Soal Larangan Pakai Lapangan Salat Id, Muhammadiyah: Pecah Belah Umat!

Senin, 17/04/2023 11:17 WIB
Diubah Jadi Masjid, Muhammadiyah Jatim Mau Beli Gereja Besar Spanyol. (muhammadiyah.or.id).

Diubah Jadi Masjid, Muhammadiyah Jatim Mau Beli Gereja Besar Spanyol. (muhammadiyah.or.id).

Jakarta, law-justice.co - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengkritisi pemerintah daerah (pemda) yang tidak memberikan izin salat idulfitri di lapangan pada Jumat, 21 April 2023.

Hal itu disampaikan Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas merespons keputusan beberapa pemda yang tidak memberikan izin pelaksanaan salat Idulfitri 21 April itu adalah di Kota Sukabumi (Jawa Barat) dan Kota Pekalongan (Jawa Tengah).

Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid berdalih tak memberi izin penggunaan Lapangan Mataram itu karena pihaknya masih menunggu pengumuman dari pemerintah pusat mengenai tanggal hari raya Idulfitri 1444 H di Indonesia.

Serupa pula dalih yang digunakan Wali Kota Sukabumi Achmad Fahmi untuk tak mengizinkan warga Muhammadiyah menggunakan Lapang Merdeka sebagai tempat Salat Idulfitri pada Jumat (21/4) mendatang.

Pemerintah--melalui Kemenag--baru akan melakukan sidang isbat hasil pengamatan posisi bulan (rukyatul hilal) pada 20 April 2023 untuk menentukan 1 Syawal 1444 H.

Sementara itu, Muhammadiyah diketahui telah menetapkan jauh hari lewat perhitungan pergerakan bulan (hisab hakiki) bahwa Idulfitri 1444 H jatuh pada 21 April 2023.

Anwar Abbas menilai pemerintah telah melakukan pelanggaran UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 terkait penolakan izin pelaksanaan salat idulfitri di lapangan.

Menurutnya, aparat pemerintah di semua lini seharusnya bijak dengan bersikap netral terhadap umat yang menunaikan kegiatan keagamaan yang dijamin UUD 1945 itu.

Oleh karena itu, dia meminta pemerintah mesti bijaksana dengan umat Islam untuk menggunakan masjid dan tanah lapang yang dimiliki negara untuk dipakai salat Idul Fitri, baik pada Jumat, 21 April maupun yang menunggu hasil sidang isbat Kemenag pada 20 April nanti.

"Demikianlah seharusnya sikap pemerintah, tetapi tampaknya pemerintah tidak melakukan itu tapi pemerintah telah melakukan rezimintasi pemahaman dan sikap keagamaan sekelompok umat dan mengabaikan yang lainnya sehingga banyak bupati, wali kota dan gubernur takut memberi izin pemakaian masjid dan tanah lapang yang dimiliki oleh negara untuk dipakai sebagai tempat salat Idulfitri bagi yang mempergunakan hisab dan membolehkan pemakaiannya untuk orang yang akan salat Idulfitri berdasarkan ru`yah," ujar Anwar dalam keterangannya, Senin (17/4).

"Sikap pemerintah yang seperti ini tentu tidak baik karena selain telah melanggar konstitusi dia juga telah ikut memecah belah umat. Hal itu tentu tidak kita harapkan," sambung dia dalam keterangannya.

Pria yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu menilai posisi pemerintah seharusnya bukan mendukung satu metode perhitungan dan tidak mendukung metode yang lain. Jika melakukan hal tersebut, pemerintah disebutnya telah menentang konstitusi dan Alquran.

"Coba kalau yang jadi Menteri Agamanya penganut metode hisab dan tidak mau mempergunakan ru`yah ramai enggak kira-kira ya. Ya pasti ramai. Oleh karena itu pemerintah jangan mengisbatkan satu pendapat tapi mengisbatkan atau menetapkan tahun ini sama atau tidak. Kalau sama diberitahu sama dan kalau tidak sama diberitahu tidak sama," ujar Anwar.

Sikap yang harus dilakukan pemerintah

Anwar Abbas menjelaskan ada dua metode perhitungan pelaksanaan Idulfitri yakni hisab dan ru`yah.

Menurut Anwar, ada kemungkinan besar perbedaan waktu pelaksanaan Idulfitri tahun ini dari hasil hitungan hisab dan hasil ru`yah.

Karenanya, pemerintah diharapkan menjamin pelaksanaan salat berjalan lancar tanpa ikut menentukan hasil mana yang akan dipakai.

Apabila setelah dilaksanakannya sidang Isbat dan benar terjadi perbedaan waktu pelaksanaan, kata Anwar, maka pemerintah mestinya cukup mengabarkan saja.

"Bolehkah pemerintah memfasilitasi umat untuk menentukan kapan idulfitri dan iduladha? Ya boleh-boleh saja. Tapi, kalau terjadi perbedaan antara yang mempergunakan hisab dengan yang mempergunakan ru`yah maka sikap pemerintah jangan ikut-ikutan berpihak kepada salah satunya," kata Anwar.

"Tugas pemerintah cukup hanya memberitahu bahwa tahun ini umat Islam lebaran Idulfitrinya tidak sama karena yang mempergunakan hisab hasil hitung-hitungan mereka tanggal 1 Syawal jatuh pada hari Jumat tanggal 21 April, jadi mereka akan salat Idulfitri di hari dan tanggal tersebut. Sementara yang memakai ru`yah akan berlebaran hari Sabtu tanggal 22 April," kata dia.

Anwar kembali menekankan bahwa sikap pemerintah Kota (Pemkot) Pekalongan, Jawa Tengah tidak tepat karena hanya mengizinkan penggunaan fasilitas untuk kelompok tertentu yang berlebaran sesuai dengan pemerintah.

"Yang jelas sikap Wali Kota Pekalongan benar-benar tidak tepat di mana beliau menidakbolehkan satu lokasi untuk dipakai oleh orang yang salat Id-nya hari Jumat. Tempat itu hanya boleh yang untuk hari Sabtu sesuai dengan ketetapan pemerintah," kata Anwar.

Muhammadiyah Pertanyakan Izin Salat Id 21 April di Lapangan Ditolak Pemda

PP Muhammadiyah mempertanyakan perihal permohonan izin penyelenggaraan salat Idul Fitri pada 21 April 2023 di Lapangan Mataram, Pekalongan, yang ditolak pemerintah daerah.

Muhammadiyah kini mendengar kabar permohonan pelaksanaan salat Id di Lapangan Merdeka, Sukabumi, juga ditolak.

"Setelah Kota Pekalongan, sekarang Kota Sukabumi? Setelah itu mana lagi?" kata Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu`ti mengawali pernyataannya dalam keterangan pers, Senin (17/4/2023).

Seperti diketahui, PP Muhammadiyah telah menentukan Idul Fitri 1444 H jatuh pada 21 April 2023. Sementara itu, pemerintah masih menunggu sidang hasil isbat yang akan digelar pada 20 April 2023.

Kembali ke pernyataan Mu`ti. Dia menjelaskan pelarangan penggunaan fasilitas publik untuk pelaksanaan salat Idul Fitri yang berbeda merupakan ekses dari kebijakan pemerintah tentang awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Menurut Mu`ti, pemerintah tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur hal-hal yang terkait ibadah mahdlah.

"Dalam sistem negara Pancasila, pemerintah tidak memiliki kewenangan mengatur wilayah ibadah mahdlah seperti awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Pemerintah sebagai penyelenggara negara justru berkewajiban menjamin kemerdekaan warga negara untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya," ujar Mu`ti.

Mu`ti menyatakan fasilitas publik seperti lapangan dan fasilitas lainnya merupakan wilayah terbuka yang bisa dimanfaatkan masyarakat sesuai dengan ketentuan. Pemakaian fasilitas itu, kata Mu`ti, bukan karena perbedaan paham agama dengan pemerintah.

"Melaksanakan ibadah Idul Fitri di lapangan adalah keyakinan, bukan kegiatan politik dan makar kepada pemerintah. Pemerintah pusat, seharusnya tidak membiarkan pemerintah daerah membuat kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi dan melanggar kebebasan berkeyakinan," ujar Mu`ti.

Sebelumnya diberitakan, Pemkot Pekalongan mengatakan alasan belum bisa memberikan izin penyelenggaraan salat Id di Lapangan Mataram pada Jumat (21/4) karena pemerintah pusat belum menetapkan Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah.

Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid menyebut pihaknya masih menunggu pengumuman dari pemerintah pusat mengenai tanggal perayaan Idul Fitri 1444 Hijriah. Pemkot Pekalongan membantah telah menolak permohonan penyelenggaraan salat Idul Fitri di lapangan pada 21 April mendatang yang diajukan oleh pengurus Masjid Al-Hikmah Podosugih.

"Silakan umat Islam menjalankan salat Id di lapangan manapun, kecuali di Lapangan Mataram," kata Afzan di Pekalongan, dikutip Antara, Jumat (14/4).

Pengurus Masjid Al-Hikmah Podosugih dipersilakan menyelenggarakan salat Idul Fitri di lapangan yang lain, seperti Peturen dan Hoegeng.

Di sisi lain, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga telah mengeluarkan imbauan terkait hal itu.

Yaqut mengimbau pemerintah daerah agar mengakomodasi setiap permohonan izin penggunaan fasilitas umum di wilayah kerjanya untuk kegiatan keagamaan, termasuk untuk salat Idul Fitri.

"Saya mengimbau kepada seluruh pemimpin daerah agar dapat mengakomodasi permohonan izin fasilitas umum di wilayah kerjanya untuk penggunaan kegiatan keagamaan selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan," ujar Yaqut dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu.

Yaqut meminta masyarakat untuk saling menghormati apabila terjadi perbedaan waktu Idulfitri. Ia meminta perbedaan direspons dan disikapi dengan bijak.

"Saya mengimbau kepada seluruh umat Islam untuk menghormati perbedaan," jelas Yaqut.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar