Abdullah Hehamahua

Soal Reformasi yang Tergadai: Indonesia Darurat Korupsi

Rabu, 07/06/2023 05:09 WIB
Ilustrasi korupsi (Foto: Detik.com)

Ilustrasi korupsi (Foto: Detik.com)

Jakarta, law-justice.co - Korupsi, dari aspek target yang dicapai, ada tiga jenis: material corruption, political corruption, dan intellectual corruption.

Era orde lama, ada krisis konstitusi. Sebab, Soekarno melakukan korupsi politik. Ujungnya, MPRS menghalaunya dari istana. Matinya pun dalam status tahanan kota.
Era orde baru, subur korupsi material. Sebab, kolusi dan nepotisme marak dilakukan keluarga Soeharto. Ujungnya, mahasiswa melengserkannya. Bahkan, matinya pun dalam status terdakwa.

Orde reformasi, Indonesia “tergadai” di tangan oligarki. Sebab, korupsi di bidang politik, ekonomi, dan intelektual terjadi sekaligus. Ini karena, era orla, korupsi terjadi di bawah meja dan masa orba, rasuah ada di atas meja. Namun, era reformasi, mejanya pun dibawa kabur. Bahkan, Menko Polhukam mengatakan, korupsi lebih gila dari orde baru. Olehnya, tema edisi ini, “Indonesia darurat korupsi.”

Korupsi Era Orde Lama

Soekarno paling super dalam melakukan “political corruption.” Korupsi politik pertama yang dilakukannya, Badan Konstituante dibubarkan. Padahal, Badan ini merupakan hasil Pemilu 1955, pilihan raya yang terjujur, transparan, dan demokratis. Kedua, Soekarno memaksa ideologi Nasional, Agama, Komunisme (Nasakom), ajaran yang bertentangan dengan UUD 45. Ketiga, Soekarno mengeluarkan Indonesia dari PBB tanpa persetujuan parlemen.

Korupsi politik keempat, Soekarno membubarkan Masyumi tanpa melalui proses pengadilan. Bahkan, menurut Persahi, pembubaran Masyumi, secara yuridis formil, tidak sah. Korupsi politik kelima, penetapan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, sesuatu yang bertentangan dengan UUD 45. Korupsi politik keenam, Soekarno tidak mau bubarkan PKI. Padahal, partai ini yang membunuh enam jenderal. Wajar jika MPRS halau beliau dari istana. Meninggal pun dalam status tahanan kota.

Korupsi Era Orde Baru

Korupsi berupa kolusi dan nepotisme sangat kental. Sebab, keluarga Cendana dan pengusaha nonpribumi menguasai dunia usaha. Bahkan, katering di hotel dan sepatu yang digunakan murid-murid sekolah pun dikuasainnya.

Korupsi materi terbesar yang dilakukan Soeharto adalah berkaitan dengan dana-dana tujuh yayasan yang didirikannya. Hal ini sesuai dengan amanat Tap MPR No IX/MPR/1998 tentang Pemberantasan KKN. Putusan MA, keluarga Soeharto harus mengganti kerugian sebesar 4,4 trilyun rupiah ke negara.

Bahkan, Soeharto diseret ke Pengadilan. Namun, perdebatan hukum terjadi. Apakah Soeharto tetap diadili atau dihentikan karena mengalami gangguan kesehatan permanen. Jadi, meninggalnya pun dalam status terdakwa.

Korupsi boleh dibilang tidak terjadi di sektor legislative dan yudikatif. Sebab, era orde baru dikenal sebagai “executive heavy.” Inilah korupsi politik terbesar yang dilakukan Soeharto. Namun, Soeharto baru melibatkan anaknya dalam kabinet pada periode terakhir setelah 32 tahun berkuasa.

Tutut, putri sulungnya, baru menjadi Menteri dalam periode terakhir Orba. Itu pun beliau hanya menjabat selama 68 hari (14 Maret 1998 – 21 Mei 1998). Sebab, Soeharto dilengserkan. Sebelumnya, Tutut pernah menjadi anggota MPR dari fraksi Golkar (1 Oktober 1992 – 14 Maret 1998).

Korupsi politik super yang dilakukan Soeharto adalah membubarkan parpol, menyelewenangkan Pancasila melalui doktrin asas tunggal, dan menyimpangkan Dwi Fungsi ABRI. Bahkan, anggota Petisi 50 dialeanasi dan Dewan Mahasiswa dibubarkan. Beberapa koran dan majalah dibredel. Ratusan orang ditangkap dan dibunuh dalam peristiwa Malari (1974) dan Tanjung Priok (1978).

Korupsi Era Reformasi

Inilah periode “balas dendam.” Dimulai dengan keturunan Soekarno “menghabisi” keluarga Soeharto. Polisi “balas dendam” terhadap TNI. RRT menggeser dominasi AS di Indonesia. Semuanya dimulai dengan mengubah UUD 45 menjadi UUD 2002. Inilah korupsi politik terbesar yang dilakukan orde reformasi.

Era “balas dendam” melahirkan multi krisis. Indonesia berada dalam lima keadaan darurat: korupsi, narkoba, keluarga, penegakkan hukum, dan identitas. KKN paling gila terjadi pada era Jokowi. Sebab, oligarki menguasai seluruh jalur pemerintahan, legislative, dan yudikatif.

Jika era orba, korupsi hanya terjadi di kalangan eksekutif dan pengusaha nonpribumi, masa reformasi, KKN terjadi di seluruh bidang kehidupan. KKN terjadi di eksekutif, legislative, yudikatif, BUMN/BUMD, dan perusahaan swasta. Bahkan, korupsi pun merambat ke dunia pedidikan.

Korupsi era reformasi dimulai dengan pleno DPR, 29 Januari 2001, menerima hasil kerja Pansus investigasi dugaan penyimpangan dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera), Bulog dan bantuan dari Sultan Brunei. Gus Dur diduga menyalah-gunakan bantuan Sultan Brunei (dua juta dollar AS) dan Rp. 35 milyar dana Yanatera, Bulog. Kedua dana tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah Aceh.

Sejatinya, Kejaksaan Agung tidak menemukan alat bukti yang sah atas tuduhan KKN yang dilakukan Gusdur. Namun, tanggal 23 Juli 2001, MPR melengserkan Gusdur. Alasannya, Gusdur melanggar pasal 9 UUD 45 tentang sumpah jabatan dan menyimpang dari TAP MPR No. XI/1999 tentang PN yang bebas dari KKN.

Megawati sebagai Presiden diduga terlibat kasus BLBI. Sebab, beliau yang menerbitkan Inpres No.8/2002 berkaitan dengan Surat Keterangan Lunas (SKL). Olehnya, adik kandungnya, Rahmawati menilai, Megawai bertanggung jawab atas penerbitan SKL tersebut.

Bahkan, Kwik Gian Gie, mantan Ketua Bappenas dalam sidang Pengadilan Tipikor menyatakan, beliau tidak setuju diterbitkannya SKL tersebut. Sebab, menurutnya, dampaknya besar. Hal ini dibuktikan dengan negara mengalami kerugian hampir Rp 5 Triliun.

Era SBY, sekalipun presiden mendukung penuh KPK, tapi pemerintah tidak terlepas dari jeratan korupsi. Ketua Umum dan Bendahara Umum Partai Demokrat ditangkap KPK. Bahkan, empat Menteri kabinet SBY ditangkap.

Era reformasi, koruptor yang ditangkap KPK (2004–2022) sebanyak 1.351 orang. KPK paling banyak menangkap koruptor pada periode Jokowi (2018). Ada 200 kasus pada tahun tersebut. Pada era Jokowi inilah, semua jenis korupsi terjadi. Ada korupsi politik, korupsi material, dan korupsi intelektual.

Korupsi politik terbesar yang dilakukan pemerintahan Jokowi adalah kecurangan dalam Pemilu dan Pilpres 2019. Korupsi politik kedua terbesar adalah pembubaran sejumlah Perda, penerbitan UU covid 19, UU Minerba, amandemen UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, dan UU KUHP. Demikian pula halnya dengan pembunuhan enam laskar FPI di KM50, 11 orang dalam peristiwa Bawaslu, dan 700-an petugas KPPS yang meninggal secara tidak wajar.

Korupsi politik Jokowi yang super adalah menerbitkan Keppres No17/2022 dan Inpres No.2/2023 yang bercanggah dengan Tap MPRS No XXV/1966 yang melarang ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme. Keppres dan Inpres tersebut menimbulkan pertanyaan mayarakat, apakah Jokowi keturunan PKI. Tidak kalah dahsyatnya, Jokowi ikut “cawe-cawe” dalam proses pencapresan 2024.

Korupsi material terbesar terjadi dalam pemerintahan Jokowi. Ada 904 kasus (2004 – 2022) berkaitan dengan suap dan gratifikkasi. Dahsyatnya, periode Jokowi, 380 koruptor yang ditangkap KPK. Termasuk empat orang Menterinya Jokowi.

Pengadaan barang atau jasa merupakan tindak pidana korupsi terbanyak kedua yang ditangani KPK. Ada 277 kasus. Jenis korupsi ketiga, penyalahgunaan anggaran (57), pencucian uang (50), pungutan atau pemerasan (27), perizinan (25), dan perintangan proses penyidikan (11).

Korupsi material yang tidak kalah serius dilakukan Jokowi adalah pembangunan infra struktur. Termasuk kereta api cepat, Jakarta – Bandung dan pembangunan IKN, sesuatu yang hanya memenuhi birahi para oligarki. Satu hal yang pasti, Indonesia punya utang (2023), delapan ribu trilyun dengan bunga utangnya, 441T.

Korupsi intelektual yang mencolok pada era Jokowi adalah skenario penetapan anak dan mantunya menjadi walikota di Solo dan Medan. Jika Soeharto selama 32 tahun berkuasa baru menunjuk anaknya menjadi Menteri, Jokowi sangat dahsyat. Hanya dalam masa 7 tahun, anak dan mantunya sudah dipaksa menjadi walikota.

Korupsi inteletual yang tidak kalah dahsyat adalah penggunaan dana haji untuk pembangunan infra struktur. Dampaknya, ONH tahun ini, meningkat hampir 50%. Sebab, subsidi pemerintah yang selama ini diberikan karena interest dana haji yang disimpan di bank-bank, sudah tiada.

Partai-Partai Terkorup

Hasil survei ICW, ditemukan data, dari tahun 2002 sampai 2014, ada 3 besar partai terkorup. Dari 904 koruptor yang ditangkapk KPK, PDIP rangking pertama (36,9%). Kedua, Golkar (23,9%) dan ketiga, Demokrat (12,1%). Partai-partai terkorup berikutnya, berturut-turut: PAN, PKB, PPP, Gerindara, Hanura, PBB, PKS, dan PKPI..

Berbeda dengan orde lama dan orba, era reformasi, korupsi di kalangan pemerintah daerah, gila-gilaan. Kasus yang ditangani KPK, 2004 – 2022, ada 548 kasus yang libatkan kepala daerah kabupaten/kota.

Kementerian/Lembaga Negara merupakan area kedua terbesar korupsinya, 422 kasus. Terakhir, kasus yang melibatkan pemerintah provinsi sebanyak 174 kasus.

Kerugian Keuangan Negara

ICW menghimpun sejumlah data berkaitan dengan kerugian keuangan negara karena korupsi selama tahun 2022. Kerugian negara terbesar adalah korupsi di sektor perdagangan, Rp. 20,9 triliun. Sektor kedua, transportasi, Rp. 8,82 triliun. Sektor ketiga, SDA, Rp. 7 triliun. Keempat, agraria, dengan nilai kerugian Rp2,66 triliun.

Kasus korupsi sektor desa, ternyata paling banyak pada 2022, yakni 155 kasus. Kerugian negara sebesar Rp. 381 miliar. Belum lagi 349 trilyun rupiah yang tidak jelas prosesnya di Kemenkeu. Bahkan, ada informasi, kerugian keuangan negara melalui bea cukai, 3 ribu trilyun. Jadi, periode Jokowi yang paling banyak menimbulkan kerugian keuangan negara.

IPK Indonesia, Terjun Payung

Indikator suatu negara korupsi atau tidak, diketahui melalui Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Kepemimpinan KPK jilid 1 sampai 3, IPK Indonesia merambat secara gradual sampai mencapai angka 40. Tahun 2022, KPK di bawah pimpinan Jokowi, IPK Indonesia terjun payung menjadi 34.

Maknanya, Indonesia betul-betul dilanda darurat korupsi. Tidak ada pilihan lain, rakyat harus menyelamatkan Indonesia dari darurat korupsi dengan cara, mengganti rezim ini pada Pileg, Pilpres, dan Pilkada 2024 nanti. Semoga !!! (Bandung, 5 Juni 2023).

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar