Pusat Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU, Badan Keahlian DPR RI

Analisis Kajian & Evaluasi Pelaksanaan UU 16/2011 Soal Bantuan Hukum

Sabtu, 25/03/2023 06:47 WIB
Ilustrasi Lembaga Bantuan Hukum (UMA Medan)

Ilustrasi Lembaga Bantuan Hukum (UMA Medan)

Jakarta, law-justice.co - Salah satu pemenuhan hak asasi manusia di hadapan hukum adalah hak atas Bantuan Hukum. Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) atau ICCPR.

Pada Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat.

Selama ini pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka.

Sehingga dianggap penting oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bankum) yang diharapkan lebih memberikan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau orang kelompok miskin.

Dalam dinamikanya, tujuan dari penyelenggaraan UU Bankum yaitu menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;

Lalu menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 UU Bankum yang dirasa belum sepenuhnya terwujud, karena masih terdapat potensi disharmoni UU Bankum dengan undang-undang terkait lainnya, masih belum meratanya akses Penerima Bantuan Hukum, serta masih terdapat keterbatasan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum.

Hasil Kajian dan Analisis:

1. Aspek Substansi Hukum

a. Perbedaan Pengaturan Penyelenggaraan Bantuan Hukum antara UU Bankum dengan KUHAP dan UU Advokat
Penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam UU Bankum memiliki perbedaan pengaturan dengan KUHAP dan UU Advokat, yaitu sebagai berikut:
1) Pasal 56 ayat (1) KUHAP memberikan batasan ancaman pidana bagi masyarakat miskin yang dapat diberikan Bantuan Hukum yaitu hanya yang dikenai ancaman pidana lebih dari 5 (lima) tahun, sedangkan Pasal 1, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Bankum menyatakan bahwa Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang diukur dari dapat/tidaknya seseorang memenuhi hak dasar (meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan) secara layak dan mandiri.

2) Pasal 1 angka 2 dan angka 8 UU Advokat memberikan konsep pemberian Bantuan Hukum cuma-cuma oleh advokat dengan bentuk Pro Bono sebagai kewajiban yang melekat pada individu advokat sebagai wujud sumbangsih dari keprofesiannya kepada negara dan oleh karenanya Pro Bono tidak diberikan honorarium dari si pencari keadilan maupun dari negara.

Hal ini berbeda dengan pemberian Bantuan Hukum (legal aid) diselenggarakan oleh Pemerintah dan dilaksanakan oleh OBH terakreditasi untuk memberikan Bantuan Hukum kepada orang atau kelompok orang miskin dengan didanai oleh anggaran negara (APBN, hibah, dan sumber lain yang sah) yang diatur dalam UU Bankum.

Perbedaan pengaturan ini berpotensi menimbulkan perbedaan pemahaman masyarakat, OBH, praktisi hukum, advokat, dan aparat penegak hukum dalam melaksanakan pemberian Bantuan Hukum kepada masyarakat miskin/masyarakat tidak mampu. Perbedaan pemahaman ini yang seringkali menimbulkan multiinterpretasi dalam implementasinya.

b. Tidak Adanya Definisi Frasa “Jasa Hukum” dalam UU Bantuan Hukum
Frasa “jasa hukum” dalam Pasal 1 angka 1 UU Bankum tidak disertai penjelasan ruang lingkup maupun bentuknya, serta dalam batang tubuh UU Bankum juga tidak terdapat pengertian mengenai jasa hukum.

Hal ini pada akhirnya mengakibatkan ketidakjelasan dan melahirkan potensi multitafsir antara yang dimaknai oleh Pemberi Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, maupun Penyelenggara Bantuan Hukum, khususnya ketika dikaitkan dengan penggunaan kata “cuma-cuma”. Timbulnya multitafsir terhadap pemaknaan sebuah norma tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan pada akhirnya akan menghambat tujuan yang hendak dicapai oleh UU Bankum.

Oleh karena itu, perlu adanya pemberian batasan pengertian atau membuat definisi secara khusus terhadap frasa “jasa hukum” dalam bagian Ketentuan Umum dalam UU Bankum guna memperjelas frasa tersebut dan menghindari adanya multitafsir dalam implementasinya

c. Definisi Penerima Bantuan Hukum yang Dimaknai Multitafsir dalam Implementasinya
Meskipun ketentuan Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 5 UU Bankum hanya mengatur Bantuan Hukum untuk orang atau kelompok orang miskin, namun dalam implementasinya masih terdapat permasalahan berupa adanya multitafsir dalam pemaknaan definisi Penerima Bantuan Hukum.

Terdapat dualisme pandangan terkait Penerima Bantuan Hukum pada UU Bankum sebagai berikut:
1) Bantuan Hukum hanya diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum kategori orang atau kelompok orang miskin sebagaimana telah diatur UU Bankum;
2) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum kategori kelompok rentan (selain orang atau kelompok orang miskin).

Setidaknya terdapat 2 (dua) alasan mendasari terjadinya multitafsir dan dualisme pandangan tersebut. Pertama, frasa “Bantuan Hukum” pada UU Bankum beririsan dengan frasa “Bantuan Hukum” yang diberikan ke Penerima Bantuan Hukum selain orang atau kelompok orang miskin pada undang-undang terkait lainnya; Kedua, terdapat kebutuhan pemberian Bantuan Hukum terhadap kelompok rentan lainnya berdasarkan kendala implementasi di lapangan.

Dalam implementasinya terdapat orang yang tidak termasuk kategori miskin sebagaimana diatur Pasal 5 UU Bankum, namun secara finansial tidak mampu membayar jasa advokat sehingga perlu ada perluasan untuk mengakomodir hal tersebut. Terdapat potensi timbulnya kerancuan terkait penetapan definisi dari golongan miskin tersebut, belum jelasnya batasan parameter kategori miskin yang ditetapkan UU Bankum beserta peraturan turunannya, serta pernyataan status miskin yang disahkan hanya melalui surat pernyataan miskin

2. Aspek Struktur Hukum

Dari 619 (enam ratus sembilan belas) Pemberi Bantuan Hukum di 34 (tiga puluh empat) provinsi di Indonesia, masih terdapat disparitas jumlah OBH di Indonesia dengan pemerataan persebarannya. Terdapat 279 (dua ratus tujuh puluh sembilan) kabupaten/kota dari 514 (lima ratus empat belas) kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang memiliki Pemberi Bantuan Hukum.

Hal tersebut berarti bahwa masih terdapat 235 (dua ratus tiga puluh lima) kabupaten/kota yang belum memiliki Pemberi Bantuan Hukum. Persebaran OBH yang belum merata menyebabkan penerapan UU Bankum menjadi tidak efektif dan efisien.

3. Aspek Pendanaan

a. Belum Memadainya Alokasi APBN dan APBD dalam Penyelenggaraan Bantuan Hukum

Pasal 16 UU Bankum mengamanatkan bahwa Pendanaan Bantuan Hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum sesuai dengan Undang-Undang Bankum dibebankan kepada APBN. Pemerintah melalui Kemenkumham wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum tersebut.

Dalam implementasinya, pendanaan Bantuan Hukum masih terkendala dengan belum optimalnya alokasi APBN untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum. Alokasi APBN dalam standar pembiayaan Bantuan Hukum secara nasional khususnya terhadap perkara litigasi dianggap belum memadai serta belum sesuai kondisi riil dan dinamika perkembangan masyarakat.

Pendanaan Bantuan Hukum masih belum memadai karena terdapat penyamarataan penganggaran pelaksanaan kegiatan Bantuan Hukum tanpa memperhatikan kondisi geografis, kondisi sosial Penerima Bantuan Hukum, jenis kasus, dan kebutuhan Penerima Bantuan Hukum. Belum optimalnya alokasi pendanaan pada APBN tersebut berimplikasi pada tidak terpenuhinya seluruh komponen pembiayaan dalam pemberian Bantuan Hukum dan berdampak pada kualitas Bantuan Hukum yang diberikan.

Pemanfaatan APBD sebagai upaya menyokong APBN dalam menyelenggarakan Bantuan Hukum juga masih belum optimal. Masih banyak provinsi dan kabupaten/kota dengan kemampuan APBD besar namun belum menerbitkan perda Bankum.

Selain itu banyak Pemerintah Daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang telah menetapkan perda Bankum namun tidak diikuti dengan alokasi anggaran APBDnya sehingga penyelenggaraan bankum di daerahnya tidak dapat berjalan. Pembiayaan ganda (double reimbursement) oleh OBH juga seringkali terjadi disebabkan belum terintegrasinya data OBH yang ada antara data di pusat dan di daerah

b. Potensi Double Reimbursement karena Adanya Pos Anggaran Penyelenggaraan Bantuan Hukum Di Beberapa K/L dan Pemerintahan Daerah
Dalam penyelenggaraan Bantuan Hukum, Pemerintah melalui Kemenkumham menggunakan skema pembiayaan dengan sistem reimbursement terhadap Organisasi Bantuan Hukum yang sudah terverifikasi dan terakreditasi.

Pada praktiknya, ditemukan sebuah permasalahan dalam pelaksanaan sistem reimbursement atau penggantian biaya pendahuluan yakni adanya potensi double reimbursement yang disebabkan adanya pos anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum di beberapa K/L dan Pemerintahan Daerah. Praktik double reimbursement telah ditemukan di suatu daerah, terutama praktik ini kerap terjadi pada daerah yang memiliki perda Bantuan Hukum dan Pemerintah Daerahnya menganggarkan kegiatan Bantuan Hukum dari APBD.

Sumber pendanaan yang datang dari beberapa pintu tersebut menyebabkan adanya OBH yang memanfaatkan situasi tersebut dengan mengajukan reimbursement kepada Kanwil Kemenkumham di wilayahnya melalui SIDBAKUM dan bersamaan dengan itu OBH tersebut juga mengajukan reimbursement kepada Pemda setempat.

4. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Permasalahan Penerbitan SKTM

Pengurusan surat keterangan miskin atau SKTM merupakan syarat utama bagi calon Penerima Bantuan Hukum. Untuk mendapatkan surat keterangan miskin atau SKTM, calon Penerima Bantuan Hukum harus melalui tahapan proses/alur yang cukup rumit dan memerlukan waktu dalam pengurusannya. Hal ini menjadi kendala pada saat calon Penerima Bantuan Hukum belum memiliki domisili, tidak memiliki tempat tinggal, tidak mempunyai keluarga, dan sedang dalam status sebagai tahanan.

Selain itu, belum adanya pemahaman yang sama menurut pihak-pihak yang mempunyai kewenangan menerbitkan surat keterangan miskin terkait parameter atau kriteria orang miskin seringkali juga menyebabkan penyalahgunaan SKTM yang tidak tepat sasaran.

b. Kendala Pelaksanaan VERASI
Keberadaan OBH sebagai sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan Bantuan Hukum harus memenuhi berbagai macam persyaratan serta prosedur untuk memenuhi kelayakan sebagai Pemberi Bantuan Hukum melalui VERASI sebagaimana diatur melalui Pasal 7 UU Bankum.

Dalam pelaksanaan VERASI terdapat beberapa kendala, antara lain pertama, keterbatasan jarak, akses, dan jaringan pada saat proses pelaksanaan pemeriksaan faktual VERASI. Kedua, implementasi pemenuhan persyaratan minimal 10 (sepuluh) kasus tersebut menjadi hambatan bagi sebagian OBH yang tidak banyak menangani kasus.

Ketiga, terdapat 2 (dua) pandangan mengenai jangka waktu pelaksanaan VERASI, yaitu pelaksanaan VERASI sebaiknya dilaksanakan setiap tahun dan pelaksanaan VERASI tetap dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun. Ketiga kendala tersebut menjadi hambatan pelaksanaan VERASI sebagai sarana dan prasarana penyelenggaraan Bantuan Hukum.

5. Aspek Budaya Hukum
Belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Bantuan Hukum disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat miskin terhadap pelaksanaan Bantuan Hukum yang diatur dalam UU Bankum. Penyebab kurangnya pemahaman masyarakat tersebut disebabkan karena masih rendahnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemangku kepentingan.

Kurangnya sosialisasi ini disebabkan karena sulitnya menjangkau daerah yang memiliki kondisi geografis tertentu dan alokasi anggaran sosialisasi yang masih minim. Selain itu, peran sosialisasi Pemerintah Daerah juga belum optimal karena belum seluruh daerah menerbitkan perda Bantuan Hukum.

6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa pengaturan dalam UU Bankum yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sila kedua dan sila kelima Pancasila, antara lain yaitu: pengaturan batasan Penerima Bantuan Hukum yang belum mengakomodir kelompok masyakat rentan tidak sesuai dengan sila kedua Pancasila; pengaturan lingkup jasa hukum secara cuma-cuma belum termasuk biaya operasional pengurusan perkara yang tidak sesuai dengan sila kelima Pancasila; pengaturan lingkup Bantuan Hukum yang belum mengakomodir perkara-perkara uji materiil di MK dan di MA serta perkara hukum sektor lainnya tidak sesuai dengan sila kelima Pancasila;

Juga pengaturan ketidakharusan daerah dalam mengalokasikan APBDnya untuk menyelenggarakan Bantuan Hukum di daerah belum sesuai dengan sila kelima Pancasila; pengaturan pelaksanaan sosialisasi sebagai pemenuhan pemberian informasi penyelenggaraan Bantuan Hukum cuma-cuma yang berasal dari Pemerintah tidak sesuai dengan sila kelima Pancasila; dan pengaturan jangka waktu pelaksanaan VERASI setiap 3 (tiga) tahun sekali yang memberikan disparitas jumlah sebaran OBH yang terakreditasi belum sesuai dengan sila kelima Pancasila.

Rekomendasi:

1. Aspek Substansi Hukum

a. Sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan subjek Penerima Bantuan Hukum yang diatur dalam Pasal 1, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Bankum dan Pasal 56 ayat (1) KUHAP terkait dengan batasan ancaman pidana yang dikenakan.
b. Sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan pemberian Bantuan Hukum yang diatur dalam Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5 jo. Pasal 16 dan Pasal 17 UU Bankum dengan pelaksanaan Pro Bono sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 8 UU Advokat.
c. Penerapan asas lex specialis terhadap penyelenggaraan Bantuan Hukum berdasarkan UU Bankum sehingga pelaksanaan Bantuan Hukum yang diatur berbeda dalam Undang-Undang lainnya tetap berlaku berdasarkan Undang-Undang sektoral yang mengaturnya dan tidak menimbulkan multiinterpretasi.
d. Pemberian batasan pengertian atau definisi secara khusus terhadap frasa “jasa hukum” dalam bagian Ketentuan Umum UU Bankum guna memperjelas frasa tersebut dan menghindari adanya multitafsir dalam
implementasinya.
e. Perumusan yang lebih jelas terkait definisi Penerima Bantuan Hukum. Apabila ke depan UU Bankum tetap masih berfokus pada semangatnya memberi Bantuan bagi orang atau kelompok orang miskin, maka perlu dimunculkan secara tegas dari judul undang-undang dan frasa Bantuan Hukum orang miskin. Sedangkan, apabila ke depan dilakukan perluasan Penerima Bantuan Hukum bagi kelompok rentan lainnya, maka hal tersebut akan lebih selaras dengan undang-undang lain yang juga mengakomodir wajibnya kelompok rentan diberikan Bantuan Hukum secara cuma-cuma serta adanya fakta implementasi terkait kebutuhan perluasan Penerima Bantuan Hukum.

2. Aspek Struktur Hukum

a. Melakukan pengaturan formasi Pemberi Bantuan Hukum dalam setiap kabupaten/kota sebagai batas jumlah Penerima Bantuan Hukum ketika pendaftaran VERASI;
b. Kerjasama BPHN Kemenkumham dengan OBH berkaitan dengan pemberian database keanggotaan advokat di Indonesia;
c. Evaluasi pelaksanaan VERASI yang memudahkan OBH daerah dalam memenuhi persyaratan dengan memperhatikan situasi khusus kedaerahan tanpa menurunkan kualitas substansi Bantuan Hukum itu sendiri. Misalnya mempertimbangkan kembali persyaratan kewajiban OBH memiliki kantor sekretariat.
d. Pemanfaatan sumber daya lainnya, seperti paralegal.

3. Aspek Pendanaan
a. Peningkatan alokasi APBN dengan memperhatikan kondisi permasalahan di lapangan.
b. Sinergitas pembiayaan Bantuan Hukum Pemerintah dengan Pro Bono advokat; dan layanan hukum skema Perma 1/2014 berkaitan dengan pedoman pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di pengadilan.
c. Optimalisasi pemanfaatan APBD didukung dengan komitmen setiap daerah.
d. Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemenkumham perlu mendorong Pemerintah Daerah yang kemampuan APBDnya cukup besar untuk segera menerbitkan perda penyelenggaraan Bantuan Hukum dan kepada daerah yang telah menerbitkan perda Bantuan Hukum untuk segera menganggarkan APBDnya.
e. Optimalisasi pemanfaatan hibah dan sumbangan.
f. Penguatan dalam aspek pengawasan atau monitoring yang disertai sinergitas antara K/L terkait yang memiliki kewenangan dalam penganggaran Bantuan Hukum guna menghindari potensi double reimbursement.
g. Replikasi Aplikasi SIDBANKUMDA milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar dapat dimiliki oleh pemerintah daerah lainnya yang dalam hal ini telah memiliki Perda Bantuan Hukum dan menganggarkan kegiatan Bantuan Hukum dari APBD.
h. Integrasi data secara berkala terhadap aplikasi SIDBANKUM dan SIDBANKUMDA guna menghindari potensi double reimbursement.

4. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Sosialisasi terhadap syarat dan proses penerbitan surat keterangan miskin dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan penerbitan surat keterangan miskin atau SKTM.
b. Peningkatan pengawasan dalam penerbitan SKTM.
c. Optimalisasi sinergi tim verifikator untuk memastikan pemeriksaan faktual OBH di daerah yang memiliki kendala geografis tertentu tetap dilaksanakan dengan memanfaatkan akademisi dan/atau tokoh masyarakat sebagai salah satu unsur Panitia VERASI di daerah, serta memanfaatkan perlibatan OPD khususnya bagi daerah yang telah memiliki Perda Bantuan Hukum.
d. Melakukan penyesuaian persyaratan minimal jumlah kasus OBH dengan kondisi jumlah perkara di daerah.
e. Evaluasi jangka waktu VERASI didukung Cost and Benefit Analysis yang hasilnya dimanfaatkan untuk bahan pengambilan kebijakan dalam menentukan jangka waktu VERASI yang tepat.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Peningkatan sosialisasi terkait aplikasi LSC khususnya bagi masyarakat miskin yang memiliki keterbatasan dalam mengakses aplikasi tersebut.
b. Penambahan Posyankumhamdes di seluruh desa agar dapat menjangkau keberadaan masyarakat miskin di pedesaan.
c. Peningkatan dukungan anggaran sosialisasi agar dapat menjangkau masyarakat di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
d. Peningkatan kerjasama OBH dan akademisi untuk menumbuhkembangkan kesadaran mahasiswa fakultas hukum mengambil peran dalam pelaksanaan Bantuan Hukum.

6. Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
a. Harmonisasi dan sinkronisasi nomenklatur Penerima Bantuan Hukum yang mampu mengakomodir kelompok/masyarakat rentan.
b. Penegasan nomenklatur dan ruang lingkup “Jasa Hukum” yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang sesuai dengan perkembangan dinamika hukum di Indonesia termasuk perihal aktifitas aktifitas yang sifatnya operasional.
c. Penambahan ruang lingkup perkara uji materiil di MK dan di MA, perkara hukum di bidang perburuhan, perkara hukum di bidang lingkungan, dan perkara hukum di bidang lainnya sehingga penyelenggaraan bantuan hukum bersifat holistik.
d. Perumusan formulasi terkait bentuk-bentuk penyelenggaraan bantuan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah agar tidak terjadi conflict of interest antara pusat-daerah.
e. Peningkatan sosialisasi guna terpenuhinya aksesibilitas terhadap informasi Bantuan Hukum.
f. Perumusan formulasi yang tepat terhadap pola VERASI yang tepat sesuai dengan kebijakan anggaran.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar