Menteri yang Patut Diganti: Sri Mulyani, Menaker hingga Mentan
Menaker Ida Fauziyah dan Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta pada 16 September 2022 (setkab.go.id)
Jakarta, law-justice.co - Gembar-gembor reshuffle di kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kian santer. Tampaknya hanya tinggal menunggu waktu. Agenda politik yang terbalut dalam silaturahmi antar partai ketua umum partai pendukung pemerintah dengan Jokowi yang terjadi baru-baru ini bisa menjadi sinyal bahwa akan ada peralihan kekuasaan menteri.
Pengamat politik Al-Azhar, Ujang Komarudin kepada law-justice beberapa waktu lalu, mengatakan silaturahmi antar partai ketua umum pendukung pemerintah dan Jokowi tentunya ada keterkaitan dengan isu perombakan kabinet. Menurutnya, Jokowi akan mengganti menterinya berdasarkan kinerja dan faktor politis.
Dalam pandangan, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, sejumlah menteri di kabinet Jokowi sekarang memiliki kinerja yang jauh dari ekspektasi publik sehingga layak diganti.
Dalam urusan pangan, nama Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan dinilai berkinerja buruk.
Penilaian Bhima merujuk pada adanya kenaikan harga pangan, terutama beras bahkan sebelum hari besar keagamaan nasional. Lain itu, blunder pemerintah yang mengambil opsi kebijakan impor beras saat panen raya tiba.
“Ini menteri perdagangan dan pertanian keliatan gagal dalam menjaga stabilitas harga pangan, inflasi masih tinggi, kemudian beras sekarang harganya bergejolak,” ujar Bhima, dikutip dalam rilis Celios di Instagram @celios_id.
Kata Bhima, tidak tepatnya kebijakan pemerintah dalam urusan pangan ini, bakal dapat berimbas kepada kenaikan angka kemiskinan.
Menteri berikutnya yang mendapat rapor merah adalah Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah. Bhima menegaskan, Ida telah gagal menjadi menteri yang bertanggungjawab memberikan perlindungan bagi para pekerja. Hal yang paling kentara adalah saat pemerintah justru mendukung pengesahan Undang-undang Cipta Kerja, yang menjadi petaka bagi pekerja.
“Melanggengkan Perppu Cipta Kerja dimana banyak pasal yang merugikan pekerja adalah satu bentuk kegagalan menaker,” kata dia.
Lain itu, Bhima menilai ketidakberpihakan Ida kepada pekerja, juga dapat dilihat dari adanya kebijakan pemangkasan upah sebanyak 25 persen di sektor tekstil.
“Justru saat tekanan ekonomi mengkhawartikan, ada badai PHK, Bu Ida banyak mencabut perlindungan tenaga kerja. Menaker harus dievaluasi, kalau perlu diganti,” ujar Bhima.
Sosok menteri selanjutnya yang disorot buruk kinerjanya adalah Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Bagi Bhima, kredibilitas Sri menurun di mata publik karena lambat memproses investigasi dan penyelesaian runtutan kasus di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Seperti diketahui, terdapat transaksi janggal di Kemenkeu hingga Rp349 triliun yang ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) yang kemudian diungkap ke publik oleh Menteri Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md. Mahfud meyakini ada dugaan korupsi di Kemenkeu senilai Rp35 triliun dari temuan transaksi mencurigakan Rp349 triliun yang tergolong tindak pidana pencucian uang.
Dalam perkara ini, Bhima menilai justru Sri tidak dalam posisi untuk membongkar siapa saja yang terlibat. “Sri Mulyani justru terlihat ingin melindungi institusinya. Alih-alih mempercepat proses investigasi,” ujarnya.
Di luar kasus tersebut, rapor merah Sri juga dapat ditunjukkan dengan kebijakan pengelolaan utang yang buruk. Bhima menilai utang negara yang kini membengkak, salah satunya karena pemaksaan pembangunan yang terkesan politis, bukan memang untuk kepentingan rakyat.
“Pengelolaan utang terkesan sembrono, terlebih dalam proyek pembangunan ambisius seperti IKN dan kereta cepat Jakarta-Bandung. Seolah pembangunan menggantungkan diri dengan utang, padahal proyeknya secara ekonomi tidak layak,” ungkap dia.
Komentar