Dijadikan Penipu Online, Nasib 20 WNI ini Disekap di Myanmar

Jum'at, 31/03/2023 15:00 WIB
Ilustrasi Human Traficking (foto: gozoe.org)

Ilustrasi Human Traficking (foto: gozoe.org)

Jakarta, law-justice.co - Puluhan warga negara Indonesia (WNI) diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Myanmar. Mereka diduga dipekerjakan perusahaan online scam untuk menjadi penipu online.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan menerima laporan bahwa ada 20 WNI yang menjadi korban perdagangan orang tersebut. “Dua puluh korban ditipu dengan diberangkatkan secara unprosedural ke Myanmar,” kata Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, dikutip dari Tempo, Jumat (31/3/2023)

Hariyanto mengatakan Tim Advokasi Dewan Pimpinan Nasional SBMI bersama keluarga telah melaporkan kasus ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pada Jumat, 31 Maret 2023. Dia mengatakan dua puluh korban itu diberangkatkan secara unprosedural ke Myanmar melalui jalur air dari Bangkok, Thailand.

Menurut dia, puluhan korban itu kemudian dijemput oleh dua orang di perbatasan Myanmar. Mereka dikawal dua orang bersenjata dan berseragam militer. Menurut Hariyanto, awalnya para korban diiming-imingi pihak perekrut untuk dipekerjakan sebagai operator komputer di salah satu perusahaan bursa saham di Thailand dengan gaji hingga Rp 10 juta per bulan dan jam kerja 12 jam. “Mereka dijanjikan mendapatkan makan sebanyak 4 kali sehari, serta mendapatkan fasilitas tempat tinggal secara gratis,” kata dia.

Namun, Hariyanto mengatakan faktanya para korban justru dipaksa bekerja sebagai penipu online. Dia mengatakan mereka bekerja dari jam 8 malam hingga 1 jam siang untuk mencari sasaran korban penipuan. Pencarian sasaran itu, kata dia, dilakukan melalui website atau aplikasi kripto.

Selain dipaksa menjadi penipu online, Hariyanto menceritakan para korban juga mengalami penyiksaan. Dia mengatakan apabila korban tidak memenuhi target, mereka dihukum untuk melakukan push up 50 sampai 200 kali, lari 5 sampai 20 kali lapangan, hingga hukuman pemukulan dan disetrum. “Para korban tidak digaji bahkan harus menombok untuk membayar denda yang ditetapkan oleh perusahaan,” kata dia.

Hariyanto melanjutkan para korban juga disekap dan dijaga ketat oleh orang-orang bersenjata dan berseragam militer di area perusahaan. Ponsel mereka, kata dia, disita oleh pihak perusahaan dengan tujuan pembatasan akses. Para korban sudah meminta perusahaan untuk membebaskannya. Akan tetapi, perusahaan meminta korban membayar denda 75 ribu Yuan Cina sehingga para korban terpaksa tetap bekerja.

Menurut analisis SBMI, kasus ini sudah memenuhi tiga unsur kasus perdagangan orang dilihat dari proses, cara, dan tujuan untuk dieksploitasi yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dia mendesak agar Komnas HAM untuk memberikan rekomendasi agar pemerintah Indonesia berkoordinasi dengan negara asal untuk memulangkan para korban tersebut.

“Hal ini sesuai dengan konsensus Asean dalam Deklarasi Cebu bahwa negara asal dan tujuan harus bekerja sama dan berkoordinasi untuk memberi bantuan korban TPPO dan pekerja migran yang terjebak dalam situasi konflik,” kata dia.

 

(Kiki Agung\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar