Fakta Rangkap Jabatan, Indikasi Kemampuan atau Simbol Keserakahan?

Minggu, 19/03/2023 00:00 WIB
Soal PNS dan Pejabat Rangkap Jabatan (Cakratara)

Soal PNS dan Pejabat Rangkap Jabatan (Cakratara)

Jakarta, law-justice.co - Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dengan bangga mengaku telah merangkap 30 jabatan dilingkungan kerjanya. Pernyataan ini terungkap saat ia diwawancarai dalam acara Kick Andy Double Check  beberapa waktu yang lalu.

"Saya ini sekarang merangkap 30 jabatan. Karena hampir semua anak hal posisi itu biasanya menteri keuangan tetap menjadi wakil ketua anggota baru atau segala macam," ujar dia di acara tersebut.

Ternyata bukan hanya  Menteri keuangan saja yang merangkap jabatannya, di beritakan ada 39 pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang rangkap jabatan di BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Isu rangkap jabatan ini muncul ditengah ramainya orang membahas pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang mengatakan  ada pergerakan uang mencurigakan sebesar Rp300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan dan dugaan korupsi kolektif di lingkungan pajak (dan Bea dan Cukai) yang mencerminkan kegagalan Menteri Keuangan dalam mengamankan penerimaan negara.

 

Merangkap Jabatan dan Indikasi KKN

Godaan merangkap `jabatan` memang cukup menggiurkan dan begitu banyak orang yang teperdaya oleh tarikan magnetnya, sampai-sampai untuk meraihnya pun menggunakan berbagai macam cara. Ada yang menyerahkan kepada yang berhak memberikan jabatan agar menilai pada kapabilitas dan kredibilitas dirinya. Ada juga yang menggunakan cara negatif, seperti menyuap, menekan secara politis (kekuasaan) dan berbagai cara lainnya.

Tak merasa puas dengan hanya satu jabatan yang ditongkronginya, ada juga yang kemudian berusaha untuk merangkap jabatan lainnya. Rangkap jabatan merupakan kondisi seseorang memegang dua atau lebih jabatan di dalam sebuah pemerintahan atau organisasi lainnya.

Rangkap jabatan sesungguhnya sebuah fenomena yang sudah berlangsung lama.Era Orde Baru (Orba)  menjadi contoh konkret bagaimana rangkap jabatan ini merajalela dalam penyelenggaraan birokrasi negara.

Orba menjadikan birokrasi sebagai kendaraan politik disertai dengan berbagai macam kekuatan di sekelilingnya seperti kalangan militer atau tentara. Dampaknya, Orba menjadi kekuatan politik yang hegemonik tanpa ada yang menandinginya.

Pada masa Orba dibawah kekuasaan Presiden Soeharto, dikenal istilah yang lahir dari proses politik dominasi militer dan birokrasi, atau yang disbeut sebagai "Jalur ABG". Jalur ABG ini dimaksudkan oleh rezim Orde Baru sebagai landasan untuk mengelola pemerintahan dengan tiga unsur utama, yaitu; "A" untuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, "B" untuk birokrasi, dan "G" untuk Golongan Karya.

Pasca reformasi, apa yang dikhawatirkan soal rangkap jabatan di masa Orba ternyata juga sama. Harapan bahwa rangkap jabatan di era reformasi dapat hilang untuk mengurangi tindak korupsi dan kesewenang-wenangan, ternyata, justru semakin merajalela.

Dalam kaitan rangkap jabatan memang berkaitan erat dengan potensi munculnya tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang karena rangkap jabatan hampir selalu bersingungan dengan konflik kepentingan didalamnya.

Konflik kepentingan berpotensi memunculkan kasus korupsi sepertinya sudah bukan hal yang aneh karena memang begitulah kenyataannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pejabat yang memiliki konflik kepentingan berpotensi menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Itulah yang banyak terjadi saat ini dimana para pejabat merangkap juga posisinya sebagai seorang pengusaha meskipun tidak secara langsung menjalankannya.

Dalam hal rangkap jabatan pejabat BUMN, potensi konflik kepentingan jika dibiarkan bukan tidak mungkin dapat memunculkan kasus-kasus korupsi atau penyalahgunaan wewenangnya. Mereka juga berpotensi bersikap diskriminatif, serta mengelola BUMN atau instansinya dengan tidak  akuntabel dan terbuka. Selain itu, mereka yang rangkap jabatan berpotensi menerima penghasilan ganda sehingga bisa merugikan keuangan negara.

Mungkin karena adanya potensi korupsi itu pula sehingga pada periode awal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla pernah melarang para menterinya untuk rangkap jabatan meskipun pada akhirnya pernyataan ini hanya sampai di bibir saja karena berbeda realisasinya.

Aturan Rangkap Jabatan

Staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan rangkap jabatan itu tak melanggar undang-undang (UU). Menurut dia, sebagai Menteri Keuangan Sri Mulyani harus mengemban tugas itu untuk mengisi jabatan lain."Itu adalah amanah UU, ex officio menkeu sebagai bendahara negara. Jadi, perintah UU karena jabatannya," ujar Yustinus, seperti dikutip media  Jumat (10/3/23).

Senada dengan Yustinus Prastowo, Menteri BUMN Erick Thohir pun buka suara menjelaskan soal pejabat Kementerian merangkap komisaris BUMN."Rangkap jabatan jangan dikonotasikan jelek. Aturan Undang-Undangnya diperbolehkan, kecuali Undang-Undangnya tidak diperbolehkan. Nah itu bagian dari proses. Selama aturannya tidak menyalahkan, saya nggak mungkin intervensi. Kenapa? Perwakilan menteri banyak di BUMN," kata Erick, dalam konferensi pers di Tennis Indoor Senayan, Jakarya, Kamis (9/3/2023).

Menyimak dua pernyataan pejabat diatas terkesan bahwa rangkap jabatan itu diperbolehkan dan sah sah saja karena menurutnya tidak ada peraturan perundang undangan yang dilaggarnya. Lalu apakah memang demiikian ketentuannya ?

Pada kenyataannya banyak peraturan bertebaran yang melarang adanya rangkap jabatan itu karena pertimbangan potensi dampak buruk yang ditimbulkannya.  Dibawah ini adalah sebagian aturan tentang rangkap jabatan yang seyogyanya bisa menjadi pedoman untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya:

  1. Undang-undang No 39 tahun 2008 (UU No 39/2008) tentang Kementerian Negara Pasal 23 menyatakan: Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.Pengertian larangan rangkap jabatan yang dimaksud di dalam undang-undang ini seharusnya juga termasuk pejabat teras di kementerian, yaitu para eselon satu, eselon dua, staff ahli dan staff khusus menteri. Karena pejabat teras tersebut merupakan kepanjangan tangan dari menteri.
  2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam Pasal 17 a menyatakan bahwa penyelenggara pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah. Selanjutnya dalam Pasal 54 ayat (7) mengatur mengenai sanksi bagi anggota direksi dan anggota dewan komisaris yang melakukan rangkap jabatan akan dikenai sanksi berupa pembebasan dari jabatan.
  3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dalam Pasal 25 yang menjelaskan bahwa anggota direksi dilarang memangku jabatan rangkap. Selanjutnya dalam Pasal 33 juga melarang anggota komisaris merangkap jabatan.
  4. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor 2 Tahun 2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara. Dalam Bab V menyatakan anggota dewan komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai direksi. Selain itu juga dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris kecuali berdasarkan penugasan khusus dari menteri.
  5. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-03/MBU/02/2015 tentang Persyaratan, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Direksi Badan Usaha Milik Negara. Dalam Bab IV dijelaskan tentang alasan dan tata cara pemberhentian direksi BUMN, yaitu “tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Direksi berdasarkan ketentuan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan termasuk rangkap jabatan yang dilarang dan pengunduran diri.”
  6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33 Tahun 2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik. Berbeda dengan peraturan-peraturan yang lain, POJK justru memperbolehkan direksi dan komisaris merangkap jabatan dengan syarat-syarat tertentu yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 24, salah satu syaratnya yaitu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain diatur dalam UU Kementerian Negara, larangan rangkap jabatan juga diatur dalam Pasal di dalam UU dan Peraturan Pemerintah yang melarang rangkap jabatan. Seperti dalam UU No.5 Tahun 1999 Pasal 26 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pasal tersebut menyebutkan seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.Lalu, dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No.100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural disebutkan bahwa, Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural tidak dapat menduduki jabatan rangkap, baik dengan jabatan struktural maupun dengan jabatan fungsional.

Larangan rangkap jabatan ini dalam rangka untuk meningkatkan profesionalisme serta pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus kepada tugas dan fungsi yang lebih bertanggung jawab

Diaturnya rangkap jabatan secara serius dalam berbagai pasal perundang undangan tersebut mengindikasikan bahwa rangkap jabatan itu banyak dampak negatifnya karena berpotensi memunculkan penyalahgunaan wewenang, terjadinya konflik kepentingan dan korupsi  di instansi pemerintahan/negara.Oleh karena itu, perlu upaya penanganan dan pencegahan dari konflik kepentingan tersebut melalui ketentuan yang ada.

Dalam kaitan dengan soal rangkap jabatan ini, pengajar Hukum Ketatanegaraan FHUI, Fajri Nursyamsi, mengatakan rangkap jabatan konteksnya merupakan pelanggaran etika. Rangkap jabatan yang dilakukan Aparatur Sipil Negara bisa jadi melanggar norma hukum, namun batasannya limitatif seperti yang diatur dalam Pasal 23 UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Yang jelas praktik rangkap jabatan selain ditentang oleh undang-undang, juga telah menyalahi prinsip-prinsip “good governance” Adanya rangkap jabatan sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan (conflict of interest), seperti praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Meskipun sudah banyak peraturan yang bertebaran melarang adanya praktek rangkap jabatan tapi pada kenyataannya praktek pelanggaran rangkap jabatan terjadi dihampir seluruh posisi pemerintahan seolah olah hal itu dianggap sebagai hal yang biasa saja. Kalau sudah begini kenyataannya harus bagaimanakah sebaiknya ?. Apakah ketentuan ketentuan yang ada terkait dengan rangkap jabatan itu memang dibuat hanya sekadar sebagai pajangan belaka ?

Indikasi Kemampuan Atau Keserakahan ?

 Secara logika, dalam sebuah pekerjaan agar dapat dikerjakan dengan baik, mulus dan tepat sasaran maka haruslah fokus pada sebuah jabatan yang diembannya. Tidak boleh rangkap jabatan karena itu akan menyita waktu, pikiran, tenaga dan konflik kepentingan didalamnya.

Siapapun orangnya jika disuruh mengerjakan tugas banyak sekaligus pasti tidak akan mampu mengerjakan apalagi dalam waktu yang bersamaan pula. .Contoh kecil saja, jika kita di rumah disuruh orangtua mencuci piring, mencuci kain, memasak, mengepel lantai dan belajar, sudah pasti kita akan merasakan sebuah penderitaan karena tidak ada kata berhenti, istirahat, menghela nafas karena semua dikerjakan sekaligus dalam hari itu juga.

Meskipun ilustrasi tersebut tidak persis sama dengan rangkap jabatan yang disandang oleh para pejabat negara tetapi gambaran tentang betapa manusia yang diberikan beban kerja yang banyak dalam waktu yang bersamaan akan mempunyai dampak yang kurang baik pada akhirnya.

Memang setiap orang pasti memiliki motivasinya masing-masing terkait kenyataan bahwa mereka memiliki jabatan ganda. Jikalau rangkap jabatan ini terjadi oleh karena adanya keserakahan didalam diri yang begitu membabi buta mengejar kemegahan, prestise, dan popularitas maka orang-orang yang menjadi bagian dari organisasi tersebut patut untuk khawatir akibat dampak buruknya.

Karena seorang pemimpin yang menyimpan keserakahan dihatinya tidak akan pernah mampu memberikan pelayanan yang tulus kepada orang lain yang menjadi tanggungjawabnya. Semua dilakukan hanya demi kepentingan pribadinya sendiri dan kelompoknya saja.

Sedangkan terkait dengan dasar terjadinya rangkap jabatan karena kompetensi seseorang sebenarnya hal ini pun juga perlu ditinjau ulang validitasnya. Mengandalkan satu sosok tertentu saja dan minim alternatif sosok lain karena dinilai kurang kompeten merupakan bukti kegagalan dari sebuah proses regenerasi kepemimpinan di sebuah institusi atau lembaga. Bagaimanapun juga seorang pemimpin hebat adalah mereka yang mampu melahirkan pemimpin hebat lainnya. Sehingga tongkat estafet kepemimpinan dapat diteruskan oleh generasi selanjutnya atau pemimpin yang lainnya

Terlepas dari latar belakang adanya rangkap jabatan ini, entah karena dasar kompetensi ataukah karena sebuah keserakahan, kita harus melihat seberapa besar perbedaan kinerja yang dihasilkan antara kondisi organisasi pada saat dipegang oleh pemimpin tunggal dengan ketika dikelola oleh pemimpin yang merangkap jabatannya. Kita harus menilai secara fair terkait kinerja yang mereka tunjukkan selama ia mengemban tugas dan tanggungjawabnya.

Saat ini ditengah sorotan tajam mata publik terhadap kinerja Menteri Keuangan dan jajarannya yang doyan pamer harta dan dugaan perilaku korupsi berjamaah dilembaga yang dipimpinnya, apakah itu merupakan efek juga dari adanya rangkap jabatan yang di sandangnya ?. Kalau memang benar demikian adanya, bukankah rangkap jabatan itu lebih dekat pada perilaku serakah ketimbang unjuk kompetensi yang dimilikinya ?

Alhasil  jangan sampai keberadaan rangkap jabatan ini justru mengorbankan orang lain yang semestinya mendapatkan pelayanan terbaik dari mereka yang diberi amanah untuk menjalankannya. Soalnya manakala  amanah yang sudah dititipkan kepada mereka itu ternyata diabaikan atau tidak ditunaikan sebagaimana mestinya , maka bukankah itu berarti sama halnya dengan khianat namanya 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar