Tunda Pemilu 2024,Menantikan Drama & Skenario Kegentingan Selanjutnya?

Minggu, 19/03/2023 07:55 WIB
Pemilu Serentak 2024

Pemilu Serentak 2024

Jakarta, law-justice.co - Pelaksanaan Pemilu 2024 sebentar lagi akan segera tiba. Partai partai politik sudah pada bersiap memanaskan mesin politiknya. Dimana mana sudah terlihat para caleg memasang baleho, spanduk dan atribut kampanye lainya.

Dimedia sosial para pendukung capres juga sudah mulai mengelus ngelus jagoannya. Mereka sibuk promosi memamerkan kelebihan tokoh yang didukungnya sambil menguliti sisi negatif tokoh tokoh yang dianggap akan menjadi pesaingnya.

Namun akhir akhir ini suasana itu kembali redup tidak lagi bergairah karena ketidakpastian sedang melanda. Apakah pemilu 2024 jadi dilaksanakan sesuai waktu yang telah ditetapkan atau akan ditunda. Apakah sistem pemilunya akan menjadi proporsional tertutup atau tetap terbuka seperti yang sekarang ada.

Di tengah ketidakpastian itu, Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengaku mendapatkan  bocoran soal sistem pemilu dan rencana pemilu yang ditunda pelaksanannya.  Seperti dikutip media, Denny Indrayana mengaku dihubungi salah seorang pimpinan tinggi negara yang menyebut MK akan menetapkan sistem proporsional tertutup dan pemilu akan ditunda hingga tiga tahun kedepannya

“Saya dihubungi salah satu pimpinan tinggi negara. Dia bilang putusan MK sebentar lagi akan keluar, dan pemilunya  akan menjadi sistem proporsional tertutup dan ditunda pelaksanaannya untuk 2-3 tahun,” bebernya  seperti disiarkan kanal YouTube Medcom berjudul “Akal Bulus Menerus Pemilu Tak Mulus”, yang banyak di kutip oleh media.

Sinyalemen yang disampaikan oleh Denny Indrayana tersebut semakin menguatkan dugaan publik bahwa rencana untuk menunda pemilu memang tidak pernah padam di upayakan oleh mereka yang menjadi dalangnya. Berkali kali dibantah oleh pihak berwenang di pemerintah yang kini sedang berkuasa tapi berkali kali pula muncul manuver upaya untuk penundaannya.

Terakhir adalah lahirnya Keputusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat  (Jakpus) yang memina Komisi Pemilihan Umum (KPU) supaya menunda pelaksanaan tahapan pemilu yang masih tersisa.

 

Makna Dibalik Upaya Tunda Pemilu 2024

Seperti diketahui bersama, isu penundaan pemilu 2024 sudah berlangsung cukup lama. Adalah Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang awalnya pernah mengutarakan pendapatnya berdasarkan komunikasi atau percakapan penundaan pemilu yang didapatkan di big data. Luhut memberikan argumen bahwa melalui big data tersebut disimpulkan secara umum bahwa masyarakat memberikan lampu hijau untuk penundaan pemilu di Indonesia.

Pernyataan Luhut Panjaitan itu ramai ditanggapi oleh masyarakat yang kebanyakan menentangnya. Bahwa tidak benar masyarakat memberikan lampu hijau untuk penundaan pemilu yang merupakan agenda lima tahunan secara berkala. Dengan ramainya bantahan dari masayarakat yang bersuara untuk menepis  argumentasinya, isu pemilu ditunda yang digaungkan oleh Luhut perlahan lahan mulai reda dengan sendirinya.

Tapi rupanya isu ini tidak benar benar padam karena secara bergelombang muncul pernyataan dari elit elite politik Indonesia yang mendukung pemilu 2024 ditunda. Ketua partai seperti Muhaimin Iskandar dan Zulkifli Hasan dalam waktu yang hampir bersamaan memberikan sinyal jika mereka setuju pemilu ditunda. Demikian pula para Menteri di kabinet Jokowi seperti Bahlil Lahadalia dan Airlangga Hartarto menyuarakan pendapat serupa.

Selain mereka ada suara petinggi kelembagaan negara seperti Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Kedua DPD RI Lanyalla Matalliti ikut mernyuarakan pendapatnya yang setuju pemilu di tunda pelaksanannya. Mereka bersuara seperti diatur saja nadanya karena saling menguatkan satu dengan yang lainnya.

Menanggapi pernyataan para elit tersebut, masyarakat kembali ramai ramai angkat suara menentangnya. Karena menunda pemilu sama artinya dengan melawan konstitusi dan bisa merusak kehidupan demokrasi di Indonesia selain bisa berpotensi memicu perpecahan diantara anak anak bangsa. Sampai disini isu pemilu 2024 ditunda kembali mereda.

Tapi isu pemilu ditunda menjadi ramai lagi dengan munculnya gugatan agar sistem pemilu yang semula terbuka diminta tertutup oleh para penggugatnya. Kondisinya menjadi bertambah runyam ketika PN Jakpus mengabulkan seluruh tuntutan partai Prima yang efeknya meminta supaya pemilu ditunda pelaksanannya.

Rangkaian peristiwa diatas bisa jadi suatu kebetulan belaka tapi bisa jadi pula sudah by design yang di stel sedemikian rupa  oleh mereka yang mendalanginya. Rasa rasanya sulit dipercaya kalau semua peristiwa itu terjadi karena kebetulan belaka. Karena saling terkait satu dengan yang lainnya. Berlangsung secara sistematis, berurutan mengikuti irama untuk tujuan yang sama yaitu menginginkan agar pemilu bisa ditunda.

Yang paling krusial dari seluruh peristiwa tersebut diatas barangkali adalah keputusan PN Jakpus yang meminta supaya KPU menyetop pelaksanaan tahapan pemilu yang masih tersisa. Adanya keputusan PN Jakpus ini memunculkan dilema tak ubahnya seperti makan buah simalakama. Karena kalau keputusan PN Jakpus itu diabaikan dengan alasan Lembaga peradilan itu dinilai tidak berwenang memutuskan perkara pemilu atau alasan lainnya maka KPU sebagai pihak terkait dianggap mengabaikan hukum yang mengabulkan tuntutan partai Prima.

Sebab menjadi hak Partai Prima untuk menuntut keadilan atas kesalahan KPU yang dinilai telah merugikannya. Lagi pula untuk mengubah Keputusan PN Jakpus jalurnya adalah melakui proses hukum pula dalam hal ini lewat banding di Pengadilan tingkat atasnya.

Tetapi kalau kemudian Keputusan PN Jakpus itu ditanggapi kemudian KPU melakukan banding untuk melawan keputusan PN Jakpus maka ini sama artinya dengan “masuk perangkap” yang barangkali memang sudah disiapkan sesuai skenario yang ada. Upaya untuk menggiring KPU agar masuk perangkap terbaca dari sikap istana yang meminta supaya publik menghargai keputusan hakim PN Jakpus soal pemilu 2024 di tunda dan juga mendorong KPU supaya mengajukan banding ke Pengadilan Tingkat atasnya.

Terbukti memang KPU akhirnya mengajukan banding atas keputusan hakim PN Jakpus yang meminta KPU menghentikan pelaksanaan tahapan pemilu yang masih tersisa. Dengan proses banding ini maka bisa ditebak waktu yang dibutuhkan akan cukup lama. Yaitu waktu sampai dengan nanti ada keputusan incraht (yang berkekuatan hukum tetap) oleh Mahkamah Agung (MA). Ini terjadi kalau Keputusan Pengadilan Tinggi menguatkan keputusan tingkat Pertama kemudian pihak terkait dalam hal ini KPU mengajukan banding ke MA. Bisa memakan waktu berbulan bulan lamanya hingga nanti ketika saat coblosan pemilu 2024 tiba.

Dalam kondisi seperti itulah KPU harus bekerja menyelesaikan tahapan pemilu yang masih tersisa. Mungkinkah KPU bisa melaksanakan fungsi dan tugasnya ditengah tengah ketidakpastian status hukum yang saat ini berjalan dan belum ketahuan kapan selesainya ?. Dibalik serangkaian peristiwa diatas, apakah mungkin semuanya memang dibuat untuk menciptakan kondisi supaya KPU sebagai penyelenggara pemilu menjadi terganggu pekerjaannya ?

Seperti Apa Endingnya

Kalau pakar hukum tata negara Denny Indrayana mengaku telah mendapatkan bocoran dari seorang petinggi negara bahwa pemilu akan menggunakan sistem proporsional tertutup dan ditunda pelaksanannya melalui keputusan MK, maka informasi itu bisa saja benar adanya kalau kita mengingat “kenekatan” yang sudah berulang kali diperlihatkan penguasa dalam melanggar ketentuan yang ada.

Mengingat posisi MK saat ini yang berada di bawah Presiden seperti halnya KPK. Sehingga kedua Lembaga itu sangat diragukan independensinya dan konsekuensinya bisa memutusakan suatu perkara sesuai dengan kehendak pemegang kuasa. Sungguhpun demikian MK juga bukan Lembaga yang berwenang memutuskan pemilu di tunda sehingga kalau keputusan MK yang menyatakan menunda pemilu 2024 maka hal ini pelanggaran konstitusi namanya.

Tetapi skenario lain untuk menunda pemilu bisa pula mengikuti irama yang sekarang sudah mulai dimainkan melalui keputusan PN Jakpus yang meminta supaya pemilu di tunda. Dengan alasan menghormati proses hukum yaitu bandingnya KPU  ke Pengadilan Tinggi atas keputusan hakim PN Jakpus maka untuk sementara KPU colling down dulu, tiarap tidak melaksanakan tahapan pemilu yang masih tersisa sampai dengan adanya keputusan inkraht oleh Lembaga peradilan yang berhak memutuskannya.

Sementara proses banding masih berjalan, pada saat yang sama jadwal pelaksanaan coblosan pemilu sudah semakin mendekat pula. Pada saatnya nanti bisa saja KPU kemudian menyatakan diri untuk tidak siap melaksanakan seluruh agenda tahapan pemilu hingga coblosan tanggal 14 Pebruari 2024 tiba.KPU pada akhirnya bisa angkat tangan, tidak sanggup melaksanakan kewajibannya karena berbagai kendala yang dihadapinya. Kalau skenario ini berjalan lalu apa yang kira kira bakal terjadi selanjutnya ?.

Dengan alasan KPU tidak mampu mempersiapkan penyelengggaraan pemilu sesuai tahapan yang ada maka untuk adanya kepastian hukum, dengan terpaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) yang menyatakan pemilu 2024 di tunda.

Tetapi menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto seperti dikutip media mengatakan bahwa Perpu tak bisa menjadi landasan hukum untuk pemilu ditunda. Menurutnya, Perppu hanya bisa dikeluarkan dalam keadaan mendesak yaitu kegentingan yang memaksa. Sementara, kata dia, tak ada kondisi mendesak saat ini sehingga pemerintah harus mengeluarkan Perppu untuk pemilu bisa ditunda.

Sebenarnya kalau alasannya hanya sekadar karena tidak adanya kegentingan yang memaksa maka hal itu bukan suatu yang menjadi kendala. Karena yang namanya kegentingan yang memaksa sebagai dasar keluarnya Perpu itu bisa diciptakan sedemikian rupa. Kondisi yang ada bisa digenting gentingkan untuk bisa keluarnya Perpu sesuai kehendak pembuatnya.

Pengalaman sebelumnya, beberapa Perpu juga diterbitkan pada hal syarat kegentingan memaksa itu dianggap tidak ada misalnya yang pernah terjadi pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona atau Perpu tentang Cipta Kerja.

Dengan demikian soal kegentingan yang memaksa sebagai dasar keluarnya Perpu tunda pemilu bisa saja diciptakan dengan alasan misalnya KPU telah dianggp tidak mampu mempersiapkan seluruh output kegiatan tahapan pemilu pada hal waktu coblosan sudah akan tiba. Tetapi apakah bisa kemudian Perpu tunda pemilu dijadikan landasan hukum untuk menunda pemilu meskipun sudah terpenuhi syarat untuk terbitnya Perpu yaitu sudah adanya kegentingan yang memaksa ?

Perlu di pahami bahwa masalah tunda pemilu 2024 itu sebenarnya adalah ranahnya konstitusi yang sudah diatur dalam Undang Undang Dasar 1945. Penyelenggaraan pemilu dalam UUD 1945 ada di Pasal 22E ayat 1 sampai 6. Pemilu dikatakan dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil setiap lima tahun sekali. Artinya, UUD 1945 sudah mengunci bahwa pemilu lima tahun sekali. Lalu, di Pasal 7 presiden dan wakil presiden memegang jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

Tidak elok rasanya kalau Undang Undang Dasar 1945 terkait Pasal Pemilu itu kemudian di amandemen hanya karena keinginan untuk memenuhi hasrat segelintir orang yang ingin terus berkuasa. Karena Konstitusi itu ada rohnya, ada jiwanya, ada spiritnya, yang mengatur kehidupan bersama sebagai bangsa. Periodisasi masa jabatan presiden selama lima tahun dilakukan untuk menjaga kultur demokrasi dan regenerasi kepimimpinan bangsa.

Selain itu dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) juga dinyatakan bahwa hal yang bisa membuat pemilu ditunda hanya jika terjadi keadaan genting seperti perang atau bencana di seluruh Indonesia. Dengan sendirinya kalau kondisi ini tidak ada maka tidak ada alasan untuk pemilu ditunda pelaksanannya.

Sungguhpun demikian akhir akhir ini kita menyaksikan adanya gangguan gangguan agar Pemilu bisa ditunda. Entah dengan cara apa dan dengan dasar hukum apa yang akan digunakan kalau nanti Pemilunya benar benar ditunda. Yang jelas begitu kental aromanya ada upaya yang melibatkan kekuatan tangan tidak terlihat (invisible hand) yang  kehendak untuk menunda atau bahkan menghalangi pelaksanaan pemilu sesuai jadwal yang sudah ada.

Kalaupun nantinya Pemilu tidak jadi ditunda, tapi minimal dengan adanya gangguan gangguan dalam pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 itu bisa membuat KPU tidak maksimal mempersiapkan segala sesuatunya sehingga terbuka peluang untuk  terjadinya kecurangan kecurangan pada saat penyelenggaraannya. Yang penting bagaimana caranya supaya jagonya penguasa bisa menang sehingga terjaga kepentingannya meskipun telah berganti pucuk kepempimpinan nasionalnya. Apakah memang begitu maksud dan tujuannya ?

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar