Rahmat Kamaruddin, Wasekjend PP TIDAR

Review Buku “Paradoks Indonesia” Karya Prabowo Subianto

Minggu, 21/05/2023 22:27 WIB
Resensi Buku Prabowo Subianto (Ist)

Resensi Buku Prabowo Subianto (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Januari 2022 lalu, Prabowo Subianto kembali menerbitkan buku. Judulnya “Paradoks Indonesia dan Solusinya”. Sebenarnya bukan buku baru. Buku tersebut merupakan edisi pemutakhiran buku “Paradoks Indonesia: Pandangan Strategis Prabowo Subianto” yang terbit pada 2017. Berisi tentang pikiran-pikiran strategis Prabowo Subianto guna mengentaskan persoalan yang membelit bangsa dan negara kita.

Menurut KBBI, paradoks adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. Paradoks Indonesia, menurut Prabowo, merupakan kondisi di mana Indonesia kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, tetapi sebagian besar rakyat Indonesia saat ini masih hidup dalam kemiskinan.

Buku ini mencoba merekam pikiran-pikiran strategis Prabowo terhadap kondisi paradoksal yang tengah bangsa ini alami. Pergulatan panjang puluhan tahun mengabdi pada negeri sejak sebelum ataupun sesudah memutuskan berjuang di politik, menghantarkannya pada ambang kegelisahan yang tak terperikan atas nasib Indonesia yang dia cintai. Tapi, dia terus berjuang, hingga kini. Menyerah bukan pilihan. Perjuangan harus terus dilanjutkan.

Buku terbitan PT Media Pandu Bangsa ini terdiri dari lima bab. Tebalnya 180 halaman. Ia mencoba mengurai kegelisahannya atas kondisi yang ia sebut sebagai paradoks Indonesia. Pada Bab Satu, “Membangun Kesadaran Nasional”, Prabowo mengajak kita untuk sama-sama membangun kesadaran nasional bahwa kita belum menjadi bangsa dan negara yang sejahtera. “Kesadaran adalah modal utama perjuangan,” tulis Prabowo (h. 5).

Kesadaran apa yang Prabowo maksud? Pertama, kesadaran bahwa sistem ekonomi dan demokrasi Pancasila merupakan pilihan terbaik untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia. Kedua, sistem ekonomi yang saat ini sedang kita jalankan tidak sesuai dengan apa yang digariskan UUD 1945 yang asli, yaitu UUD 1945 versi 18 Agustus 1945. Ketiga, perjuangan untuk mewujudkan ekonomi Pancasila harus ditempuh dengan jalan politik (h. 11-12).

Bangsa Indonesia, khususnya generasi muda, tidak boleh membenci politik. Bagaimana pun politik merupakan alat perjuangan untuk mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan.

Oleh karena itu, setiap warga negara harus mendapatkan pendidikan politik yang memadai. Ini modal utama demi terciptanya masyarakat yang mengerti dan berkesadaran tentang jati dirinya sebagai bangsa dan negara besar. Prabowo memulai dengan suatu cita-cita idealistis berupa gagasan dan keyakinan, sebelum melangkah ke palagan selanjutnya.

“Hanya dengan pendidikan politik dapat terwujud suatu kesadaran bersama. Dengan kesadaran bersama, kita dapat  turut serta dalam perjuangan besar dan perjuangan panjang mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia: Rakyat yang adil dan makmur,” tulis Prabowo (h. 15).

Arah dari tumbuhnya kesadaran di atas adalah terciptanya pemerataan ekonomi. Sebab, di Indonesia, kekayaan Indonesia belum terdistribusi secara rata dan berkeadilan. Hanya kalangan elite tertentu saja yang menikmati.

Menurut Prabowo Subianto, ketidakadilan ekonomi sudah terlalu parah. “Bahkan baru-baru ada yang menghitung, harta kekayaan dari empat orang terkaya di Indonesia ternyata lebih besar dari 100 juta orang termiskin di Indonesia,” tulis Prabowo mengutip data OXFAM dan INFID, 2017 (h. 74). Jumlah mereka memang kecil, tapi menguasai perekonomian negara. Alhasil, kaum elite tersebut bisa dengan mudah menentukan berbagai aspek kehidupan kita berbangsa dan bernegara.

Inilah salah satu kegelisahan besar Prabowo yang membelit Indonesia. Atas perihal itu, Prabowo lirih menjelaskan,

“Mereka bisa pesan kebijakan dan menentukan siapa-siapa saja yang boleh impor gula, daging, beras, jagung dan komoditas lainnya. Mereka juga bisa menentukan siapa-siapa saja yang jadi pemimpin karena mereka punya kemampuan untuk jadi penyandang dana utama dalam kampanye politik. Ekonomi diatur oleh beberapa orang super kaya, bukan oleh negara,” (h. 25).

Fondasi Pembangunan

Pada Bab Dua, “Ekonomi untuk Rakyat Indonesia”, Prabowo menyodorkan proposal berupa strategi pengentasan persoalan yang pada bab sebelumnya ia paparkan. Ekonomi rakyat harus baik. Orientasi pembangunan ekonomi kita harus berpihak pada rakyat, bukan elite. Ini persoalan yang sangat mendasar, urusan perut dan kebutuhan pokok lainnya. Di Indonesia, sangat mudah kiranya kita mendapati orang tidak punya uang dan kekayaan. Kalaupun punya, maka kerap hanya cukup memenuhi kebutuhan pokok. Itu pun dengan standar yang bersahaja.

Susah kita membayangkan, meminjam teori Abraham Maslow, jika pemenuhan kebutuhan mendasar saja rakyat kepayahan, bagaimana mereka akan memenuhi kebutuhan lain hingga ke level aktualisasi diri? Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar, bangsa Indonesia kiranya akan dapat berpikir lebih lanjut untuk pengembangan seni, sastra, olahraga, kesehatan, budaya, politik, sains dan teknologi, dan berbagai aspek lainnya. Hentikan kekayaan kita mengalir ke luar negeri! Itulah fondasi pembangunan yang ditawarkan Prabowo.

“Penyakit paling mendesak dari tubuh ekonomi Indonesia saat ini adalah mengalir keluarnya kekayaan nasional dari wilayah Indonesia. Terlalu besar hasil ekonomi Indonesia yang disimpan dan dimanfaatkan di luar negeri. Uang bagi suatu negara, kekayaan bagi suatu bangsa, adalah sama dengan darah, dan ternyata berdarahnya sudah puluhan tahun. Jika kita hitung sejak zaman penjajahan, maka sudah ratusan tahun ekonomi kita berdarah,” ungkap Prabowo (h. 45).

Prabowo tidaklah berbicara ihwal kebocoran ekonomi mengenai satu atau dua rezim ke belakang, melainkan meningkatkannya pada level diskursus historis bagaimana bangsa dan negara ini bermula dan relevansinya hingga kita menjadi negara modern saat ini. Ketua Umum Partai Gerindra itu mengajak kita melihat persoalan ekonomi secara holistik dan lalu mengaitkannya dengan urusan spesifik keseharian kita. Data-data yang Prabowo paparkan pun bersumber dari lembaga berskala internasional dan nasional. Misalnya ketika Prabowo mengutip data dari Kementerian Keuangan,

“Menurut Kementerian Keuangan, pada akhir 2016 ada Rp.11.000 triliun kekayaan orang Indonesia yang disimpan di bank-bank di luar negeri. Mengingat APBN atau anggaran belanja negara kita saat ini hanya Rp.2000 triliun, jumlah ini  lebuh dari 5 kali APBN kita.”

“Padahal,” lanjut Prabowo, “Jumlah yang lebih dari 5 kali lipat anggaran negara kita di luar negeri ini, jika ada di dalam negeri, bisa disalurkan oleh bank-bank Indonesia untuk membiayai usaha-usaha Indonesia. Bisa disalurkan untuk membangun infrastruktur dan menjadikan BUMN-BUMN Indonesia perusahaan-perusahaan kelas dunia,” (h. 55).

Prabowo mencoba mengentaskan persoalan di atas dengan mendedahkan persoalan dari berbagai perspektif. Salah satunya persoalan budaya dan mentalitas kita. Sikap ramah dan santun yang pada umumnya menjadi ciri bangsa Indonesia, dalam kadar tertentu, rupanya dapat menjadi pintu masuk bagi kehancuran kita sendiri. Sebuah otokritik yang amat penting bagi kita menyongsong kemajuan.

“Yang saya heran, kenapa kalau kita berbicara ‘mengimpor’ daging, mengimpor singkong”, banyak orang tertawa? Saya tidak mengerti. Seharusnya kita menangis. Tapi, kata orang, ambang penderitaan bangsa Indonesia tinggi sekali. Jadi, kalau kaki kita diinjak, orang Indonesia tidak teriak-teriak karena sifat bangsa Indonesia memang baik, nrimo. ‘Monggo, silakan injak kaki saya. Silakan perdaya saya dan ambil kekayaan saya’”, (h. 64).

Berkaitan erat dengan mengalirnya kekayaan Indonesia ke luar negeri, ketimpangan antara orang kaya dan miskin juga merupakan perkara pokok pada bab ini. Ketimpangan ekonomi bukan perkara sederhana. Sebab, implikasinya amatlah berbahaya dan dapat menimbulkan krisis multidimensi. Inilah ketidakadilan ekonomi yang sangat mengusik batin Prabowo. Prabowo menulis,

“Menurut data BPS, gini ratio pendapatan warga negara Indonesia di tahun 2020 adalah 0,38. 1% orang terkaya mendapatkan 38% pendapatan di Republik Indonesia. Menurut riset lembaga keuangan Kredit Suisse (Credit  Suisse Global Wealth Databook, 2021), di tahun 2021 angka gini ratio kekayaan warga Indonesia mencapai 0,36. 1% orang terkaya menguasai 36% kekayaan. 0,36 adalah ketimpangan kekayaan yang besar. Ketimpangan berbahaya. Ketidakadilan ekonomi ini jika dipantik dengan tepat memicu konflik sosial, huru-hara dan perang saudara yang berkepanjangan,” (h. 73).

Selain pembangunan ekonomi rakyat, fondasi kedua adalah perbaikan demokrasi Indonesia. Hal ini tersaji pada Bab Tiga, “Demokrasi Oleh dan Untuk Rakyat Indonesia”. Keduanya saling berkelindan dan erat kaitannya. Pasalnya, para elite yang dibahas pada bab sebelumnya merasa tidak cukup hanya dengan menguasai ekonomi Indonesia. Mereka juga melebarkan cengkeraman kekuasaannya ke dunia politik. Alhasil, demokrasi pun bisa dikuasai pemodal. Mulai dari partai, lembaga survei, hingga media.

“Sekarang Indonesia berada dalam keadaan yang sangat rawan. Banyak pemimpin kita yang bisa disogok, bisa dibeli. Akhirnya, pemimpin terpilih tidak menjaga kepentingan rakyat, tidak mengamankan kepentingan rakyat, tetapi malah menjual negara kepada pemodal besar-bahkan kadang kepada bangsa lain,” tulis Prabowo (h. 87).

Secara sistematis, Prabowo menarasikan dan menampilkan ke dalam tabel dan info grafis “modus operandi” yang berlaku di tengah masyarakat perihal bagaimana strategi pemodal menguasai demokrasi Indonesia. Ada suara, ada harga. Prabowo pun tampak gusar. Pasalnya, realitas itulah yang dia hadapi sebagai pimpinan partai. Hal ini tergambar ketika dia bercerita,

“Di Pemilu serentak yang lalu, saya ingat, ada beberapa kader saya yang dengan semangatnya, ‘Pak, saya mau maju bupati. Saya mau maju gubernur’. Saya tanya, ‘Anda ini punya kekuatan ekonomi, tidak?’ dijawab, ‘Pak, saya mau gadaikan rumah saya’.”

“Untuk politik, saya larang kader gadaikan milik mereka. Saya bilang, ‘Itu rumah urusan sama istri anakmu. Bisa saja kau kalah. Kalau kau kalah, rumah sudah tergadai, tanggung jawabmu kepada anak istrimu bagaimana?’ Saya ingat, waktu itu saya bilang, ‘Anda mau maju di politik? Anda harus tahu, politik liberal ini membutuhkan biaya’” (h. 94).

Satu hal yang paling membahayakan juga mengenai demokrasi yang dikuasai pemodal adalah strategi politik pecah belah (divide et impera). Banyaknya tokoh potensial bertumbangan dan tersingkirkan dari gelanggang politik nasional akibat politik pecah belah.

“Kita harus ingat, jangan kita lupa sejarah kalau dulu tokoh-tokoh bangsa kita sering selalu diadu domba. Divide et impera. Kalau dulu sultan lawan sultan, pangeran lawan pangeran, sekarang seringkali ketua umum partai lawan anak buah yang dibesarkan oleh dia sendiri namun dimodali pemodal besar” (h. 96).

Miris memang. Tapi, itulah faktanya. Prabowo hanya menjelaskan secara jujur dan apa adanya. Bahwa demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Dan sebagai kejujuran, terkadang memang tidak mudah untuk diterima. Tapi, melalui buku ini Prabowo berupaya memantik kesadaran rakyat untuk bersama-sama mencarikan solusi. Agar demokrasi kita sehat. Semua demi membela kepentingan rakyat.

Ekonomi Konstitusi

Prabowo lalu menyodorkan proposal berupa solusi terhadap dua pokok permasalahan di atas. Hal ini disajikan pada Bab Empat, “Solusi Paradoks Indonesia: Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka”. Inilah bagian penting dari buku ini. Pada bab ini, Prabowo menjelaskan potensi apa saja yang kita miliki untuk menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Mulai dari potensi pangan dan agro industri hingga perihal pasar domestik kita yang begitu besar. Prabowo juga merumuskan suatu mazhab ekonomi yang disebutnya dengan istilah “ekonomi konstitusi”.

Apa gerangan ekonomi konstitusi itu? Ia merupakan sintesis dari mazhab kapitalisme dan mazhab sosialisme. Prabowo menulis,

“Kalau saya berpendapat, ‘Lho, kenapa kita harus memilih?’ Kita mau ambil yang terbaik dari kapitalisme dan yang terbaik dari sosialisme. Gabungan terbaik dari keduanya inilah disebut oleh Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, oleh bapak saya Prof. Sumitro, sebagai ekonomi kerakyatan, atau ekonomi Pancasila, yang bentuknya tertulis di Undang-Undang ’45, khususnya di Pasal 33. Boleh juga kita sebut ‘ekonomi konstitusi’”, (h. 114).

Pada bab ini pun Prabowo memaparkan makna dari Pasal 33 UUD ‘45 seraya memberikan contoh-contoh secara komparatif dari berbagai pengalaman dari negara lain dalam mengelola ekonomi. Menurut Prabowo, ekonomi konstitusi mendorong agar negara sebagai pelopor penyelenggara perekonomian, bukan pihak swasta. Selain itu, ekonomi konstitusi juga mendorong agar negara menghentikan kebocoran anggaran dan mendorong produksi oleh anak bangsa, serta mewujudkan koperasi menjadi alat pemerataan ekonomi dan penggerak swasembada rakyat.

Hal yang tak kalah penting juga adalah agar kekayaan alam Indonesia harus diolah di Indonesia. Sebagian upaya itu telah diupayakan di era Presiden Joko Widodo. Prabowo pun mengungkapkan apresiasinya,

“Saat ini Presiden Joko Widodo sudah menerapkan larangan ekspor untuk nikel—salah satu komoditas unggulan kita. Walaupun digugat oleh World Trade Organization, Presiden bersikukuh bahwa larangan ekspor nikel adalah kebijakan yang benar. Ini adalah kegigihan yang harus kita pertahankan. Lebih baik kita ekspor baterai mobil listrik, atau mobil listrik, jangan ekspor nikel mentah untuk diolah negara lain,” tulis Prabowo (h. 136).

Salah satu tujuan utama yang menjadi nafas perjuangan Prabowo adalah mengembalikan konstitusi negara ke naskah UUD 1945 yang asli, versi 18 Agustus 1945 (h. 148). Prabowo mengkritik dua ayat yang “diselundupkan” saat perubahan UUD 1945 pada 11 Agustus 2002 silam. Menurutnya, dua ayat tambahan tersebut telah menciptakan ketimpangan ekonomi, yakni tambahan Ayat 4 dan 5 pada Pasal 33 UUD 1945.

Bila kita tilik secara mendalam, gagasan Prabowo tidaklah bersifat anti-orang kaya. Melainkan bagaimana orang boleh saja menjadi kaya di Indonesia, tapi tidak dengan melakukan penindasan dan kezaliman, dengan mengabaikan nasib hidup banyak orang, yakni nasib rakyat jelata.

Prabowo ingin pemerataan ekonomi yang berkeadilan, tidak melulu didominasi elite. Negara harus hadir mengintervensi agar nasib ekonomi rakyat supaya terjamin dan berkeadilan. “Kita tidak boleh punya pendapat: Yang kuat, tambah kuat. Yang tidak kuat, terserah. Pendapat seperti itu bukan Pancasila, bukan cita-cita pendiri bangsa,” ungkap Prabowo (h.147).

Visi Kemerdekaan

Pragmatisme dan oportunisme jagat politik kita menjadikan bangsa ini lupa akan tujuan nasional kita berbangsa dan bernegara. Inilah hal utama yang Prabowo coba ingatkan kembali kepada kita semua. Apa saja itu tujuan nasional kita? Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Terakhir, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kesemua pembahasan di atas ditegaskan pada Bab Lima, “Menunaikan Janji Kemerdekaan”. Bab ini bernuansa kontemplatif karena seperti berisi curahan hati. Prabowo menceritakan bagaimana rumitnya perjuangan yang dia lalui hingga detik ini dalam berjuang di politik. Ada semacam kekuatan besar yang bergotong royong menjegal Prabowo mewujudkan misinya, yakni terwujudnya amanat konstitusi.

Apa yang dipaparkan Prabowo Subianto melalui buku ini kiranya dapat memantik kekhawatiran pihak-pihak yang tidak ingin pesta pora di atas penderitaan rakyat segera berakhir. Membubarkan pesta pora kelompok yang telah menjadikan Indonesia sebagai bancakan belaka. Visi Prabowo tentang pembenahan Indonesia kiranya memerlukan bukan hanya keberanian, tapi juga kemampuan menggalang kekuatan. Siapa pun berupaya mewujudkan cita-cita dari buku ini, agaknya, akan bersiap menghadapi perlawanan serius kelompok tersebut. Inilah yang telah Prabowo lakukan berkali-kali. Jatuh, bangkit lagi, jatuh, bangkit lagi.

Satu hal yang begitu kuat dari narasi buku ini adalah pentingnya menjaga harga diri. Menjadi politisi ataupun pejabat publik, jangan mau gampang dibeli. Sebagai bangsa dan negara kita pun harus menjaga harkat dan martabat di hadapan negara lain.

Ada kegelisahan dan rasa prihatin yang begitu terasa di setiap lembar buku ini. Betapa negara Indonesia yang begitu potensial sumber dayanya, namun rakyatnya hidup susah. Hal ini coba Prabowo sampaikan ke dalam bahasa populer, gamblang dan mudah dicerna. Tapi, substansinya begitu menohok, terutama bagi kelompok yang diduga memang bersekutu supaya Indonesia terus terpuruk. Limpahan data statistik, gambar ilustrasi dan desain grafis yang disajikan pada setiap bab sangat membantu kita memahami pokok-pokok pikiran.

Buku ini menjadi kian bermakna karena sang penulis dua kali hampir menjadi pemimpin tertinggi di Republik ini, Pilpres 2014 dan 2019. Pada 2024 nanti dia akan kembali ke palagan, berjuang memenangkan hati rakyat, untuk menjadi petugas rakyat, menjadikan Indonesia lebih berharkat dan bermartabat. Mengentaskan paradoks Indonesia.

Paradoks Indonesia mendedahkan persoalan nyata dan mendasar, yang membelit rakyat sehari-hari, yang harus bangsa ini bereskan jika ingin menjadi bangsa dan negara yang unggul. Kesatupaduan cita-cita idealis Pendiri Bangsa yang berpijak pada perkara materialistis kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Ia tampak semacam "panduan praktis" bagaimana mewujudkan amanat UUD 1945 Pasal 33 yang kerap dikutip dan didiskusikan banyak orang, namun tak kunjung terealisasi itu.

Buku ini tak ubahnya merupakan hasil riset dari pengalaman empiris Prabowo menjelajahi ratusan daerah yang dia kunjungi sendiri di penjuru Indonesia. Ikhtisar dari dialognya dengan para pakar dan pemimpin di dunia yang pernah dia temui. Saripati dari penderitaan rakyat jelata yang telah ia ajak berdiskusi. Tidak berangkat dari ruang sunyi yang tak menjejak di bumi.

Di penghujung halaman terakhir (h. 179), Prabowo menulis,

“Kita harus berani dan bisa mengamankan dan menyelamatkan kekayaan bangsa Indonesia. Kalau kita tidak berani dan tidak mampu menghentikan mengalirnya kekayaan kita ke luar negeri, negara kita tidak mungkin jadi negara sejahtera.”

“Kita harus berani dan bisa mewujudkan demokrasi yang benar-benar dari dan untuk rakyat, agar siapa pun yang terpilih dalam proses demokrasi memiliki kemampuan membuat kebijakan-kebijakan terbaik untuk Indonesia.”

Siapa mau ikut berjuang?

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar