UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja Sarat Kepentingan Pebisnis Tambang Perusak Lingkungan

Aktivis, Kerusakan Hutan di Dompu NTB, Capai Puluhan Ribu Hektare (foto: dompubicara.com)
Jakarta, law-justice.co - Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi sebuah undang-undang (UU) oleh DPR pada Selasa (21/3/2023), dinilai sarat kepentingan elite oligark yang bermain dalam bisnis sektor energi dan pertambangan. Pengesahan UU Cipta Kerja ini tidak lebih sebagai upaya memperparah kerusakan lingkungan.
Juru Bicara Kampanye Trend Asia Novita Indri, menuturkan, pemerintah mengklaim terbitnya Perppu Cipta Kerja sebagai upaya menyelamatkan ekonomi, krisis iklim dan krisis pangan yang terjadi. Namun, alih-alih demikian, justru isi dari pasal-pasal di produk hukum tersebut kental kepentingan pebisnis perusak lingkungan. Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU kian memperlihatkan bahwa transisi energi yang berulang kali digembar-gemborkan para penyelenggara negara hanya isapan jempol belaka.
Pasal yang dimaksud Novita termaktub dalam pasal 128 A. Dalam pasal tersebut disebutkan soal royalti 0% kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang melakukan pengembangan dan pemanfaatan batubara. Pasal ini disisipkan di antara pasal 128 dan pasal 129 dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menurut dia, berarti, Royalti 0% ini akan dinikmati bila perusahaan besar batubara melakukan proyek peningkatan “nilai tambah” semu melalui kegiatan hilirisasi seperti gasifikasi batubara. Proyek ini lantas hanya ditujukan untuk kepentingan pebisnis dan sebaliknya berdampak buruk bagi lingkungan.
“Padahal hilirisasi seperti gasifikasi batubara berpotensi akan menjadi proyek yang merugikan keuangan negara. Selain itu, penggunaan batubara juga akan memperparah dampak krisis iklim di Indonesia karena proyek pembuatan DME dengan kapasitas sebesar 1,4 juta ton per tahun dengan kebutuhan 6 juta ton batubara akan menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 4,26 juta ton CO2-eq/tahun,” ujar Novita dalam keterangan tertulisnya, dikutip Sabtu (25/3/2023).
Yang ada, lanjut Novita, pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU merupakan cara pemerintah memberikan subsidi paling baru bagi industri batubara. Hal ini menambah deretan keistimewaan bagi industri energi kotor yang pada kenyataannya memperparah kerusakan serta bencana bagi lingkungan dan manusia.
“Akal-akalan ini hanya akan mengunci Indonesia dalam laju kenaikan emisi yang dapat memperparah krisis iklim yang artinya bertolak belakang dengan alasan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja dan juga akan menjadi batu sandungan upaya transisi energi,” ucap Novita.
Sementara itu, Tim Advokasi Trend Asia, Adhitiya Augusta, mengungkap Pasal 110 A sebagai beleid hukum lain dalam UU Cipta Kerja yang melanggengkan kerusakan lingkungan. Pebisnis sektor tambang dan energi dipermudah dalam urusan izin lahan berkat aturan tersebut.
“Keberadaan Pasal 110 A dalam UU Cipta Kerja lagi-lagi memberi karpet merah kepada pengusaha sektor energi yang berniat mengalihfungsikan hutan lindung menjadi hutan tanaman energi yang digunakan sebagai bahan “oplosan” batubara dalam menciptakan energi listrik di PLTU sebagai biomassa (pelet kayu). Potensi pengalihan fungsi dan luas hutan lindung ini semakin memperparah krisis iklim dan menghambat proses transisi energi yang bersih serta berkelanjutan,” ujar Adhitiya.
“Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang menjadi contoh bahwa gejala legalisme otokratis sedang menjangkit rezim pemerintahan Jokowi-Ma’ruf saat ini, dan kepentingan elite oligarki sangatlah besar dalam mempengaruhi tatanan hukum negeri ini,” tambah Adhitiya.
Komentar