Aliran Dana Hitam Jelang Pemilu

Sabtu, 18/03/2023 19:39 WIB
Ilustrasi: Demonstrasi menolak politik uang dalam Pemilu. (Kompas)

Ilustrasi: Demonstrasi menolak politik uang dalam Pemilu. (Kompas)

Jakarta, law-justice.co - Money politics dalam pemilu bukanlah isapan jempol belaka. Bahkan persiapan penghimpunan ananya sudah dilakukan jauh hari sebelum masa kampanye. Ketua PPATK 2002-2011 Yunus Husein mengatakan ada pola-pola kejahatan tertentu yang terjadi setiap menjelang pemilu. Patut diduga, dana gelap hasil kejahatan tersebut dipakai untuk kepentingan kontestasi pemilihan.

“Setiap jelang pemilu biasanya kredit macet cenderung meningkat, bank yang dibobol pasti ada, skandal-skandal seperti itu pasti ada,” ungkap Yunus. Terkait tindak lanjut temuan tersebut, kata Yunus, sepenuhnya menjadi kewenangan penyidik.

Dalam hal ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK berperan layaknya pemain gelandang dalam pertandingan sepak bola, memberikan umpan berupa temuan tindak kejahatan. Selanjutnya, umpan tersebut bakal diproses oleh para pemain penyerang atau striker, yakni para penyidik dari aparat penegak hukum. Yunus pun memastikan bahwa setiap indikasi kejahatan yang ditemukan PPATK bakal diteruskan ke aparat penegak hukum.

Selanjutnya, menjadi kewenangan penyidik untuk menindaklanjutinya. “Penyelidikan itu memerlukan waktu biasanya tidak langsung bisa. Karena mencari bukti permulaan itu dari setiap unsur yang diduga dilakukan itu perlu waktu. Tapi PPATK kalau ada indikasi pidana pasti ke penyidik,” katanya.

Senada dengan Yunus, Ketua Humas PPATK M Natsir Kongah mengungkap, ada pola kejahatan tertentu yang terjadi setiap menjelang pemilu. Diduga, kejahatan tersebut erat kaitannya dengan kepentingan pemilu. Ada kemungkinan uang hasil kejahatan itu digunakan untuk pemenangan para politisi.

“Dari penelitian yang dilakukan oleh PPATK, setiap periode pemilu ada saja muncul gejala seperti itu, hampir sama polanya. Seperti misalnya memberikan izin terhadap penggalian tambang misalnya, atau lahan,” kata Natsir, sebagaimana dikutip Kompas Jumat (17/3/2023).

Jelang Pemilu 2019 lalu misalnya, PPATK menemukan sedikitnya dana Rp 45 triliun yang terindikasi sebagai hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dana tersebut berasal dari green financial crime atau kejahatan finansial di bidang kehutanan, lingkungan hidup, serta perikanan dan kelautan. Natsir mengatakan, sebagian dana itu disinyalir mengalir ke sejumlah politisi yang diduga digunakan untuk membiayai pemenangan Pemilu 2019 dan Pemilu 2024.

“Dari total indikasi tindak pidana pencucian uang di kejahatan green financial itu ada Rp 45 triliun. Di mana di antaranya mengalir kepada politikus,” ungkap Natsir. “(Digunakan) pada periode sebelumnya, Pemilu 2019. Itu diduga juga untuk persiapan pemilu selanjutnya,” tuturnya. Oleh PPATK, temuan tersebut telah dilaporkan ke penyidik Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selanjutnya, menjadi kewenangan penyidik untuk menindaklanjuti.

Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih menyebut dana hasil kejahatan tersebut membahayakan apabila ke depan digunakan untuk keperluan Pemilu 2024. Sebab, pengguna dana tersebut apabila sudah berkuasa tidak bisa diharapkan untuk membuat perubahan karena kadung terikat dengan penyumbang dana yang bersumber dari hasil kejahatan.

"Ini bahaya sekali. Apapun yang dicanangkan ke depan enggak akan tercapai kecuali keinginan para penyumbang itu. Sementara penyumbangnya adalah hasil kejahatan," ujar Yenti Jumat (17/3/2023).  Menurutnya, siapapun sosok pengguna dana hasil kejahatan tersebut tetap tidak bisa diharapkan karena mereka menggunakan dana yang berasal dari hasil kejahatan.

(Bandot DM\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar