Terungkap Asal Beda Data PPATK dan Kemenkeu soal Dana Ghaib

Kamis, 30/03/2023 16:40 WIB
Rapat Komisi III DPR RI dan Menko Polhukam Mahfud Md membahas transaksi janggal Rp 349 T baru dimulai, namun sudah diramaikan dengan interupsi dari anggota Komisi III DPR. Sebabnya, Menkeu Sri Mulyani tak hadir padahal sudah diundang oleh pihak Komisi III DPR.  Rapat yang juga dihadiri PPATK serta Bareskrim tersembut membahas  transaksi mencurigakan di Kemenkeu dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rp349 Triliun. Robinsar Nainggolan

Rapat Komisi III DPR RI dan Menko Polhukam Mahfud Md membahas transaksi janggal Rp 349 T baru dimulai, namun sudah diramaikan dengan interupsi dari anggota Komisi III DPR. Sebabnya, Menkeu Sri Mulyani tak hadir padahal sudah diundang oleh pihak Komisi III DPR. Rapat yang juga dihadiri PPATK serta Bareskrim tersembut membahas transaksi mencurigakan di Kemenkeu dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rp349 Triliun. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Kontroversi transaksi mencurigakan Rp 349 triliun oleh pegawai Kementerian Keuangan berdasar paparan Menko Polhukam Mahfud MD dan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) masih terus berlanjut.


Rabu (29/3/2023) kemarin, Komisi III DPR sudah mencecar Menko Polhukam Mahfud MD ihwal temuan ratusan triliun transaksi mencurigakan tersebut.

Hal itu dikarenakan ada beberapa penjelasan Mahfud yang dinilai tak senada dengan Sri Mulyani.


Melansir Tribunnews.com, Menko Polhukam RI selaku Ketua Komite TPPU Mahfud MD menegaskan tidak ada perbedaan data antara PPATK dengan Kementerian Keuangan terkait transkasi mecurigakan senilai Rp349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan.


Namun demikian Mahfud MD mengatakan ada perbedaan penafsiran yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terhadap data yang dikeluarkan PPATK tersebut.


Perbedaan tersebut, kata Mahfud, karena Sri Mulyani melihat data transaksi keuangan mencurigakan tersebut secara parsial dan hanya menyoroti transaksi di lingkungan pegawai Kemenkeu.

Padahal, kata dia, perputaran uang dalam kasus dugaan TPPU juga melibatkan pihak luar yang terkait.

"Yang saya katakan tadi, kalau kita semua melakukan pencucian uang, sampai kayak apel kayak begitu, lalu diambil satu oleh Bu Sri Mulyani, oh ini pajak. Lalu karena, lho kok perusahaanmu banyak sekali, lalu pajaknya yang dihitung, bukan pencucian uangnya," kata Mahfud.

"Tidak ada data yang berbeda. Siapa, kok datanya berbeda, tidak ada data yang berbeda. Menafsirkannya yang berbeda. Nanti lihat saja di sana. Penafsiran pada satu rangkaian itu," sambung dia.

Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan kemudian meminta penjelasan lebih lanjut terkait perbedaan data tersebut kepada Mahfud.

Mahfud pun menunjukan data rekapitulasi dari 300 surat Laporan Hasil Analisis (LHA) transaksi keuangan yang telah disampaikan PPATK.

"Datanya yang ini, karena kami yang mengeluarkan. Nanti Saudara boleh ambil ini. Tidak mungkin beda dari ini, kalau beda dari ini palsu. Pasti palsu kalau beda dari ini. Karena ini kami sudah mengeluarkan tanggal sekian tahun 2009 sampai yang terakhir itu," kata dia.

Mahfud kemudian menjelaskan dalam rekap tersebut hanya tercantum nomor surat.

Dokumen tersebut, kata Mahfud, di antaranya tersimpan di kantornya.

"Dokumennya ada di kantor Menko ada di kantor saya ada. Terus bagaimana kita (pemerintah) kok selalu dibenturkan dari seluruh pertanyaan. Tidak ada," kata Mahfud.

Diberitakan sebelumnya, Menkopolhukam RI Mahfud MD meluruskan pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani terkait dugaan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp349 triliun.

"Kemarin Ibu Sri Mulyani di komisi 11 (DPR RI) menyebut hanya 3 triliun, yang benar 35 triliun," ungkap dia saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).


Mahfud menyebutkan transaksi keuangan mencurigakan itu dibagi menjadi 3 kelompok.

"Transaksi keuangan yang 349 triliun itu dibagi ketiga kelompok," ujar Mahfud .


Pertama, transaksi keuangan mencurigakan di pegawai kementerian keuangan, dimana angkanya mencapai 35 triliun.

Kemudian transaksi keuangan yang diduga melibatkan pegawai Kementeri keuangan dan pihak lainnya, besar 53 triliun plus sekian.

Kelompok ketiga, transaksi keuangan terkait kewenangan keuangan sebagai penyidik tindak pidana TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu sebesar 260,1 triliun.

"Sehingga jumlahnya 349 triliun fix. Nanti kita tunjukkan suratnya," ucap Mahfud.

Sementara itu pada RDP diawal pekan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah temuan transaksi mencurigakan senilai total Rp 349 triliun seluruhnya terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan.

Menurut SMI, dari total Rp 349 triliun temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hanya ada Rp 3,3 triliun melibatkan pegawai Kemenkeu.

"Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu Rp 3,3 triliun. Ini 2009-2023, 15 tahun," kata Sri Mulyani saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/3/2023).

DPR akan Gelar Rapat Bareng Mahfud MD dan Sri Mulyani

Komisi III DPR akan kembali menggelar rapat dengar pendapat dengan Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengatakan rapat itu nantinya akan dihadiri

Menkopolhukam Mahfud MD selaku Ketua Komite TPPU dan anggotanya yang juga Menkeu Sri Mulyani.

Selain keduanya, Sahroni menyebut rapat tersebut nantinya akan mengundang Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana.

"Nanti setelah temuan apa yang sudah dikonfrontasi bersama dan ada tindak pidana pencucian uang, maka kita akan merekomendasikan ke aparat penegak hukum dari tiga institusi, ada kepolisian, ada Kejaksaan, ada KPK," kata Sahroni di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).

Menurut Sahroni, sejauh ini belum ada temuan tindak pidana terkait TPPU tersebut.

Sebab belum terungkap soal awal mula tindak pidananya.

 

 

 

(Kiki Agung\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar