Isu pencucian uang di Kemenkeu

Said Didu Sebut Kewenangan Berlebih Kemenkeu Jadi Pintu Masuk Korupsi

Sabtu, 18/03/2023 17:05 WIB
Ilustrasi pembagian anggaran korupsi (Foto:Kanalkalimantan.com)

Ilustrasi pembagian anggaran korupsi (Foto:Kanalkalimantan.com)

Jakarta, law-justice.co - Mantan Sekretaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu mengungkapkan rentannya korupsi atau pencucian uang yang dilakukan pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) khususnya di perpajakan dan kepabeanan disebabkan karena kewenangan Kemenkeu memiliki kekuasaan lebih dalam hal pengelolaan keuangan. Kewenangan mulai dari proses penerimaan masuk uang negara dari pajak hingga memeriksa akuntabilitas para pejabat pajak yang terlibat dalam urusan dengan wajib pajak.

“Di Kemenkeu itu lengkap sekali, memang superpower, penyidik pajak, hakim pajak itu di bawah Dirjen Pajak. Cukai demikian. Jadi kalau ada yang melaporkan ya teman sejawat semua, susah,” kata Said dalam diskusi daring, dikutip Sabtu (18/3/2023).

Instrumen hukum, kata Said, yang membuat Kemenkeu terlihat super power hingga akhirnya cukup sulit diintervensi jika ada masalah perihal penyelewengan keuangan negara. Instrumen hukum yang dimaksud termaktub dalam Undang-undang (UU) Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara.

Menurutnya, UU tersebut diprakarsai oleh Menkeu Sri Mulyani pada saat itu. Sejak saat itu, katanya, penyusunan anggaran hanya berpusat pada Kemenkeu, yang sebelumnya ada peranan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas). “Ini semua karena gara-gara UU No 17 tahun 2003 tentang keuangan negara yang membikin Kemenkeu itu, menteri keuangan yang super power. Kewenangan Kemenkeu sehingga meliputi 3 perencanaan anggaran penyetoran anggaran dan bagi-bagi anggaran. Di negara manapun terpisah yang merencanakan anggaran, yang mencari pendapatan negara dan yang membelanjakan anggaran,” tuturnya.

Said mengatakan imbas kekuasaan lebih yang dimiliki oleh Kemenkeu dapat dilihat dari kasus dugaan pencucian uang atau korupsi yang mendera eks pejabat di Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak, Rafael Alun Trisambodo dan temuan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait transaksi mencurigakan sebesar Rp300 triliun. Ia beranggapan, dalam kasus ini, terjadi kongkalikong antara pejabat pajak dengan wajib pajak sehingga membuka ruang adanya tindak korupsi atau pencucian uang.

“Angka 300 triliun transaksi illegal sangat kuat diduga adalah hasil kongkalikong antara wajib pajak dan pejabat pajak. Kongkalikong ini terjadi karena sistem di Kemenkeu menjadi super power karena menyatunya perencana, pelaksana dan pengawas di semua lini termasuk perpajakan dan kepabeanan,” kata Said.

Karena kewenangan berlebih Kemenkeu itu juga, Said menduga PPATK mengubah narasinya perihal temuan transaksi janggal Rp300 triliun yang disebut bukan korupsi pegawai Kemenkeu, melainkan masalah perpajakan dan kepabeanan. Sebab, ada relasi antara PPATK dan Kemenkeu dalam soal anggaran. Said beranggapan segala laporan atau tindakan PPATK yang dapat membahayakan citra Kemenkeu akan berdampak pada pengeluaran anggaran institusi tersebut, mengingat anggaran PPATK sempat dipotong oleh Kemenkeu beberapa waktu lalu.

“Saya nyatakan PPATK bukan menjadi pemeriksa transaksi keuangan tapi dia menjadi pencuci para pencuci uang,” ujar Said.

Ia berpandangan, kekuatan Kemenkeu yang mengubah narasi PPATK terhadap laporannya mengakibatkan kebingungan publik. Soalnya, masalah perpajakan dan kepabeanan diurusi juga oleh pegawai di bawah Kemenkeu, namun dinyatakan transaksi janggal bukan berasal dari pegawai Kemenkeu.

“Aneh sekali Dirjen keuangan dan PPATK sepakat bilang ini bukan korupsi bukan pencucian uang. Ini sudah melebihi tuhan kah mereka, tanpa penyidikan tanpa peradilan langsung menyimpulkan,” ucap dia.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar