Ulfia Pamujiningsih, S.H., M.H., Staf Kanwil BPN Provinsi Lampung

Analisis Hukum Nebis In Idem di Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Senin, 05/06/2023 00:01 WIB
Ilustrasi Kolaborasi Konflik Tanah (Mudanews)

Ilustrasi Kolaborasi Konflik Tanah (Mudanews)

Jakarta, law-justice.co - Peningkatan perkara tanah dari 342 putusan incraht di tingkat kasasi pada tahun 2021 menjadi 583 putusan incraht di tingkat kasasi pada tahun 2022 (penelusuran melalui website Direktori Putusan Mahkamah Agung pada 1 Maret 2023) membutuhkan upaya penanganan baik berupa pencegahan maupun penyelesaian.

Perkara tanah merupakan perselisihan pertanahan yang diselesaikan melalui lembaga peradilan. Selain perkara tanah, perselisihan pertanahan dapat berupa sengketa tanah dan konflik tanah. Perbedaan sengketa tanah dan konflik tanah menurut Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasionl (ATR/ Kepala BPN) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan dapat dibedakan dari dampak yang muncul.

Perselisihan pertanahan (antara orang perseorangan, badan hukum, atau bahkan lembaga) yang tidak berdampak luas dikategorikan sebagai sengketa tanah. Sebaliknya, dalam konflik tanah dampak yang timbul sudah atau cenderung berdampak luas. Perselisihan pertanahan akan menimbulkan efek ganda jika terjadi saat pelaksanaan pengadaan tanah. Hal ini berdasar selain karena kepemilikan tanahnya, dalam pengadaan tanah juga terdapat pemberian ganti kerugian yang berkaitan dengan keuangan negara.

Dalam peraturan perundang-undangan terkait pengadaan tanah dikenal sengketa kepemilikan yang dimaknai sebagai keberatan terhadap peta bidang tanah dan/atau daftar nominatif dari pihak lain yang belum diajukan ke pengadilan.

Terjadinya sengketa kepemilikan disiasati dengan ganti kerugian dititipkan melalui pengadilan (konsinyasi) yang pengambilannya dapat dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incraht) atau berita acara perdamaian (dading).

Di sisi lain, perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan tidak memiliki kekuatan hukum yang sama seperti Akta Perdamaian (acta van dading). Namun berdasarkan Pasal 36 Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, perdamaian di luar pengadilan bisa ditetapkan menjadi Akta Perdamaian apabila didaftarkan kepada pengadilan melalui pengajuan gugatan. Artinya, jalan pihak-pihak yang bersengketa atas kepemilikan obyek tanah diarahkan menempuh jalur litigasi.

Mencermati Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (PP Pengadaan Tanah), dan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 19 Tahun 2021 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Pengadaan Tanah, menaruh harapan besar pada lembaga peradilan untuk memberikan kepastian hukum dalam menentukan pihak yang berhak atas terjadinya sengketa kepemilikan dalam pengadaan tanah.

Penyelesaian sengketa kepemilikan di pengadilan berpedoman pada hukum acara di Indonesia (peradilan umum, peradilan agama dan Peradilan Tata Usaha Negara). Sengketa kepemilikan yang telah diputus masuk pada materi perkara telah incraht sepatutnya tidak dapat digugat kembali atas obyek yang sama (asas ne bis in idem). Realitas yang terjadi justru muncul subyek baru untuk menggugat obyek tanah yang telah dilekati putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Kegamangan penerapan asas ne bis in idem dalam sengketa kepemilikan juga sejalan dengan larangan pengadilan menolak perkara (prinsip ius curia novit yang dalam hukum positif menjelma dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Pertanyaannya adalah, bagaimana posisi ne bis in idem dalam menyelesaikan sengketa kepemilikan dalam pengadaan tanah?

Ne bis in idem diartikan bahwa hakim tidak boleh memeriksa dan memutus kedua kalinya atas perkara yang telah diperiksa dan diputus (Abdul Kadir, 1996:39). Ne bis in idem sebagai suatu asas berhubungan langsung dengan finalisasi putusan, kepastian hukum bahkan keterikatan hakim pada putusan incraht (Ilhamdi Putra dan Khairul Fahmi, 2021:350). Pedoman ne bis in idem di lingkungan MA diatur dalam Surat Edaran MA Nomor 03 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Azas Nebis In Idem. Aturan tersebut menginstruksikan ketua pengadilan untuk serius memperhatikan asas ne bis in idem agar terlaksana dan menghindari putusan yang berbeda.

Unsur ne bis in idem dalam hukum pidana tegas diatur dalam Pasal 134 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menekankan  seseorang tidak dapat dituntut kedua kalinya dalam perkara yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sementara dalam hukum perdata, ne bis in idem yang tercermin dalam Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diharuskan mengenai tuntutan yang sama, alasan tuntutan yang sama, diajukan oleh pihak yang sama, bahkan hubungan yang sama antar pihak-pihak tersebut.

Unsur pihak dan obyek dalam KUHPerdata kembali diperinci dengan Surat Edaran MA Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MA sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, bahwa pihak ne bis in idem tidak harus sama persis dengan perkara terdahulu dengan syarat prinsip pihaknya sama meski terdapat penambahan pihak. Selain itu syarat ne bis in idem adalah obyek perkara telah memiliki status dari putusan terdahulu.

Kejelasan status obyek perkara berdasarkan putusan terdahulu menjadi kesulitan baru untuk mengimplementasikan ne bis in idem pada perkara yang putusannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) oleh pengadilan tingkat pertama. Putusan niet ontvankelijke verklaard ditafsirkan bahwa obyek perkara menjadi tidak berstatus. Putusan niet ontvankelijke verklaard atas sengketa kepemilikan pengadaan tanah menyebabkan jangka waktu pelaksanaan pembayaran ganti rugi atas obyek tanah yang disengketakan kepemilikannya menjadi tidak dapat diprediksikan meski telah dititipkan di pengadilan.

Pencari keadilan berpeluang mengajukan gugatan baru (pengajuan ulang) dapat dilakukan kapan pun (tidak ada batas waktu) sebagai akibat dari putusan niet ontvankelijke verklaard baik sebelum putusannya incraht atau setelah incraht (Ahmad Z. Anam,2017:1). Putusan niet ontvankelijke verklaard di tingkat pertama berdasarkan asas ne bis in idem apakah akan kembali diputus niet ontvankelijke verklaard pada tingkat banding dan seterusnya.

Akhirnya hipotesis yang diambil dari pendapat ilmiah tersebut bermuara bahwa ada ketidakpastian hukum atas asas ne bis in idem untuk putusan niet ontvankelijke verklaard. Lebih dari itu, kepatuhan panitera atau pengadilan yang memutus perkara terdahulu terhadap ketentuan hukum dan pedoman yang dikeluarkan oleh Ketua MA menjadi kunci terlaksananya asas ne bis in idem dalam perkara selanjutnya.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar