Jokowi Mulai Misi Selesaikan 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat di Aceh

Sabtu, 03/06/2023 13:20 WIB
Jokowi Pimpin Upacara Hari Lahir Pancasila di Monas (Tangkapan Layar YouTube Setwapres)

Jokowi Pimpin Upacara Hari Lahir Pancasila di Monas (Tangkapan Layar YouTube Setwapres)

Jakarta, law-justice.co - Presiden Joko Widodo akan memulai misi penyelesaian 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu secara non-yudisial di Aceh pada akhir Juni nanti. Akan tetapi salah satu perwakilan korban peristiwa Simpang KKA tahun 1999 berpesan kepada pemerintah agar memastikan seluruh korban menerima bantuan pemulihan dan tidak melupakan proses hukum di Kejaksaan Agung.

Anggota Tim Pelaksana Pemantau PPHAM, Beka Ulung Hapsara, berkata Presiden Joko Widodo memilih Aceh sebagai lokasi peluncuran kebijakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial dengan sejumlah pertimbangan.

Di sana, kata dia, setidaknya ada tiga kasus pelanggaran HAM berat yang diakui negara yakni Simpang KKA, Rumah Geudong, dan Jambo Keupok.

Berangkat dari "wilayah Indonesia Barat pula pemerintah ingin memulai misi tersebut untuk diteruskan sampai ke wilayah Indonesia bagian Timur," sambungnya.

Beka Ulung mengatakan nantinya Presiden Jokowi akan mengundang korban dan keluarga korban dari tiga kasus pelanggaran HAM berat tersebut dan berbincang langsung kepada mereka soal bentuk pemulihan yang dibutuhkan.

Salah satu korban peristiwa Simpang KKA tahun 1999, Murtala, menuturkan para korban tak keberatan dengan penyelesaian secara non-yudisial.

Pasalnya mayoritas korban telah berusia senja dan membutuhkan bantuan untuk hidup sehari-hari.

"Korban ini juga sangat membutuhkan [bantuan] karena banyak korban atau keluarga korban yang hari ini sudah sangat tua dan renta," ujar Murtala.

Hanya saja, Murtala berpesan kepada pemerintah agar mengakomodir seluruh korban tanpa kecuali.

Sebab dia khawatir jika tak semua korban menerima hak rehabilitasi dan reparasi akan menimbulkan perpecahan.

"Kalau mau penyelesaian non-yudisial silakan saja, tetapi harus terakomodir semua supaya tidak terjadi kesenjangan dan perpecahan di antara korban dan saling curiga," imbuh Murtala kepada wartawan Rino Abonita yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (02/06).

Catatan Murtala, korban yang terdata di Komnas HAM hanya 33 orang. Mereka adalah orang-orang yang pernah dimintai keterangannya atas insiden penganiayaan oleh aparat TNI kala itu.

Namun sesungguhnya jumlah korban dari peristiwa lampau tersebut mencapai 212 orang dengan rincian 46 warga sipil meninggal, 156 mengalami luka tembak dan 10 orang hilang. Tujuh dari korban tewas diidentifikasi masih anak-anak.

Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna, sependapat.

Dia mempertanyakan data korban pelanggaran HAM berat yang dikumpulkan Tim PPHAM untuk menyalurkan bantuan rehabilitasi serta reparasi.

Pasalnya tidak semua korban pelanggaran HAM berat di Aceh tercatat di Komnas HAM maupun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR Aceh) lantaran trauma dengan janji-janji pemerintah.

Jauh sebelum adanya Tim PPHAM, sambung Azharul, pemerintah di masa B.J Habibie dan Megawati Soekarnoputri juga pernah menawarkan bantuan serupa. Tapi itu semua "janji palsu," kata Azharsul.

Itu mengapa saat ini banyak korban skeptis dengan misi Presiden Joko Widodo.

"Jadi jangan lagi melimpahkan kesalahan pada korban dengan mengatakan `Siapa suruh tidak mau atau menolak?`"

Menurut dia, Tim PPHAM membutuhkan pendekatan baru untuk mendapat kepercayaan para korban. Kalau perlu menggelar pertemuan beberapa kali.


Lebih dari itu, Azharul mendesak Presiden Jokowi untuk tidak melupakan jalur penyelesaian secara hukum atau yudisial.

Menurutnya, tanpa menyeret para pelaku pelanggar HAM berat ke pengadilan sama saja negara melepaskan tanggung jawabnya.

"Peristiwa pelanggaran HAM pun akan terulang lagi di masa depan dan menimbulkan kultur impunitas."

Murtala yang merupakan Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA juga meminta pemerintah mendorong proses yudisial di Kejaksaan Agung.

Bagi para korban, katanya, penyelesaian di meja pengadilan adalah mimpi besar mereka.

"Hasil musyawarah kami, hasil mufakat kami, bincang-bincang kami, silakan saja pemerintah ingin melakukan pemulihan, tetapi jangan ditutup pintu proses Pengadilan HAM," jelasnya.

"Presiden Jokowi juga harus mengatakan begitu. Kan itu kewajiban negara untuk pemenuhan hak korban," sambungnya.


Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pasca Rumoh Geudong, Faridah, juga menyambut baik penyelesaian non-yudisial Presiden Jokowi.

Tetapi dia mempertanyakan keadilan bagi korban yang masih menyimpan trauma.

"Sudah 34 tahun tragedi ini terjadi, ada korban yang sampai hari ini masih membekas diingatan saya, bagaimana perempuan itu diperkosa selama delapan bulan pada pos itu, lalu korban lain yang sedang hamil tiga bulan, karena suaminya GAM lalu dia juga ikut dibawa ke pos itu," kata Faridah, kepada wartawan Hidayatullah yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.


Soal penyelesaian yudisial atau secara hukum, Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintah berusaha memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan proses yudisial.

Presiden lantas memerintahkan Menkopolhukam, Mahfud Md, untuk mengawal dua proeses tersebut agar cepat terlaksana.

Anggota Tim Pelaksana Pemantau PPHAM, Beka Ulung Hapsara, berkata komitmen pemerintah tak bergeser dari pernyataan Presiden Jokowi pada tanggal 11 Januari 2023 itu.

Adapun mengenai pendataan, katanya, para korban dan keluarga tidak perlu khawatir. Sebab Tim PPHAM akan terus mengidentifikasi para korban yang belum terdata.

"Data ini sesuatu yang dinamis dan tentu saja belum berhenti pada angka tertentu," imbuhnya.

Hingga saat ini, kata dia, Tim PPHAM di lapangan berupaya mendatangi para pendamping korban ataupun organisasi yang menaungi para korban.

Langkah lain yang ditempuh mengumpulkan data para korban dan keluarga mereka dari pemerintah daerah.

"Karena pemda punya aparat sampai ke desa-desa."

"Atau korban yang merasa belum terdata bisa langsung menemui Tim PPHAM, Komnas HAM atau Lembaga Perlindungan Saksi Korban."


Dari sumber-sumber informasi itulah Tim PPHAM, kata Beka Ulung, bakal memverifikasi ulang data korban yang masih hidup dan yang telah meninggal dan memiliki ahli waris.

Kepada mereka, Tim PPHAM akan mendengarkan kebutuhan mereka untuk dipenuhi pemerintah.

"Yang pasti negara mencoba menyediakan dan memfasilitasi kebutuhan pemulihan korban dan keluarga selengkap mungkin."


Di Inpres nomor 2 Tahun 2023 tertera bentuk-bentuk pemulihan yang diberikan kepada korban pelanggaran HAM berat.

Misalnya di bidang pendidikan, Mendikbud-Ristek diperintahkan untuk memberikan beasiswa pendidikan bagi korban atau anak-anak korban, memberikan bantuan perlengkapan atau pelaratan kebudayaan, dan memberikan bantuan fasilitas pendidikan.

Menteri Sosial diinstruksikan untuk memberikan bantuan dan atau rehabilitasi sosial dan memberikan jaminan hari tua bagi korban atau ahli waris serta korban terdampak yang berusia lanjut.

Menteri Kesehatan ditugaskan memberikan prioritas bagi korban untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan indikasi medis dan menyediakan iuran BPJS kepada korban untuk mendapatkan pelayanan kesehatan melalui BPJS Kesehatan.

Menteri PUPR ditugasi menyediakan pengadaan air bersih, memperbaiki jalan dan kembatan, serta memperbaiki irigasi, dan membangun memorial.

Menteri Ketenagakerjaan diminta memberikan akses program pelatihan kejuruan pada Balai Besar Pelatihan Vokasi dan Produktivitas serta Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas.

Menteri Keuangan diperintahkan mengkoordinasikan kebijakan anggaran kementerian atau lembaga untuk melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM, serta memberikan prioritas beasiswa pendidikan bagi anak-anak korban melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.

Menteri Koperasi dan UKM diminta memberikan fasilitas akses pembiayaan usaha, memberikan pelatihan dan pendampingan pada koperasi serta usaha mikro, kecil, menengah.

Bantuan seperti apa yang dibutuhkan korban?
Murtala yang merupakan Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA, mengatakan beberapa korban menyatakan ingin anak-anak mereka menempuh pendidikan lebih tinggi lewat beasiswa.

Kemudian ada juga korban yang ingin mendapat bantuan usaha.

"Ada korban yang butuh mobil untuk mengangkut batu bata di usahanya. Apakah itu bisa terpenuhi?"

"Ada juga korban dan keluarganya kerja di perikanan, mereka minta pemerintah menyediakan fasilitas kapal motor."

"Lalu di bidang pertanian misalnya perlu traktor yang besar."

Selain di bidang usaha, para korban yang sudah tua membutuhkan kartu jaminan kesehatan yang sifatnya permanen atau tanpa jangka waktu tertentu.

Pasalnya kartu kesehatan yang dimiliki dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki jangka waktu per enam bulan dan sistemnya reimbursement.

Skema seperti itu dianggap menyulitkan para korban yang kondisinya miskin.


Hal lain yang dibutuhkan, kata Murtala, pemerintah diminta membangun museum tragedi Simpang KKA sebagai pengingat dan mengenang para korban meninggal.

Serta membuat kurikulum pendidikan yang menuliskan ulang narasi tragedi Simpang KKA demi "meluruskan sejarah".

Senada dengan Murtala, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pasca Rumoh Geudong Faridah juga menuntut adanya bantuan pendidikan bagi anak-anak korban, jaminan kesehatan seumur hidup, serta biaya jatah hidup.

"Sebanyak 330 korban yang ada di data kami, apa yang diharapkan dari penyelesaian non-yudisial ini bisa beragam, tapi bagaimana nanti tim yang telah dibentuk mengawal ini agar lansung ke tangan penerima," tegas Faridah.

 

 

Sumber: BBC News Indonesia

(Kiki Agung\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar