Denico Doly, Analis di Pusat Analisis Keparlemenan Setjen DPR RI

Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Gratifikasi

Minggu, 30/04/2023 00:01 WIB
KPK dalam Acara Sosialisasi Program Pengendalian Gratifikasi (Cahyono)

KPK dalam Acara Sosialisasi Program Pengendalian Gratifikasi (Cahyono)

DKI JAKARTA, law-justice.co - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan RAT mantan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebagai tersangka dan menahannya karena diduga menerima gratifikasi sebesar Rp1,34miliar.

RAT diduga menerima gratifikasi melalui perusahaan konsultan pajak yang dimilikinya. Adapun klien dari perusahaan konsultan pajak tersebut diduga merupakan wajib pajak yang memiliki permasalahan pajak.

KPK mengatakan bahwa pemberian atau penerimaan gratifikasi menjadi tantangan tersendiri, karena ada ketidaktahuan dari sebagian masyarakat, bahwa memberikan sesuatu kepada seseorang dapat menjadi gratifikasi yang dapat dikenakan pidana (aclc.kpk.go.id., 19 Januari 2023)

Pada tahun 2022, KPK menerima sebanyak 4.365 laporan gratifikasi dengan bentuk gratifikasi berupa cendera mata, plakat, tiket perjalanan, jamuan makan, fasilitas penginapan, dan lain-lain. Pasal 12C UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengatakan bahwa gratifikasi tidak akan menjadi pidana apabila penerima gratifikasi tersebut melaporkan gratifikasi kepada KPK.

KPK juga telah membuat daftar pemberian yang tidak termasuk dalam unsur Pasal 12B UU Tipikor. Gratifikasi menjadi permasalahan apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas.

Gratifikasi untuk melakukan pengkondisian tertentu, akan membawa dampak kepada kerugian negara. Apalagi hal tersebut berhubungan dengan kewajiban seseorang untuk membayar pajak. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menelaah penegakan hukum atas tindak pidana gratifikasi.

Pengaturan Gratifikasi di Indonesia Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor mengatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pembuktian terbalik); yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penuntut umum.

Atas pemberian gratifikasi tersebut, dikenakan pidana kepada penyelenggara negara atau ASN pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Penjelasan Pasal 12B UU Tipikor mengatakan bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut diterima baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Menurut Paruntu (2014: 47), contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi antara lain: (a) pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu; (b) padiah atau sumbangan rekanan yang diterima pejabat pada saat perkawinan anaknya; (c) pemberian tiket perjalanan kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma;

(d) pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/pegawai negeri untuk pembelian barang atau jasa dari rekanan; (e) pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan pejabat/pegawai negeri; (f) pemberian hadiah/souvenir kepada 2 pejabat/pegawai negeri pada saat kunjungan kerja; (g) pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara pribadi lainnya dari rekanan; dan (h) pemberian hadiah/parsel kepada pejabat/pegawai negeri pada saat hari raya keagamaan oleh rekanan atau bawahannya.

Hasil kajian yang dilakukan Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK yang dituangkan dalam buku satu KPK RI tentang Memahami Gratifikasi disebutkan bahwa pemberian hadiah atau gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara adalah salah satu sumber penyebab timbulnya konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang berasal dari gratifikasi kemudian dapat berpotensi menjadi bagian dari tindak pidana korupsi (KPK, 2014: 16).

Konflik kepentingan ini yang menyebabkan adanya kekhawatiran akan membawa dampak negatif seperti terganggunya penilaian atau pekerjaan dari penyelenggara negara atau seorang ASN. Pemberian hadiah dari pihak saudara atau keluarga jauh yang dilakukan berulang kali pada dasarnya dapat diwaspadai sebagai gratifikasi yang mengarah kepada tindak pidana.

Apalagi jika gratifikasi ini dilakukan secara berulang dan dengan maksud tertentu untuk melancarkan upaya tertentu yang dapat menguntungkan saudara atau keluarga tersebut. Hal ini akan membawa kepada arah konflik kepentingan yang timbul dari adanya pemberian hadiah tersebut. Gratifikasi dapat bermakna sebagai pemberian yang bersifat netral.

Akan tetapi juga bisa menjadi gratifikasi yang dianggap suap jika memenuhi karakteristik berikut: (1) penerimaan gratifikasi dapat membawa kepentingan pribadi (vested interest) dan kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian sehingga independensi penyelenggara negara dapat terganggu; (2) penerima gratifikasi dapat memengaruhi objektivitas dan penilaian profesional penyelenggara negara; dan (3) penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan terjadinya tindak pidana korupsi.

Penegakan Hukum Tindak Pidana Gratifikasi

Penegakan hukum atas tindak pidana gratifikasi banyak menghadapi kendala karena banyak anggota masyarakat yang belum memahami secara penuh mengenai gratifikasi. Gratifikasi dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan tindakan korupsi, sehingga perlu upaya pencegahan baik oleh penegak hukum maupun oleh institusi atau lembaga negara.

Penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor hukum, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan (Soerjono, 2004: 8-42).

Faktor hukumnya, yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai gratifikasi, yaitu UU Tipikor yang di dalamnya memuat mengenai definisi, hal yang dilarang, serta sanksi atas gratifikasi. Aturan terkait gratifikasi sudah ada, akan tetapi praktik tindak pidana gratifikasi masih saja terjadi. Pelaku tindak pidana saat ini banyak melakukan praktik 3 untuk mengaburkan tindakannya, agar sulit dijangkau oleh penegak hukum.

Salah satu praktik gratifikasi yang belum atau kurang tersentuh yaitu gratifikasi yang berada pada ruang maya (internet) karena hal ini mungkin saja terjadi. Faktor penegak hukumnya, saat ini masih banyak oknum penegak hukum yang melakukan praktik gratifikasi. Penegakan hukum atas tindak pidana gratifikasi harus dilakukan secara menyeluruh.

Oleh karena itu, penegak hukum perlu mendapatkan dukungan dalam melaksanakan penegakan hukum atas tindak pidana gratifikasi. Selain itu, perlu adanya dukungan dari instansi atau lembaga di mana penyelenggara negara dan ASN itu berada yang perlu melakukan upaya monitoring secara internal. Faktor sarana atau fasilitas bagi para penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum.

Gratifikasi pada ruang lingkup dunia maya (internet) perlu mendapatkan perhatian lebih, karena praktik gratifikasi juga dapat diberikan pada ruang maya. Oleh karena itu, dalam rangka untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan, penegak hukum perlu diberikan sarana dan prasarana untuk menunjang pekerjaannya, khususnya sarana dalam upaya pencegahan gratifikasi di dunia maya.

Faktor masyarakat, di mana masyarakat perlu diberikan pengetahuan lebih atas tindak pidana gratifikasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau ASN. Masyarakat perlu mengetahui bahwa pekerjaan yang dilakukan seorang penyelenggara negara atau ASN tidak perlu diberikan hadiah atau fasilitas apapun yang berhubungan dengan pekerjaannya.

Hal tersebut disebabkan sebuah pekerjaan menjadi tanggung jawab yang sudah diemban oleh seorang penyelenggara negara atau ASN. Seorang ASN juga perlu memahami secara penuh mengenai tanggung jawab pekerjaan yang diembannya, bahwa atas pekerjaannya itu, seorang ASN tidak boleh menerima pemberian barang atau fasilitas apapun.

Faktor budaya ini juga menjadi faktor penting dalam penegakan hukum tindak pidana gratifikasi. Budaya untuk memberikan hadiah kepada seseorang yang berhubungan dengan pekerjaannya perlu dihentikan, apalagi jika seseorang itu merupakan penyelenggara negara atau seorang ASN. DPR RI memiliki peran yang cukup besar dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan aturan mengenai tindak pidana gratifikasi.

Komisi III DPR RI dalam melaksanakan pengawasan terhadap kinerja KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan menjadi penting untuk memerangi tindak pidana korupsi. Peningkatan kewaspadaan terhadap pemberian gratifikasi yang dilakukan oleh masingmasing inspektorat pada lembaga atau instansi perlu dilakukan, apalagi masuk pada masa hari raya keagamaan yang biasanya rentan terhadap pemberian gratifikasi yang bermodus pemberian parsel.

Adanya Gratifikasi pada penyelenggara negara dan ASN masih sering terjadi. Permasalahan ini timbul karena belum adanya pemahaman terkait dengan praktik gratifikasi. Penegakan hukum tindak pidana gratifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu hukumnya yang belum menjangkau seluruh sektor gratifikasi, penegak hukumnya, di mana masih banyak oknum melakukan gratifikasi, sarana dan fasilitias untuk menunjang pekerjaan penegak hukum, budaya masyarakat yang seringkali memberikan hadiah kepada penyelenggara negara atau ASN, dan masyarakat yang belum memahami mengenai gratifikasi.

Komisi III DPR RI memiliki peran pengawasan terhadap pelaksanan penegakan hukum tindak pidana gratifikasi secara menyeluruh. Selain itu, dalam peran legislasi, perubahan UU Tipikor juga perlu mengatur gratifikasi yang dilakukan di media internet. Sosialisasi terhadap praktik gratifikasi juga perlu dilakukan secara berkala. AKD DPR RI dalam melakukan pengawasan perlu memastikan dan mengingatkan adanya potensi tindak pidana gratifikasi, khususnya pada hari raya keagamaan.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar