Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
Pesan Terselubung di Balik Upaya Percepatan Reformasi Hukum

Desmond J Mahesa (Dok.Istimewa)
Jakarta, law-justice.co - Sejauh ini reformasi dibidang hukum masih berjalan terhuyung huyung sehingga reformasi hukum masuk kategori sebagai agenda reformasi yang paling sial realisasinya. Adanya adagium hukum yang tumpul ke atas tajam kebawah atau hukum yang lembek ke kawan tapi ganas ke lawan menjadi salah satu indikatornya.
Dunia penegakan hukum juga hiruk pikuk dijejali dengan isu adanya mafia hukum yang berkeliaran dimana mana.Ada mafia tanah, mafia tambang, mafia perkara dan lain sebagainya. Maraknya praktek mafia ini bahkan sudah menembus jantung pertahanan hukum kita sehingga sampai sampai benteng penjaga keadilan ikut bobol juga.
Puncaknya terjadi pada bulan oktober 2022 yang lalu ketika Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK ) menetapkan dua Hakim Agung yaitu Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh menjadi tersangka. Mereka berdua diduga menerima suap terkait pengurusan sengketa internal di Koperasi Simpan Pinjam Intidana.
Kasus dua hakim agung tersebut menjadi penyebab Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD membentuk Tim Percepatan Reformasi Hukum di Indonesia. Pembentukan Tim Percepatan Reformasi Hukum menjelang berakhirnya kekuasaan pemerintah yang berkuasa sekarang tak pelak menimbulkan tanda tanya.
Lalu apa sesungguhnya yang menjadi alasan dibentuknya Tim Percepatan Reformasi Hukum di Indonesia ?, Apa pula yang harus dipercepat reformasi hukumnya ?. Pesan apa yang bisa kita tangkap dari upaya pemerintah lewat pembentukan Tim Percepatan Reformasi Hukum yang dilakukan di ujung masa jabatannya ?
Alasan Pembentukan
Seperti diberitakan oleh media, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD telah membentuk Tim Percepatan Reformasi Hukum berdasarkan Keputusan Menkopolhukam Nomor 63 Tahun 2023 tentang Tim Percepatan Reformasi Hukum pada 23 Mei 2023.
Tim ini dibentuk atas perintas Presiden Jokowi dimana perintah itu dilontarkan Jokowi setelah KPK menangkap hakim agung yang diduga menerima suap terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Mahfud MD mengungkapkan alasan dirinya membentuk Tim Percepatan Reformasi Hukum ini adalah bertujuan untuk mengurai benang kusut hukum di Indonesia.Melalui rapat terbatas (Ratas) kabinet, Jokowi telah meminta Menko Polhukam Mahfud MD untuk mencari model reformasi hukum pertanahan mengingat munculnya mafia tanah yang kian merajalela.
Ia menjelaskan tim tersebut nantinya akan merumuskan naskah akademik dan rancangan kebijakan hukum dimana hasil dari rumusan hukum dalam bentuk naskah akademik tersebut nantinya akan diserahkan kepada pemerintah baru hasil Pemilu 2024 untuk dipertimbangkan pemberlakuannya.
Dengan demikian, hasil kerja Tim Percepatan Reformasi Hukum sekadar sumbangsih pemikiran pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada pemerintah setelahnya. Sehingga, dapat dipakai menjadi panduan bagi pemerintah ke depan dalam menentukan kebijakan hukum nantinya.
Mahfud juga mengatakan tim tersebut tidak berpretensi untuk menyelesaikan kasus konkret yang sekarang ada. Menurut dia, kasus-kasus itu biar ditangani oleh aparat penegak hukum dan birokrasi yang sekarang ada karena merupakan ranah aparat penegak hukum (APH).
Agenda prioritas Tim sendiri meliputi 4 hal, yakni reformasi lembaga peradilan dan penegakan hukum; reformasi hukum sektor agraria dan sumber daya alam; pencegahan dan pemberantasan korupsi; dan reformasi sektor peraturan perundang-undangan. Tim memiliki waktu kerja hingga akhir 2024 dan dapat diperpanjang melalui surat keputusan Menko Polhukam.
Adapun susunan keanggotan tim tersebut terdiri atas pengarah ketua, wakil ketua dan sekretaris, serta kelompok kerja. Kelompok kerja dalam tim ini dibagi berdasarkan 4 agenda prioritas yang telah disebutkan, yakni sektor reformasi lembaga peradilan dan penegak hukum; sektor peraturan perundang-undangan,; pencegahan dan pemberantasan korupsi; serta reformasi sektor agraria dan SDA.
Sementara susunan Tim-nya sendiri terdiri dari Pengarah, Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan Kelompok Kerja. Mereka ini memiliki masa kerja sejak 23 Mei 2023 hingga 31 Desember 2023. Namun, dapat diperpanjang dengan Keputusan Menteri Koordinator yang mengangkatnya.
Banyak nama tenar yang masuk dalam tim ini diantaranya ada mantan pimpinan KPK Laode M Syarif , Profesor Harkristuti Harkrisnowo, Suparman Marzuki, Adrianus Meliala, Mas Achmad Santosa, Eros Djarot, Najwa Shihab, dan lain-lainnya.
Apa Yang Harus Dipercepat Reformasinya ?
Berbicara mengenai percepatan reformasi hukum akan muncul pertanyaan apa yang seharusnya dipercepat reformasinya ?. Pertanyaan ini mengingatkan saya pada sebuah diskusi yang pernah digelar pada tanggal 21 oktober 2016 yang lalu di di Law School of Melbourne University (LSMU), Australia.
Acara yang saat itu dibuka oleh guru besar dari ISMU Prof Tim Lindseydan dipandu oleh guru besar tamu LSMU Prof Denny Indrayana,antara lain membicarakan soal reformasi hukum di Indonesia. Kebetulan dalam diskusi ini Prof. Mahfud MD sebagai pemantik diskusinya.
Dalam paparannya beliau menjelaskan beberapa hal terkait dengan pembangunan hukum khususnya reformasi hukum yang menjadi agenda paling sial reformasi di Indonesia.Menurutnya berbicara mengenai reformasi hukum maka tegaknya supremasi hukum menjadi kunci dari kelancaran pembangunan bidang-bidang lainnya. Karena dengan adanya penegakan supremasi hukum menurutnya sudah bisa menyelesaikan separuh dari berbagai persoalan bangsa.
“Jadi sumber utama penyelesaian berbagai masalah kita adalah tegaknya hukum sebagai prioritas utama”, begitu katanya. “Logikanya sederhana saja. Selama in ini rusaknya pembangunan dalam berbagai bidang disebabkan tidak tegaknya hukum. Rencana pembangunan ekonomi rusak karena banyak kolusi, pemberantasan korupsi tersendat-sendat karena hukum korupsi dilaksanakan secara kobat ruptif juga. Penyelenggaraan pendidikan, pelayanan kesehatan, infrastruktur, perdagangan, semuanya rusak dikorupsi karena hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya”,imbuhnya.
Menurutnya apa yang harus dilakukan dalam penataan dan reformasi hukum di Indonesia bukanlah membuat aturan-aturan hukum, melainkan menegakkan aturan-aturan hukum yang sudah ada. Jika upaya pembangunan hukum seperti dikemukakan Friedman harus diarahkan pada tiga subsistem hukum,yakni isi aturan hukum (legal substance), aparat penegak hukum legal structure), dan budaya hukum (legal cul ture), maka untuk Indonesia yang diperlukan pembenahannya adalah penegakan hukumnya.
Dalam diskusi tersebut Prof. Mahfud MD juga menekankan bahwa reformasi dalam penegakanan hukum tak dapat diartikan nantinya hanya membereskan karut marut dunia peradilan saja. “ Jika penegakan negakan hukum diartikan sebagai pelaksanaan ketentuan hukum sebagaimana mestinya, areanya bukan hanya ada di lembaga peradilan, melainkan yang justru lebih banyak adalah tidak tegaknya hukum di birokrasi (pemerintahan) yang berkuasa. Tepatnya tidak tegaknya hukum yang merusak pemerintahan kita ada di dua area, yakni di dunia peradilan dan di birokrasi pemerintahan yang berkuasa,” tegasnya.
Menurut Prof. Mahfud MD yang sekarang menjadi Menkopulhukam itu, birokrasi di Indonesia adalah birokrasi yang sudah rusak parah karena korupnya. Birokrasi banyak melakukan korupsi-korupsi dalam tugas rutin melalui permainan prosedur yang dapat berlindung dibawah aturan-aturan hukum yang dimanipulasi sedemikian rupa. “Begitu juga dunia penegakan hukum kita pada lembaga peradilan yang sudah begitu buruknya. Kolusi penyelesaian kasus terjadi di semua lini dan melibatkan oknum” (harus selalu disebut oknum) semua lembaga penegak hukum mulai dari hakim, jaksa, polisi hingga pengacara. Lembaga kehakiman, kejaksaan, kepolisian dan profesi advokat sebagai penegak hukum sudah banyak mengirimkan wakil-wakilnya yang meringkuk di penjara karena melanggar hukum saat menjalankan tugasnya”, paparnya.
“Jadi, kalau ditanyakan reformasi hukum itu adalah reformasi apa, jawabannya adalah reformasi penegakan hukum (legal structure) bukan yang lainnya. Sasarannya ada di dua area, yakni area birokrasi dan area lembaga peradilan yang ada di Indonesia” tegasnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Prof. Mahfud MD punya solusinya. Yaitu diperlukan strong leadership, yakni kepemimpinan yang kuat, kuat karena bersih dan tidak tersandera oleh mafia dan kuat karena berani melakukan tindakan-tindakan yang tegas pada pelakunya. Itulah pemimpin merah putih, pemimpin yang berani dan bersih sehingga tidak gamang mengambil kebijakannya.
Pesan Terselubung
Kini setelah tujuh tahun berlalu sejak Prof. Mahfud MD menyampaikan pandangan dan pemikirannya di Law School of Melbourne University (LSMU), Australia, beliau menggulirkan pembentukan Tim Percepatan Reformasi Hukum di Indonesia.
Tetapi anehnya, Tim Percepatan Reformasi Hukum yang dibentuk itu nantinya hanya akan merumuskan naskah akademik dan rancangan kebijakan hukum di Indonesia dimana rumusan kebijakan itu nantinya akan diteruskan ke pemerintahan periode selanjutnya.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pemerintah sekarang harus capek capek memikirkan pembenahan hukum yang akan dilakukan oleh pemerintah setelahnya ?. Apakah pemerintah yang terpilih lewat pemilu nantinya diprediksi akan sejalan dengan kebijakan dengan pemerintah yang sekarang berkuasa ? Bagaimana kalau ternyata kebijakannya di bidang hukum berbeda dengan rejim yang sekarang berkuasa ?. Bukankah setiap kandidat Capres itu mempunyai tim hukum sendiri yang punya gagasan reformasi hukum untuk ditawarkan kepada rakyat sebagai bahan jualannya ?
Jadi biarlah rakyat nantinya memilih sendiri capres mana yang bagus gagasannya dibidang reformasi hukum dan kemudian menjatuhkan pilihannya. Bukan di persiapkan konsep dan gagasannya oleh pemerintah yang sekarang berkuasa. Karena akan terkesan pemerintah sekarang lebih pintar dari pemeritah yang terpilih lewat pemilu nantinya
Rasanya Pemerintah yang sekarang tidak perlu terlalu jauh memikirkan pembenahan hukum setelah tidak lagi berkuasa karena hal itu akan menjadi domain dan kewajiban pemerintah yang nanti berkuasa
Kiranya akan lebih rasional jika persoalan hukum yang terjadi saat ini diurus tuntas seperti penyelewenangan hukum, korupsi yang merajalela, maraknya mafia dan lain sebagainya. Begitu pula penegakan hukum yang masih kerap ditransaksikan karena pengaruh keuangan yang maha kuasa. Hal ini tentunya sejalan dengan pemikiran Prof. Mahfud sendiri yang menyatakan bahwa dalam reformasi hukum maka tegaknya supremasi hukum menjadi kunci utama. Tegaknya hukum akan mendorong kelancaran pembangunan bidang-bidang lainnya. Karena penegakan supremasi hukum sudah bisa menyelesaikan separuh dari berbagai soal bangsa.
Saat ini mumpung sedang berkuasa, mengapa kewenangan yang sudah ada ditangan itu tidak dimanfaatkan dengan sebaik baiknya untuk menegakkan supremasi hukum di Indonesia ?, Mengapa harus membuat naskah akademik reformasi hukum untuk dilaksanakan oleh pemerintah setelahnya yaitu pemerintah yang terpilih pasca pemilu 2024 nantinya ?Alangkah elok dan bertanggung jawabnya Mahfud jika upaya percepatan reformasi hukum ditargetkan untuk membenahi persoalan hukum saat ini yang memang menjadi tanggung jawabnya.
Sesungguhnya ketika seluruh perangkat hukum berada di genggamannya rasanya tidak sulit untuk menggerakkannya.Karena hari ini apa saja yang dimaui oleh penguasa biasanya akan bisa terealisasi tanpa kendala, tidak ada yang berani menentangnya. Sayangnya power full itu nampaknya enggan untuk dimanfaatkannya. Atau jangan jangan pemerintah sudah kalah dengan para mafia?
Jadi sekali lagi bukan warisan berupa rekomendasi yang hasilnya berupa lembaran kertas semata yang diwariskan ke pemerintah berikutnya. Tetapi teladan penegakan supremasi hukum yang bisa menjadi preseden untuk diteruskan oleh pemerintah yang terpilh nantinya. Karena kalau warisan itu hanya berupa rekomendasi, iya kalau rekomendasi itu kemudian di gubres oleh pemerintah setelahnya, kalau ternyata diabaikan, bukankah itu mubazir namanya ?. Pada hal kerja kerja Tim tentunya akan menyedot anggaran negara yang tidak sedikit jumlahnya.
Dengan dibentuknyaTim Percepatan Reformasi Hukum di Indonesia, dengan embel embel bahwa Tim tidak menangani kasus-kasus yang sekarang ada karena kasus itu ditangani oleh aparat penegak hukum (APH) , bukankah itu bemakna bahwa Pemerintah sekarang sudah tidak lagi percaya pada perangkat hukum yang menjadi penopangnya ?. Sehingga dengan demikian harus melompat ke periode pemerintahan selanjutnya?
Kalau memang pembentukan Tim Percepatan Reformasi Hukum itu sebagai sinyal adanya ketidakpercayaan terhadap apparat penegak hukum yang sekarang ada maka pembentukan Tim tersebut bisa dimaknai sebagai ungkapan menyerah alias lempar handuk dari penguasa di ujung masa jabatannya. Dimana janji janji yang disampaikan dahulu saat kampanye khususnya terkait dengan reformasi penegakan hukum tidak mampu dijalankan sebagaimana mestinya sehingga harus di titipkan realisasinya pada pemerintah yang akan menggantikannya . Apakah memang begitu maksud dan tujuannya ?
Komentar