Mungkinkah Kecemasan SBY soal Chaos Politik Pemilu 2024 Terjadi? (2)

Selasa, 30/05/2023 07:25 WIB
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (The Independent)

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (The Independent)

Jakarta, law-justice.co - Potensi Chaos Politik Pemilu 2024 Terjadi

Terkait pernyataan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Analis Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago berpandangan bahwa `chaos politik` bisa saja jika benar putusan MK mengubah sistem pemilu proposional terbuka menjadi tertutup.

Namun, menurut dia, `chaos politik` ini terjadi di level partai politik.

"Chaos politik akan muncul di level partai, partai-partai politik yang selama ini bergantung dan menang karena dihidupi para caleg dia akan dirugikan dengan sistem ini karena yang calegnya, bukan partai yang kuat, apalagi dalam konteks Pemilu serentak," kata dia seperti melansir cnnindonesia.com.

Selain itu, Arifki juga menilai `chaos politik` tak menutup kemungkinan juga terjadi di level masyarakat.

Ini akan muncul jika ternyata caleg yang mereka pilih tak lolos imbas nomor urut mereka yang berada di urutan bawah dari daftar. Sebab, dalam sistem proporsional tertutup ini, penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan nomor urut.

"Ini juga akan menimbulkan kekisruhan publik karena publik mengharapkan yang biasanya mereka pilih orang yang mereka inginkan, tapi ternyata orang lain yang menang, ini kan ada perbedaan agenda politik elit dengan agenda politik masyarakat," ujarnya.

Senada, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro juga berpendapat `chaos politik` imbas dari perubahan sistem pemilu itu bisa saja terjadi. Sebab, saat ini partai politik juga menyerahkan DCS ke KPU.

"Akan terjadi chaos politik, akan menjadi gaduh ya, apalagi kalau kemudian partai politik sendiri tidak siap mengelola keputusan MK itu," kata Herdiansyah.

"Saya khawatir kalau kemudian partai politik justru tidak siap mengelola putusan MK itu mengembalikan ke sistem proporsional tertutup itu kan luas implikasinya, orang pasti akan ribut-ribut, gontok-gontokan karena berebut siapa yang bisa ditempatkan di nomor urut yang paling atas," lanjut dia.

Disisi lain, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Usfunan menyebut memang ada potensi para caleg yang sudah didaftarkan akan melayangkan protes buntut perubahan sistem pemilu itu.

Hal ini lantaran pada awal pendaftaran tentunya para caleg ini tak mempermasalahkan soal nomor urut yang mereka peroleh. Persoalan ini, menurut Jimmy, harus bisa diselesaikan oleh partai politik dengan melakukan komunikasi bersama para caleg yang didaftarkan atau diusung.

Jimmy pun meyakini persoalan ini bisa diselesaikan secara internal oleh partai politik, sehingga `chaos politik` tak sampai terjadi.

"Ya sebenarnya kalau dalam konteks ini kalau untuk sampai chaos tidak ya, karena tentunya partai politik itu menempatkan kadernya itu menggunakan nomor urut sesuai kedekatan, ini kader-kader terbaik, katakanlah ini kader urusan hukum, atau ini kader untuk urusan kesehatan, tentunya ini sudah menjadi pertimbangan tidak hanya pertimbangan popularitas semata," tutur Jimmy.

Situasi akan berbeda jika sebuah partai politik menggunakan pendekatan popularitas dalam menentukan nomor urut calegnya. Namun, Jimmy berpandangan saat ini banyak partai politik yang menentukan nomor urut caleg berdasarkan pada pertimbangan kemampuan, bukan popularitas.

"Jadi sekalipun tiba-tiba putusan MK berubah katakanlah, maka sebenarnya persoalan-persoalan dinamika itu tdak terlalu keras, karena paling hanya beberapa pihak yang kemudian mencoba untuk protes ke partai politik, atau bisa saja kedua mereka kemudian tidak terlalu optimal kerjanya untuk meraup suara," ucap dia.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar