutnya prosesnya pun berlanjut di MPR, dan MPR wajib menggelar sidang untuk memutuskan usulan DPR itu.

Terakhir, keputusan soal pemberhentian presiden itu wajib diambil melalui Rapat Paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

 

 

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar