Babak Baru Saling Bongkar Elit Parpol Jelang Pilpres

Mengurai Para Penikmat Rp 8 Triliun Proyek BTS Fiktif

Sabtu, 27/05/2023 14:29 WIB
Johnny G Plate tersangka korupsi proyek BTS BAKTI Kominfo digiring penyidik menuju mobil tahanan. (Dok. Kejagung)

Johnny G Plate tersangka korupsi proyek BTS BAKTI Kominfo digiring penyidik menuju mobil tahanan. (Dok. Kejagung)

law-justice.co - Kejaksaan Agung mengungkap salah satu korupsi yang paling brutal dan telanjang yakni proyek BTS fiktif. Gambaran bagaimana kasus ini terjadi dikupas oleh Menkopolhukam Mahfud MD.

Mahfud mengungkapkan, kasus dugaan korupsi proyek pembangunan BTS (Base Transceiver Station) yang merugikan negara sebesar Rp8 triliun tersebut menggunakan alasan Covid-19 untuk menunda laporan pertanggungjawaban penggunaan dana Rp10 triliun.

"Masalah terjadi saat proyek senilai lebih dari Rp 28 triliun tersebut cair sebesar lebih dari Rp 10 triliun di tahun 2020-2021. Namun, pada Desember saat laporan penggunaan dana harus dipertanggungjawabkan. Hingga Desember 2021 hasil towernya tidak ada, alasannya Covid-19," kata Mahfud tentang proyek BTS fiktif.

Mahfud menyebut, laporan akhirnya diminta penundaan hingga Maret 2022. Padahal, secara hukum menurutnya hal itu menyalahi aturan. "Sampai Desember 2021 barangnya tidak ada. BTS itu tower-towernya itu tidak ada, alasan Covid jadi minta perpanjangan sampe perpanjangan sampai Maret. Seharusnya itu tidak boleh secara hukum tapi diberi sampai 21 Maret utk itu,” ujar Mahfud.

Usai laporan masuk, kejanggalan adaya proyek BTS fiktif disebutnya belum usai. Laporan tersebut berisi 1.100 tower dari total target 4.200 tower yang dicairkan dengan dana Rp10 triliun lebih tersebut. Namun setelah diperiksa satelit, tercatat hanya ada 958 yang terdeteksi. Dari 958 tower itu, menurut Mahfud, tidak diketahui apakah bisa digunakan atau tidak. Sebab sesudah diambil 8 sampel, tower itu tidak ada yang berfungsi sesuai dengan spesifikasi.

Selanjutnya, Mahfud menyebut dirinya juga sempat memanggil Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh untuk menjelaskan terkait proyek BTS tersebut. "Saya tadi panggil Ketua BPKP `ini gimana? ` mulai dari perencanaan ini diatur satu orang," ungkapnya.

"Berdasarkan bukti yang BPKP peroleh, kami menyimpulkan terdapat kerugian keuangan negara sebesar Rp8.032.084.133.795,51," ucapnya dalam konferensi pers Senin (15/5/2023). 

Yusuf Ateh mengatakan, BPKP diminta untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam dugaan kasus dugaan tindak pidana korupsi di BAKTI Kominfo. Permintaan tersebut dilayangkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus pada Oktober 2022. 

Permintaan tersebut, kata Yusuf Ateh, perihal Bantuan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dan Bantuan Keterangan Ahli pada kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Penyediaan Infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dan Infrastruktur Pendukung Paket 1, 2, 3, 4, dan 5 Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020 s.d. tahun 2022. 

 "Setelah berdasarkan surat permintaan itu, kami meminta ekspose dari penyidik tentang hasil penyidikan yang sudah dilakukan dan berdasarkan itu kami melakukan penelitian dan memberikan surat tugas audit penghitungan kerugian keuangan negara," ucapnya. 

Ia menambahkan, dalam proses menghitung kerugian keuangan negara, BPKP melakukan prosedur audit di antaranya, melakukan analisis dan evaluasi atas data dan dokumen, melakukan klarifikasi kepada para pihak terkait, dan melakukan observasi fisik bersama tim ahli BRIN dan penyidik ke beberapa lokasi. 

 "Selain itu juga mempelajari dan menggunakan pendapat ahli pengadaan barang dan jasa LKPP, ahli lingkungan dari IPB, dan ahli keuangan negara," tegasnya. 

Kejaksaan Agung memastikan, dari kerugian keuangan negara sebesar Rp 8,032 triliun dalam kasus dugaan korupsi pembangunan menara base transceiver station atau BTS 4G dan infrastruktur pendukung Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi atau Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika 2020-2022 tidak ada dana yang mengalir ke partai politik. Meski begitu, diharapkan penetapan Menteri Komunikasi dan Informatika nonaktif Johnny G Plate sebagai tersangka dapat menjadi pintu masuk bagi Kejaksaan Agung untuk membongkar pihak lain yang terlibat, termasuk yang menerima aliran dana.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Febrie Adriansyah, Jumat (19/5/2023), mengungkapkan, penyidik masih mempelajari rincian kerugian keuangan negara yang totalnya mencapai Rp 8,032 triliun.

Hingga saat ini, penyidik telah menetapkan tujuh tersangka dalam dugaan kasus proyek BTS fiktif. Tujuh tersangka tersebut adalah Anang Achmad Latif selaku Direktur Utama Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Galubang Menak selaku Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia.

Kemudian Yohan Suryanto selaku Tenaga Ahli Human Development Universitas Indonesia Tahun 2020, Mukti Ali selaku Account Director of Integrated Account Department PT Huawei Tech Investment, Irwan Hermawan selaku Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Johnny G Plate selaku Menkominfo, dan yang terkini WP selaku orang kepercayaan tersangka Irwan Hermawan.

Politisasi Kasus atau Kasus Politik?

Mahfud menegaskan korupsi proyek BTS fiktif tidak ada hubungannya dengan politisasi melainkan hukum murni. Mungkin kebetulan, kata Mahfud, pemain korupsi tersebut diisi anggota politik. 

"Saudara, itu bukan politisasi, nggak ada hubungannya itu, mungkin kebetulan, berisian pemainnya dengan politik, tapi itu hukum murni. Nah itu masih banyak yang nanti juga proyek apalagi," ujarnya. 

"Baru di satu Kementerian, bagaimana lembaga lain, pusat daerah, ini masalah kita. Kalau negara ini tidak dibenahi di mana-mana negara akan hancur kalo hukum dan keadilan tidak ditegakkan dengan benar," sambungnya.

Namun, penetapan Johnny G Plate yang juga Sekjen Partai Nasdem sebagai tersangka membuat kasus ini sulit lepas dari stigma politik. Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yakin Johnny G. Plate tak terlibat dalam kasus korupsi penyediaan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kemenkominfo tahun 2020-2022.  Meskipun, Kejaksaan Agung sudah menetapkan Plate sebagai tersangka atas kasus tersebut karena ia adalah menteri yang menginisasi proyek tersebut.

"Tapi saya confident (percaya diri) untuk dia sebenarnya tidak terseret dalam situasi seperti apa yang dialami oleh dirinya hari ini yang diborgol tadi," kata Paloh saat konferensi pers di Nasdem Tower, Jakarta Pusat, Rabu (17/5/2023) terkait dugaan proyek BTS fiktif.

Paloh  mendorong penegak hukum memeriksa semua pihak yang dicurigai tanpa adanya hukum khusus. "Periksa seluruh unsur yang ada di institusi manapun, termasuk Partai Nasdem. Partai Nasdem menyambut itu. Berikan hukuman yang setimpal tanpa ada lex specialis dalam pengertian privilege," katanya.

Beberapa pihak menyebutkan bila penetapan Plate sebagai tersangka diduga terdapat bermuatan politik karena seperti diketahui setelah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres 2024 hubungan Partai Nasdem dengan Jokowi cenderung renggang.

Pengamat Politik Ujang Komarudin mengatakan bila hukum itu dapat di intervensi oleh kekuasaan atau kekuatan politik. Ujang menyebut dalam kasus yang menjerat Johnny G Plate ini tentu perlu untuk dipantau secara seksama apakah ada muatan tersebut atau tidak. “Hukum ini kan masih bisa di intervensi oleh kekuasaan atau oleh politik maka apakah ada intervensi atau tidak, kita lihat saja kedepan,” kata Ujang kepada Law-Justice menyangkut dugaan proyek BTS fiktif.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) itu menyebut bila hal tersebut ditambah dengan hubungan Surya Paloh dengan Presiden Jokowi sedang tidak baik-baik saja.  “Sedang tidak baik hubungannya dengan kekuasaan, dengan pemerintah, atau khususnya dengan Pak Jokowi,” ungkapnya. 

Ujang mengatakan bila penetapan Johnny G Plate sebagai tersangka kasus korupsi BTS Kominfo ini akan mengganggu fokus dari Partai NasDem dalam menghadapi pemilihan presiden (Pilpres) 2024. “Yang jelas efek dari tersangkanya G Plate ini ya tentu akan mengganggu ya konsentrasi NasDem untuk pencapresan Anies maupun dalam konteks menghadapi Pileg di 2024 nanti,” katanya.

Ujang menuturkan jika ada unsur politik dalam penetapan tersangka dan penahanan Johnny G. Plate, alangkah baiknya diselesaikan secara politik. Namun, ia menyatakan dalam penetapan tersangka dan penahanan Johnny G. Plate tersebut, tim penyidik sudah benar lantaran memiliki bukti kuat.

"Kalaupun ada, harus diselesaikan secara politik, bukan secara hukum. Tapi penegak hukum seperti kejaksaan itu tadi sudah memiliki alat bukti berdasarkan laporan dari BPKP gitu, tentang kerugiaan negara 8 triliun. Itu landasan kejaksaan," tuturnya. 

Sementara itu Politisi Partai Nasdem Ahmad Sahroni mengatakan Partai Nasdem meyakini mantan Menkominfo Johnny G Plate tak menikmati korupsi proyek BTS fiktif sendirian. Politisi Partai besutan Surya Paloh itu yakin uang haram dari mega proyek tersebut ikut mengalir ke sejumlah pihak lainnya. Untuk itu, Politisi yang akrab disapa Roni itu mengatakan bila aparat penegak hukum harus menelusuri aliran uang korupsi BTS tersebut ke pihak lain. 

Bendum Partai Nasdem Ahmad Sahroni mendorong Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk serius menuntaskan kasus korupsi BTS. Terutama, mengusut semua pihak yang menikmati uang korupsi dari proyek tersebut. "Agar semua klir dari berbagai fitnah dan praduga, saya harap Kejaksaan Agung bisa segera membongkar dengan terang benderang kasus ini. Siapa saja pemainnya, vendornya, dan semua yang terlibat. Karena menurut saya di skandal sebesar ini, tidak mungkin hanya seorang Johnny Plate yang bermain," kata Sahroni di Gedung DPR RI.

Wakil Ketua Komisi III itu juga menyampaikan sependapat dengan Menko Polhukam Mahfud MD yang memastikan pengungkapan kasus korupsi BTS murni penegakan hukum. Dia menyebut penetapan tersangka koleganya di Nasdem itu bukan bentuk politisasi. "Terus terang saya senang dengan statement Pak Mahfud. Apa yang disampaikan oleh Pak Mahfud senada dengan yang saya pernah katakan, bahwa kasus ini bukan soal politisasi, tapi murni karena temuan hukum," kata Sahroni.

Untuk itu, Sahroni meminta Mahfud terus mengawal penyelesaian kasus korupsi proyek BTS fiktif hingga tuntas. Dia juga meminta Kejagung bersikap profesional, terpenting tidak tebang pilih dalam menjerat pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. "Jadi saya harap Pak Mahfud MD bisa terus kawal penyelesaian kasus ini, agar stabilitas politik dapat terjaga menjelang 2024," ucapnya.

 

Bendahara Umum Partai Nasdem Ahmad Sahroni. (Merdeka)

Namun Sahroni tidak setuju apabila penetapan tersangka Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) yang juga Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate oleh Kejaksaan Agung bermuatan politis. Sahroni yakin, bahwa penetapan tersangka Johnny G Plate memang berlatar belakang hukum. “Saya rasa ini bukan terkait politis tapi memang latar belakang hukum yang berlaku kepada JP (Johnny Plate) telah ditetapkan. Jadi bukan berarti sekonyong-konyong itu muncul jadi tersangka, tapi kan ada proses yang sudah dilalui beberapa bulan,” ungkapnya.


Meski demikian, Sahroni mengakui, penetapan tersangka Johnny G Plate tak bisa dilepaskan dengan situasi politik terlebih menjelang Pemilu tahun 2024. Sahroni mengatakan bahwa suasana politik jelang Pemilu 2024 sangat dinamis. “Kalau terkait dengan politik kan memang suasana politik ini kan sangat dinamis mau menjelang 2024,” imbuhnya.

Cuan Mengalir Jauh Sampai Ke Partai?

Koordinator Masyarakat Antikorupsi (MAKI) Boyamin Saiman, menduga aliran uang korupsi proyek BTS fiktif oleh Bakti Kominfo masuk ke kantong-kantong para elite partai politik. Dugaannya berdasar pada perumusan anggaran dan perencanaan proyek yang tidak terlepas dari campur tangan aktor politik. 

Ia mengungkapkan, bancakan yang telah diraup koruptor sebesar Rp8 triliun lebih dalam kasus ini tidak hanya berpusat pada sosok tersangka eks Menkominfo Johnny Gerard Plate sebagai elite partai politik Nasdem. Tapi, lebih dari itu, melibatkan elite atau politisi dari partai lain. 

“Saya menduga dana yang besar ini enggak mungkin sendiri saja oleh politisi satu partai. Karena perencanaan atau pengesahan anggarannya di DPR di Komisi I. Rasanya apakah DPR akan dengan senang hati tidak bisa berurusan dengan proyek itu. Rasanya kok ndak,” kata Boyamin saat dihubungi law-justice, Kamis (25/5/2023) soal kasus proyek BTS fiktif. 

Boyamin menuturkan, celah korup dalam tataran perencanaan dan penganggaran di level parlemen ini tentunya berkaitan dengan intervensi banyak partai politik. Elite dari sejumlah partai politik yang mengetahui dan terlibat langsung dalam penganggaran diduga saling bermain mata. Entah itu partai dari koalisi pendukung pemerintahan maupun partai oposisi. 

Dugaan Boyamin ihwal saling bersatunya elite koalisi pendukung dan oposisi dalam kasus korupsi ini merujuk pada tren laku korupsi belakangan yang melibatkan aktor politik. “Proyek E-KTP yang 2,5 triliun itu melibatkan hampir melibatkan hampir semua partai politik. Ini (korupsi proyek BTS) apalagi lebih besar dari itu,” kata dia.

“Meskipun ini kementerian yang dipimpin oleh satu partai dalam kasus BTS, yang E-KTP dulu juga sama saja yang diduga berasal dari partai yang berkaitan dengan koalisi penguasa. Tapi nyatanya, partai oposisi tampaknya mendapat bagian. Lalu (kasus korupsi) bansos, ada lintas partai yang diduga berurusan,” ia menambahkan. 

Tatkala celah penganggaran oleh wakil rakyat mulus dijalankan, Boyamin menduga elite partai politik juga bermain dalam sisi pelaksanaan proyek. Sejumlah konsorsium yang menggarap dalam proyek BTS fiktif ini diduga melibatkan peranan elite partai politik. 

Koordinator Masyarakat Antikorupsi (MAKI) Boyamin Saiman. (Media Indonesia)

“Konsorsium itu banyak orang. Saya yakin tidak hanya berasal dari satu partai,” tutur dia. 

Lain itu, sub-kontraktor yang di bawah konsorsium, juga disebutnya telah dalam pengkondisian agar aliran dana bancakan mengalir tanpa hambatan. “Karena bisa saja subkontraktor itu ketahuan belum dibayar misalnya. Ternyata uang itu masih di pemborong utama (konsorsium) misalnya. Lalu baru jadi bancakan, dipakai kemana-mana,” ucapnya. 

Ia menyebut, ada pihak yang bertugas menjadi perantara dan mengutip hasil uang korupsi proyek BTS fiktif. Dari pihak tersebut, lantas uang mengalir ke rekening-rekening ke pihak di luar proyek. “Ada fungsi makelar juga. Karena itu (ada) utusan-utusan, ada yang mengambil untung yang tidak wajar. Atau pihak yang tidak ada kaitannya tapi mendapat bayaran,” katanya. 

Dalam dugaannya, ia juga membeberkan bahwa hasil bancakan yang mengalir ke banyak elite partai politik digunakan untuk urusan pembayaran utang. Namun, ia enggan menjelaskan utang apa yang dimaksud.  “Uang-uang ini, dalam catatan saya ada diduga untuk membayar utang, tidak untuk pengerjaan proyek. Itu pencucian uang. Bayar utang, berarti utang itu kan barang sudah dinikmati 5 tahun yang lalu tapi belum dibayar dan sekarang dibayar dengan dana proyek,” tukasnya. 

Belakangan ini beredar isu terkait dana korupsi proyek BTS fiktif Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Rp8 triliun mengalir ke tiga partai politik besar. Adapun isu yang beredar menyebut tiga parpol yang diduga menerima aliran dana korupsi proyek BTS 4G, yakni PDI Perjuangan, Partai Gerindra, dan Partai NasDem. 

Menanggapi hal ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus Plt Menkominfo Mahfud MD mengatakan bahwa pihaknya telah mendengar kabar berita tersebut. Bahkan, lengkap dengan nama-nama sosok yang terlibat dalam kasus tersebut. "Ya saya juga dapat berita itu, dengan nama-namanya," kata Mahfud, dalam konferensi pers, di Kantor Kominfo beberapa waktu lalu.

Meskipun demikian, Mahfud menganggap bahwa isu ini hanyalah gosip politik belaka. "Tapi saya anggap itu gosip politik. Kita bekerja dengan hukum saja," ucapnya. 

Mahfud mengaku telah melaporkan isu ini ke Presiden RI Joko Widodo. Ia mengaku tak ingin membahas kasus ini dari sisi politik. "Saya juga sudah lapor Presiden, `Pak saya tidak akan masuk ke soal politik. Ini pembuktiannya akan rumit dan mungkin menimbulkan kemelut politik`," tutur Mahfud. 

"Oleh sebab itu, saya persilahkan kejaksaan atau KPK kalau itu di luar angka-angka yang sudah konkret untuk menyelidiki ini," tambahnya. 

Mahfud mengungkapkan, pihaknya hanya ingin menyelesaikan dan mengungkap kasus ini dari sisi hukum murni saja. "Kalau saya menganggap itu sebagai gosip politik yang tidak akan saya tangani secara administratif di sini secara manajerial kelembagaan, karena itu sudah masuk ke ranah hukum," ujarnya. "Ini hukum murni. Biar hukum yang menentukan," pungkasnya.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha, juga satu suara perihal duguaan aliran bancakan proyek BTS fiktif masuk ke elite atau partai politik. “Bicara kasus korupsi dan elite politik, tentu itu sangat mungkin terjadi. Meskipun aliran uang itu tidak langsung masuk ke rekening partai politik. Tapi, itu melewati beberapa fase yang digunakan oleh elite politik maupun partai politik. Itu pernah terjadi di beberapa kasus,” kata dia saat dihubungi Law-justice, Kamis (25/5/2023) .  

Dalam catatan Pukat, kata Yuris, kasus korupsi atau temuan bancakan kerap terjadi menjelang momen pemilihan umum. Uang korupsi yang mengalir ke partai diubah menjadi logistik parpol untuk mendulang dukungan. “Beberapa fenomena yang terjadi jelang tahun politik dan masuk tahun politik semisal program yang bersifat bantuan sosial itu biasanya makin tinggi, program hibah semakin tinggi juga,” kata dia. 

Peneliti Pukat UGM Yuris Rezha. (Instagram: @yurisrezha)

“Kami mencermati juga korupsi yang terjadi menjelang tahun pemilu itu terbukti kemudian di pengadilan, mengalir ke partai politik. Uang dialirkan ke individu politik yang kemudian digunakan untuk kepentingan dan agenda partai politik,” imbuhnya.

Selain dugaan uang korupsi proyek BTS fiktif ke parpol, perkara ini juga menjadi atensi karena ada dugaan intervensi politik yang kaitannya dengan posisi NasDem berseberangan dengan koalisi pemerintahan dalam penentuan calon presiden. Lantas, dugaan pengkondisian kasus yang menjerat Johnny selaku sekjen partai besutan Surya Paloh itu mengemuka. 

Yuris mengatakan, adanya dugaan demikian bisa dibuktikan dengan kinerja Kejagung dalam mengusut perkara ini. Kaitan antara proses penegakkan hukum dan politik praktis yang semestinya saling bertolak, bakal terungkap ke publik, seiring instrumen hukum apa saja yang akan diambil penyidik. 

“Bisa dilihat dari penelusuran dan pemeriksaan pihak-pihak yang terlibat. Juga bisa dilihat bagaimana Kejaksaan Agung apakah bisa serius mengembalikan kerugian dari korupsi ini misal gunakan TPPU. Tapi kalau kemudian penanganan kasus ini terkesan tidak serius, kemudian komitmen untuk merampas aset negara tidak kuat, apalagi proses hukumnya berlarut-larut, tidak akuntabel kepada masyarakat, nah hal-hal seperti itu yang kemudian diduga bahwa ternyata kasus ini lebih dominan ke sisi politik praktis daripada proses penegakkan hukum pemberantasan korupsi,” tutur dia. 

Menanggapi adanya aliran dana korupsi proyek BTS fiktif ke sejumlah partai politik, Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad membantah hal tersebut.  Adanya dugaan aliran dana korupsi proyek BTS 4G di Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sebagaimana yang mencuat ke permukaan dalam konferensi pers Plt Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mahfud MD, Selasa (24/5/2023).

Dasco mengaku sudah menyimak dengan jelas konferensi pers Mahfud MD perihal isu itu, dan Mahfud tidak menyebut secara eksplisit soal nama parpol. Dia menyebut nama parpol itu disebut karena ada penggiringan opini oleh pertanyaan salah satu wartawan. Apalagi, Mahfud selalu berbicara sesuai data dan fakta.

"Bahwa kemudian Pak Mahfud MD dalam konpersnya itu tidak menyebut salah satu atau nama salah satu parpol. Ada wartawan yang coba menggiring memang pertanyaan kepada salah satu parpol termasuk Gerindra, tetap pak Mahfud itu menyebut bahwa itu hanya gosip politik, berarti itu faktanya gosip politik," kata Dasco.

Untuk itu, Dasco membantah informasi mengenai dugaan aliran dana korupsi proyek BTS fiktif ke Gerindra. Menurutnya, rakyat Indonesia sudah pintar dan tidak mudah termakan isu karena hasil survei terbaru, Partai Gerindra dan juga calon presiden (capres) Prabowo Subianto elektabilitasnya naik, sehingga gosip politik semacam ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran.

"Dan sekaligus saya membantah bahwa ada dugaan aliran dana yang mengalir ke Gerindra karena itu memang tidak betul dan rakyat sudah pintar pada saat survei diumumkan elektabilitas Gerindra naik dan Pak Prabowo juga naik ya," tegasnya.

"Kemudian ada gosip-gosip politik semacam ini yang mudah-mudahan hal seperti ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua dan rakyat yang sudah semakin pintar," sambungnya.

Adapun isu bahwa parpol tersebut langsung menggelar rapat khusus guna menjawab dugaan aliran dana proyek BTS fiktif, Dasco mengaku bahwa Gerindra justru kaget mendengar kabar dan pemberitaan soal itu, karena memang tidak ada sama sekali aliran dana itu. "Kalo di Gerindra kita justru kaget denger ada aliran sementara kita kaitannya ya nggak ada sama sekali soal BTS itu," ungkapnya.

Terkait bagan aliran dana korupsi BTS ke sejumlah parpol, dia menduga bahwa bagan yang beredar itu hanya framing untuk menjatuhkan elektabilitas Prabowo yang terus meningkat, tapi karena Rakyat sudah pintar maka isu seperti itu tidak laku lagi.

Namun, Dasco mendorong agar penegakan hukumnya terus berjalan, dan DPR bersama dengan masyarakat memantau bersama proses hukumnya. Dan biarlah proses hukum yang membuktikan ini. "Saya pikir adanya bagan-bagan itu adalah bagian framing untuk kemudian menjatuhkan elektabilitas partai dan Pak Prabowo tapi saya pikir yang begitu-begitu mungkin sudah nggak laku karena rakyat sudah pintar dan kita dorong terus penegakan hukumnya dan kita akan sama-sama memantau seperti Pak Mahfud bilang biarlah proses hukum yang membuktikan ini," tandas Dasco.

Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.

Kejaksaan Agung memastikan, dari kerugian keuangan negara sebesar Rp 8,032 triliun dalam kasus dugaan korupsi pembangunan menara base transceiver station atau BTS 4G dan infrastruktur pendukung Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi atau Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika 2020-2022 tidak ada dana yang mengalir ke partai politik. Meski begitu, diharapkan penetapan Menteri Komunikasi dan Informatika nonaktif Johnny G Plate sebagai tersangka dapat menjadi pintu masuk bagi Kejaksaan Agung untuk membongkar pihak lain yang terlibat, termasuk yang menerima aliran dana.

Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian keuangan negara dalam kasus dugaan korupsi proyek Kemenkominfo itu mencapai Rp 8,032 triliun. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Febrie Adriansyah, Jumat (19/5/2023), mengungkapkan, penyidik masih mempelajari rincian kerugian keuangan negara yang totalnya mencapai Rp 8,032 triliun.

Dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKB) itu pula diketahui tidak ada aliran dana yang mengalir ke partai politik. ”Tidak ada,” kata Febrie saat ditanya mengenai kemungkinan adanya aliran dana ke partai politik.

Meski Kejagung sudah menegaskan bahwa penetapan Johnny sebagai tersangka murni penegakan hukum, banyak kalangan menduga hal itu ada kaitannya dengan politik. Spekulasi mengenai adanya aliran dana proyek BTS fiktif ke partai politik juga mencuat karena posisi Johnny sebagai Sekretaris Jenderal Partai Nasdem. Bahkan, beredar pula informasi penyidik akan menggeledah kantor DPP Partai Nasdem.

Follow The Money, Jaksa Harus Terapkan TPPU

Menurut pakar hukum dari Universitas Trisaksti, Yenti Garnasih, pembuktian atas kemana saja aliran dana korupsi proyek BTS fiktif ini bisa dibongkar melalui penggunaan instrumen hukum TPPU. “Penerapan follow the money akan terjawab jika menggunakan pola TPPU. Yaitu menelusuri uang hasil kejahatan itu mengalir kepada siapa, dimana, jadi apa, (dan) itu harus dirampas lagi,” kata Yenti kepada Law-justice, Selasa (23/5/2023).  

“Yang namanya korupsi dalam kasus (BTS) ini bisa suap, gratifikasi, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara. Oleh karena itu, siapa yang diuntungkan, pada merekalah itu akan mengalir TPPU,” imbuh dia. 

Dalam kaitannya aliran yang bancakan masuk ke kas politik, Yenti membaginya menjadi dua sisi. Pertama, aliran uang yang mengalir ke partai politik secara entitas. Dalam membongkarnya, aparat penegak hukum mesti bisa membuktikan apakah memang ada permufakatan jahat antar elite partai politik. 

Yenti menitikberatkan pada kasus proyek BTS fiktif ini, apakah Johnny memang diarahkan untuk korupsi proyek BTS dan setelahnya uang digunakan atas nama kepentingan partai. Jika hal itu yang terjadi, maka partai politik secara keseluruhan yang menjadi pelaku. 

“Kalau memang yang masuk aliran dana dan diterima berdasarkan keputusan partai bahwa partai mendapatkan dana dari hasil kejahatan. Misal kader yang menjadi menteri diinstruksikan harus bagaimana caranya menyumbang kepada partai. Dalam hal ini partai menerima hasil kejahatan korupsi, berarti partai terlibat TPPU,” ucap dia.  

Menurutnya, aliran dana korupsi proyek BTS fiktif bisa mengalir ke bendahara sebelum akhirnya masuk ke kas partai. Di modus lain, hasil bancakan bisa masuk melalui oknum yang menjadi pejabat partai.  

Prof. DR Yenti Garnasih, pakar TPPU. (Dok Pribadi)

Sisi kedua ihwal hasil korupsi proyek BTS fiktif ke parpol, Yenti menekankan bahwa aliran dana haram yang masuk ke parpol bisa saja tidak dimanifestasikan dalam bentuk arahan yang melalui permufakatan jahat tadi. Akan tetapi, elite parpol yang menduduki jabatan publik semacam menteri dapat juga bergerak sendiri dalam menggarong uang negara untuk kepentingan politik partainya. 

“Tidak harus melalui rapat partai dan partai mengetahui uang yang masuk dari hasil kejahatan. Tapi bisa juga pengurus partai tidak mempedulikan aliran dana darimana,” ucap dia. 

Kendati begitu, pihak parpol pun dalam kondisi di atas bisa terseret. “Siapapun yang menerima hasil kejahatan dan dia tahu atau bahkan cukup patut menduga pun, itu pelaku pasif,” katanya. 

Yenti juga bilang, penerapan TPPU bisa menyasar ke pejabat pemerintahan yang berada di balik proyek ini. Sebab intervensi kekuasaan dapat melanggengkan proyek BTS fiktif ini hingga membuka peluang bancakan, meski dalam realisasi proyek ditemukan kejanggalan dan penyimpangan.

“Ini siapa di internal pemerintahan yang melindungi sehingga tetap jalan. Siapa yang ikut menikmati atau mungkin merestui ini tetap jalan,” tuturnya. 

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tibiko Zabar, mengatakan Kejagung akan kesulitan mengungkap kasus ini, jika penerapan TPPU tidak dikedepankan sejak awal penyidikan. Pasalnya, permufakatan jahat atas proyek BTS fiktif ini sudah dibangun sejak awal perencanaan. 

“Proyek ini sudah diatur sejak awal, mulai dari siapa pemenang, mulai dari kualifikasi yang disyaratkan dalam proyek. Jadi ada penyedia yang dimenangkan meski tidak sesuai kualifikasi. Kemudian ada tersangka yang bertugas untuk pengkondisian peserta tender. Jadi sudah bermain sejak itu,” kata Tibiko saat ditemui, Rabu.  

Dari tahap persiapan, kata dia, ada pengaturan sejumlah regulasi untuk mengarahkan pada pemenangan pihak tertentu. Lalu, ketika menyusun kajian, juga dibuat seolah-olah kajian itu dibuat mendukung pelaksanaan. 

Ia melanjutkan, modus di tahap pelaksanaan dan serah terima pun direkayasa. Proyek BTS fiktif yang sebenarnya masih terdapat banyak celah, lantas diklaim rampung. “Celah dari aspek perencanaan untuk memenangkan pihak tertentu, pelaksanaan, proyek yang belum selesai dikatakan sudah selesai dan kemudian selesai dibayarkan. Artinya ada dugaan BAP fiktif yang ditandatangani sehingga uang itu bisa cair,” ucap Tibiko. 

Menurutnya, uang proyek BTS fiktif yang dicairkan dengan modus rekayasa itu, juga disembunyikan dengan berbagai modus. “Dalam konteks korupsi, uang itu mengalir ke banyak pihak atau individu, kemungkinan besar itu bisa terjadi. Karena ada TPPU, ada upaya yang biasa dilakukan oleh koruptor untuk menyembunyikan hartanya,” kata dia. 

Beda BPKP Ketimbang BPK, Kejaksaan Pilih Mana?

Indikasi penyimpangan dalam pelaksaan proyek pengadaan BTS fiktif oleh KementerianKominfo ini sebenarnya sudah cukup lama terendus auditor BPK. Di Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2021, tim audit menemukan terdapat pemborosan keuangan negara di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pemborosan terjadi pada pekerjaan diseminasi luar ruang yang dilaksanakan melalui metode pengadaan langsung, proses pengadaan proyek penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukungnya tidak sesuai pedoman pengadaan barang/jasa, serta indikasi pemecahan paket pekerjaan untuk menghindari seleksi pada pekerjaan jasa konsultan pendamping hukum implementasi BTS 4G dalam rangka akselerasi transformasi digital.

Tabel 1 IHPS II 2021 BPK

Selanjutnya, BPK kembali melakukan Audit proyek ini dilampirkan dalam Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas Pengelolaan Belanja Tahun Anggaran 2021 Kemenkominfo. Hasil ini kemudian menjadi salah satu rujukan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai pelaksanaan pembangunan menara BTS 4G ini menjadi darah segar bagi Penyidik Gedung Bundar untuk mem­bongkar korupsi proyek Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika itu.

“(Audit) itu memperkuat penyidikan yang kita laksana­kan,” tandas Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana.

Tim auditor BPK telah mengonfirmasi proses tender, perencanaan, pembangunan 7094 menara serta lokasinya. “Proses survei itu berdampak pada pe­rubahan lokasi dan spesifikasi yang membuat nilai kontrak berubah,” Sumedana mencuplik hasil audit BPK.

BPK juga menemukan sejumlah kejanggalan proyek Base Transceiver Station (BTS) Badan Aksesibilitas Komunikasi dan Telekomunikasi atau BAKTI Kominfo. Hal ini berdasar Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas Pengelolaan Belanja Tahun Anggaran 2021 Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). BPK menyoroti dan menyatakan bahwa dalam proses perencanaan, survei lokasi justru Bakti Kominfo lakukan setelah penandatangan kontrak.

Sementara itu Anggota III BPK, Achsanul Qosasi kepada media mengatakan rancangan 7.904 titik pembangunan tower BTS hanya BAKTI Kominfo lakukan di atas meja. Data tersebut mengacu pada desktop study alias bukan berdasarkan kondisi ril di lapangan. “Mereka tidak turun. Sehingga pada saat pembangunan, banyak titik penetapan mestinya tidak perlu dibangun (BTS) karena sudah ada punya Telkomsel,” kata Achsanul.

Proses survei yang BAKTI lakukan belakangan itu berujung pada perubahan lokasi dan spesifikasi yang membuat nilai kontrak berubah. Hasilnya, pembangunan dua BTS bakal BAKTI garap dalam satu desa. Padahal, konsep yang BAKTI buat adalah “Satu Desa Satu BTS”, sehingga pada 7.904 lokasi dalam kontrak awal mestinya merujuk pada 7.904 desa berbeda.

Adapun desa-desa yang hendak ada pembangunan ganda itu meliputi Desa Memowa, Dimi, Ekodagi, Dakabado, dan Desa Amoyaibutu, di Kecamatan Bauwobado, Kabupaten Deiyai, Papua. Kemudian Desa Diyouto, Kecamatan Tigi Timur, Kabupaten Deiyai Papua; serta Desa Timokotri dan Desa Kali Merah, Kecamatan Kapiraya, Kabupaten Deiyai, Papua. Terakhir, Desa Bonwakir, Kecamatan Waisai Kota, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.

Meskipun BPK lebih dulu dirujuk dan menuntaskan auditnya, namun Kejaksaan Agung tampaknya cenderung memiih hasil audit BPKP. BPKP melakukan perhitungan kerugian keuangan negara setelah menerima permintaan dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI pada 31 Oktober 2022.

Berdasarkan keterangan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh, kasus korupsi proyek BTS fiktif tersebut telah merugikan negara sebesar Rp8 triliun lebih.

"Berdasarkan bukti yang kami peroleh dan disampaikan kepada Jaksa Agung, kami simpulkan terdapat kerugian negara sebesar Rp8,32 triliun," kata Yusuf dalam konferensi pers bersama Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Senin (15/5/2023).

Menurut penjelasannya, kerugian keuangan negara dalam kasus dugaan korupsi BTS Kominfo terdiri atas tiga hal. Yakni biaya untuk penyusunan kajian pendukung, mark-up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun.

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyebut penyidikan kasus korupsi penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastuktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5 Bakti Kementerian Kominfo tahun 2020-2022, telah rampung.

"Saat ini penyidikan telah selesai dan kami akan serahkan tahap II-nya kepada direktur penuntutan," kata Burhanuddin dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (15/5/2023).

Penuntasan kasus proyek BTS fiktif ini mesti menjadi salah satu prioritas bagi penegak hukum dan juga pemerintahan Joko Widodo. Aroma keterlibatan sejumlah petinggi partai dan tokoh politik akan membuat kasus ini sangat mudah untuk digoreng. Baik sebagai medium untuk black campaign jelang Pemilu, ataupun semata-mata untuk mengaburkan fakta dan membela pelaku.

Penerapan delik money laundry mesti segera. Penyidik akan banyak dimudahkan jika delik ini disertakan dalam penuntasan kasus ini. Di samping tentu saja untuk membuat isyu adanya dana haram yang masuk ke kantong partai dan tokoh politik tertentu. 

Kejahatan para pelaku dalam kasus ini, bukan sekedar menggarong duit rakyat dalam jumlah yang ultra fantastis lebih dari Rp 8 triliun. Lebih dari itu, proyek BTS fiktif ini disusun untuk memberikan akses internet 4G di desa-desa terdepan Republik Indonesia. Kini, impian itu mesti ditunda, sebab proyek yang digarong dan terancam mangkrak. Padahal dengan adanya akses 4G, maka keterhubungan saudara-saudara di daerah perbatasan tersebut akan lebih lekat dengan republik.

Ghivari Apriman

Rohman Wibowo

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar