Ketika Warga Ketakutan Pelaku Pelecehan Seksual Bebas dari Bui (1)

Jum'at, 24/03/2023 18:20 WIB
Emon, predator seksual anak bebas dari bui usai 17 tahun mendekam di penjara Cirebon, Jawa Barat (Tarungnews)

Emon, predator seksual anak bebas dari bui usai 17 tahun mendekam di penjara Cirebon, Jawa Barat (Tarungnews)

Jakarta, law-justice.co - Sebagian warga di wilayah Lio Santa, Kecamatan Baros, Kota Sukabumi, Jawa Barat, mengaku khawatir dengan kembalinya mantan pelaku pencabulan anak, Andri Sobari alias Emon, usai mendekam di penjara selama sembilan tahun.

Mereka takut dia akan mengulangi perbuatannya di masa mendatang.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memahami kegusaran tersebut, namun lembaga ini minta agar masyarakat tetap memantau anak-anak mereka.

Meskipun menurut tenaga psikolog di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Sukabumi, "peluang dia kembali melakukan pencabulan kecil lantaran sudah ada perubahan perilaku".

Adapun Balai Pemasyarakatan (Bapas) mengharuskan Andri wajib lapor selama lima tahun ke depan.


Andri Sobari alias Emon, mantan pelaku pencabulan terhadap setidaknya 120 anak di Kota Sukabumi, Jawa Barat, pada 2014 silam, telah dinyatakan bebas bersyarat dari Lapas Kelas I Cirebon pada 27 Februari lalu.

Karena status bebas bersyarat, Andri harus menjalani wajib lapor ke Lapas Nyomplong Sukabumi tiap dua pekan sekali sampai tahun 2028.

Pasalnya dia masih dalam pengawasan Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan Kejaksaan.

Di wilayah Lio Santa, Kecamatan Baros, Andri kini tinggal bersama ibu, adik, dan keponakannya.

Warga cemas kembalinya Andri Sobari alias Emon
Akan tetapi bebasnya pria 33 tahun tersebut membuat sejumlah warga di sekitar tempat tinggalnya cemas, kata Indah, yang sudah sepuluh tahun tinggal di sana dan tahu betul peristiwa menghebohkan itu.

Ia bercerita, ada perasaan was-was kalau melihat Andri ke warung atau masjid.

"Baru kelihatan keluar rumah sekarang-sekarang. Agak kaget, saya punya anak laki-laki kelas 5 SD dan masih usia lima tahun. Agak khawatir sedikit tapi kelihatannya dia sudah berubah," ujar Indah kepada wartawan Siti Fatimah yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (23/03).

Perubahan yang terlihat, sambung Indah, Andri sudah bisa bersosialisasi dengan warga, shalat berjamaah bahkan adzan di masjid.

"Kelihatannya baik, suka ke masjid, ngobrol sama bapak-bapak."

Kendati demikian, ibu dua anak ini bakal tetap meningkatkan kewaspadaan. Beberapa kali, katanya, dia mengingatkan agar anaknya berhati-hati pada orang yang tak dikenal.

"Kalau ada yang tidak kenal jangan ikut, larangan. Diawasi terus, takut, khawatir sih tapi sedikit. Saya serahkan ke pemerintah, asal jangan diulang, masa depan anak-anak, kasihan," imbuhnya.

Warga lainnya, Parid, mengatakan mendukung agar Andri kembali ke masyarakat. Sebab menurut dia, setiap manusia punya "kesempatan kedua".

Meskipun, suara penolakan pelaku tidak kembali sangat kencang saat kasus ini mencuat pada 2014 silam, ungkapnya.

Beruntung, lanjutnya, pemerintah daerah berhasil memediasi warga yang menolak.

"Sekarang warga juga sudah biasa saja. Dulu memang sempat [nolak] waktu masalahnya muncul, tapi kalau sekarang sudah biasa sosialisasi. Salat ke masjid dia itu, jago pijit katanya, jadi ya sudah biasa hanya memang jangan sampai ada lagi kejadian kayak gitu," ujar Parid.

Ketua RW setempat, Usman, mengaku tahu soal kebebasan Andri dari penjara dari pihak kelurahan dan dinas sosial. Usai musyawarah, warga menyatakan menerima Andri pulang.

Untuk mencegah kejadian berulang, dia mengimbau warganya meningkatkan kewaspadaan pada anak-anak.

Seberapa besar mantan pelaku kejahatan seksual akan mengulangi perbuatannya?
Tenaga psikolog di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Sukabumi, Dikdik Hardy, mengatakan telah melakukan pemeriksaan psikologi terhadap Andri Sobari alias Emon sepekan setelah bebas.

Hasil pemeriksaannya menyimpulkan, peluang Andri mengulangi perbuatannya kecil, karena sudah ada perubahan perilaku terkait kontrol hasrat seksual.

Sebab, menurut analisanya, kasus Andri bukan tergolong pedofilia.

"Pemicu dia melakukan itu bukan hasrat seksualnya yang besar. Tapi fungsi kontrolnya yang lemah dan itu berulang karena dia bisa," jelas Dikdik kepada BBC News Indonesia, dikutip Jumat (24/3/2023)

Dan karena cara yang digunakan dengan halus atau bujuk rayu, potensi untuk berubah lebih terbuka, ketimbang pelaku yang melakukan aksinya melalui kekerasan.

"Berbeda dengan pelaku yang melakukan perbuatan dengan cara kekerasan, kemungkinannya 10-15% pelaku akan melakukan perilaku yang sama," sambungnya.

Dikdik juga menjelaskan, beberapa faktor yang membuat fungsi kontrolnya terjaga adalah "perlakuan khusus" oleh para narapidana di dalam penjara.


Untuk diketahui, kejahatan seksual dalam hirarki kriminalitas termasuk yang paling "menjijikkan" sehingga kerap mendapat perlakuan buruk dari napi lain.

Kata dia, pengalaman itu menjadi "syok terapi" bagi Andri untuk berubah dengan semakin sering belajar agama ke masjid.

"Masjid menjadi simbol kontrol secara sugesti," tandasnya.

 

Sumber: BBC Indonesia

(Kiki Agung\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar