Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Penyelundupan Emas Rp189 Triliun: Sri Mulyani atau Dirjen yang Bohong?

Sabtu, 01/04/2023 14:20 WIB
Rapat Komisi III DPR RI dan Menko Polhukam Mahfud Md membahas transaksi janggal Rp 349 T baru dimulai, namun sudah diramaikan dengan interupsi dari anggota Komisi III DPR. Sebabnya, Menkeu Sri Mulyani tak hadir padahal sudah diundang oleh pihak Komisi III DPR.  Rapat yang juga dihadiri PPATK serta Bareskrim tersembut membahas  transaksi mencurigakan di Kemenkeu dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rp349 Triliun. Robinsar Nainggolan

Rapat Komisi III DPR RI dan Menko Polhukam Mahfud Md membahas transaksi janggal Rp 349 T baru dimulai, namun sudah diramaikan dengan interupsi dari anggota Komisi III DPR. Sebabnya, Menkeu Sri Mulyani tak hadir padahal sudah diundang oleh pihak Komisi III DPR. Rapat yang juga dihadiri PPATK serta Bareskrim tersembut membahas transaksi mencurigakan di Kemenkeu dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rp349 Triliun. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, bersama Menko Polhukam yang sekaligus Ketua Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Mahfud MD, memberikan penjelasan sangat baik di hadapan Komisi III DPR.

Mahfud memenuhi janjinya, membuka data agregat dugaan pencucian uang di kementerian keuangan sejelas-jelasnya, meskipun terlihat banyak rintangan yang dihadapi, termasuk dari beberapa anggota DPR yang terkesan menebar ancaman pidana dengan alasan membuka informasi rahasia.

Penjelasan Mahfud sangat mencerahkan, yet konfirmasi dugaan pencucian uang di lingkungan Kementerian Keuangan, sebesar Rp 349 triliun. Dari penjelasan ini banyak hal yang dapat dibedah dan diungkap lebih dalam lagi.


Salah satu topik yang sangat penting dan wajib diusut tuntas adalah terkait dugaan pencucian uang oleh perusahaan impor, tepatnya penyelundup emas senilai Rp 189 triliun. Laporan ini sudah diserahkan secara langsung, by hand, kepada pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada 2020.

Kepala PPATK juga menjelaskan, dugaan pencucian uang dengan modus yang sama, penyelundupan impor emas senilai Rp 180 triliun, juga sudah dilaporkan pada 2017, secara langsung kepada pejabat Bea Cukai.

Kedua perusahaan penyelundup tersebut diduga terafiliasi dengan pemilik yang sama.


Untuk kasus ini, Sri Mulyani mengaku tidak menerima laporan tersebut, baik yang 2017 maupun 2020. Setelah diserahkan bukti tanda terima, pejabat eselon satu Kementerian Keuangan tersebut akhirnya mengakui menerima laporan tersebut.

Tetapi, kasusnya kemudian “dikecilkan” atau “dikorupsi”, menjadi kasus pajak, padahal ini merupakan kasus bea cukai terkait penyelundupan.

Menurut Mahfud, Sri Mulyani tidak mempunyai akses terhadap laporan PPATK yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak maupun Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Artinya, Sri Mulyani tidak bisa mengendalikan anak buahnya di Kementerian Keuangan!

Sungguh bahaya! Bukankah Kementerian Keuangan merupakan yang terbaik dalam melakukan reformasi birokrasi?

Maka itu, yang menjadi pertanyaan penting adalah, apakah benar Sri Mulyani tidak mempunyai akses terhadap anak buahnya?

Atau anak buahnya siap menjadi penyangga, siap berkorban?

Total dugaan pencucian uang ini mencapai Rp 369 triliun, tidak bisa diabaikan. Mahfud wajib mengawal agar kasus penyelundupan ini dapat diusut tuntas.

Terbukti, Kementerian Keuangan tidak bisa diandalkan untuk menyidik kasus ini, karena adanya benturan kepentingan.

Karena penyelundupan ini kemungkinan besar melibatkan orang dalam Bea dan cukai, sehingga tidak mungkin minta mereka melakukan penyidikan.

Mahfud wajib bongkar tuntas kasus ini, dan minta penyidik dari luar Kementerian Keuangan untuk menangani kasus ini, dikawal masyarakat, memberikan status penyidikan kepada masyarakat secara berkala.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar