Dr. Ichsan Anwary, S.H.,M.H. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Analisis Putusan No 757/Pdt,G/2022/PN Jkt Pst, Menunda Tahapan Pemilu

Sabtu, 18/03/2023 10:30 WIB
Dr. Ichsan Anwary, S.H.,M.H. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Radar Banjarmasin)

Dr. Ichsan Anwary, S.H.,M.H. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Radar Banjarmasin)

Jakarta, law-justice.co - Dunia kehukuman kita kembali dikejutkan oleh Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat  yang salah satu amarnya menyatakan menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.   

Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt. Pst diputuskan dalam sidang permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat  pada Hari Rabu, tanggal 1 Maret 2023 yang lalu.    Dalam pemberitaan di media massa, ramai diblow up sebagai penundaan pemilu hingga Juli 2025. Dan inilah yang menimbulkan reaksi publik yang masif.

Putusan kontroversial tersebut menuai banyak komentar  dan kecaman publik. Tidak kurang dari Presiden Joko Widodo memberikan komentar atas putusan PN Jakarta Pusat. Juga reaksi berat dari mantan Presiden Megawati, dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono.

Ada tiga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang menyoroti putusan Majelis  Hakim PN Jakarta Pusat tersebut,  Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, Hamdan Zoelva. Pendapat agak keras dinyatakan oleh Jimly Asshiddiqie  untuk meminta hakimnya dipecat saja.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa, juga telah menuliskan kolomnya di media ini (Law Justice, 3 Maret 2023), mengulas mengenai  putusan Nomor 757 PN Jakarta Pusat tersebut yang lebih banyak menyoroti dalam konteks ada apa dibalik putusan PN  Jakarta Pusat  yang menunda  pemilu ini.

Putusan hakim yang berisi 108  halaman, di mana seluruh petitum penggugat dikabulkan oleh majelis hakim. Dengan menyatakan  menerima gugatan penggugat seluruhnya, menyatakan penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat (KPU RI) dan pada pokoknya menyatakan bahwa tergugat (KPU RI) telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Persoalan  muncul ketika gugatan Agus Priyono dan Dominggus Oktavianus Tobu Kiik selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) selaku Penggugat menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) selaku Tergugat masuk dalam kamar gugatan perdata, tetapi terdapat petitum penggugat yang  berimplikasi publik. Ruwetnya lagi petitum penggugat  yang berimplikasi publik itu dikabulkan oleh majelis hakim perdata sebagai salah satu amar putusannya. 

Hakim yang memutuskan perkara tersebut mungkin “terpengaruh” oleh aroma berbagai pihak yang akhir- akhir ini sering mendengung-dengungkan untuk melakukan  penundaan pemilu – sebagaimana telah panjang lebar diulas oleh Desmond J Mahesa Wakil Ketua Komisi III DPR RI lewat  kolom di Law Justice ini (Law Justice, 13 Desember 2022), sehingga kemudian “disambar” begitu saja oleh majelis  hakim untuk mengabulkan menunda  pemilu  dimana salah satu petitum penggugat diantaranya adalah memang untuk meminta penundaan tahapan pemilu.

Dalam kronologi setelah upaya yang dilakukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) melawan KPU RI untuk lolos verifikasi sebagai partai politik untuk mengikuti pemilu 2024  mentok baik dalam upaya di Bawaslu, dan kemudian dmentahkan oleh   PTUN - sebagai langkah yang tersedia dalam hal terjadi sengketa pemilu sebagaimana sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,  maka Partai PRIMA   mengajukan upaya hukum melawan KPU RI yang  kemudian  mengajukan perkaranya ke pengadilan umum  lewat konstruksi gugatan perbuatan melawan  hukum (onrechtmatige daad) mengacu Pasal 1365 BW Indonesia (art.1401 BW Nederland).   

Bahwa gugatan Partai PRIMA terhadap KPU RI adalah dalam konstruksi gugatan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)  berdasar Pasal 1365 BW Indonesia tidak dalam konteks perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).

Ikhwal istilah perbuatan melawan hukum ini, saya lebih cenderung menggunakan istilah perbuatan melanggar hukum dalam konteks Pasal 1365 BW Indonesia. Karena harus juga dibedakan dengan istilah perbuatan melawan hukum  dalam konteks istilah yang disebut  wederrechtelijk yang acapkali digunakan sebagai nomenklatur hukum pidana.  

Penggugat tidak menggunakan konstruksi gugatan Onrechtmatige Overheidsdaad), Apabila menggunakan konstruksi gugatan perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad), maka Mahkamah Agung telah mengaturnya di dalam  Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh  Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).

Pasal 1365 BW Indonesia menyatakan :  setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahannya tersebut.

Terdapat 4 (empat) unsur yang harus dibuktikan keberadaannya jika ingin menggugat berdasarkan Perbuatan Melanggar  Hukum (Pasal 1365 BW Indonesia, yaitu:

  1. Perbuatan melanggar hukum.

Unsur ini menyatakan  bahwa perbuatan yang dianggap melanggar hukum bukan hanya didasarkan pada kaidah-kaidah hukum tertulis, tetapi juga kaidah hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat, seperti asas kepatutan atau asas kesusilaan.

  1. Kesalahan.

Bahwa adanya unsur kesalahan itu  dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan dan kesalahan karena kekurang hati-hatian atau kealpaan. Dalam hukum perdata, baik kesalahan atas dasar kesengajaan ataupun kekurang hati-hatian memiliki akibat hukum yang sama. Hal ini dikarenakan menurut Pasal 1365 KUHPerdata perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ataupun dilakukan karena kurang hati-hati atau kealpaan memiliki akibat hukum yang sama, yaitu pelaku tetap bertanggung jawab mengganti seluruh kerugian yang diakibatkan dari Perbuatan Melanggar  Hukum yang dilakukannya.

  1. Kerugian.

Kerugian dalam hukum perdata  dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu kerugian materiil dan/atau kerugian immateriil. Kerugian materiil adalah kerugian yang secara nyata diderita, dan kerugian immateriil adalah kerugian atas manfaat atau keuntungan yang mungkin diterima di kemudian hari.

  1. Hubungan kausal antara perbuatan melanggar hukum oleh pelaku dan kerugian yang dialami korban.

Ajaran kausalitas dalam hukum perdata untuk memeriksa  hubungan kausal antara perbuatan melanggar  hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga si pelaku dapat dimintakan pertanggungjawabannya.

Apabila mencermati kasus posisi dalam  putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757 tersebut  maka didapati hal-hal seperti, tercampurnya  dalil-dalil (posita) gugatan penggugat antara menggunakan konstruksi Pasal 1365 BW Indonesia dengan konstruksi Onrechtmatige Overheidsdaad, dan konstruksi gugatan TUN sengketa pemilu. Dalil-dalil penggugat banyak yang tidak sinkron / tidak nyambung.   juga eksepsi dan jawaban pihak tergugat yang tidak fokus. Ditambah lagi tidak jelasnya petitum penggugat yang ditumpangi oleh petitum yang bukan kompetensi pengadilan perdata untuk memutuskannya.

Persoalan semakin rumit ketika  kemudian  dasar pertimbangan majelis hakim untuk sampai pada putusannya tidak jelas, tidak fokus terbawa pengaruh dalil-dalil penggugat yang kemudian melahirkan putusan yang bengkok, tidak lurus, tidak koneks,  melanggar asas-asas peradilan perdata dimana  salah satu amarnya adalah  menyatakan menghukum Tergugat Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.    

Dalam konteks putusan majelis  hakim PN Jakarta Pusat ini, saya teringat akan putusan hakim tunggal PN Jaksel  Sarpin Rizaldi dalam putusan  praperadilan (16 Februari 2015) yang diajukan Budi Gunawan sebagai tersangka KPK yang dinilai banyak kalangan sebagai putusan yang menjungkir balikkan logika hukum.

Di sinilah diperlukan penalaran dan logika hukum hakim yang baik dalam memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Jangan juga karena asas yang menyatakan hakim dianggap tahu hukum - ius curia novit -  lantas hakim melakukan langkah memutus perkara  menabrak kaidah-kaidah,  asas – asas beracara peradilan yang baik yang menjadi keniscayaan untuk dihormati.

Bagi penggiat di bidang hukum perdata atau kalau ada di beberapa fakultas hukum perguruan tinggi yang masih mempunyai konsentrasi hukum di  bidang hukum acara, maka pengajar  - pengajarnya  khususnya di mata kuliah  hukum acara perdata memaklumi dan tahu persis dan mengajarkan kepada mahasiswanya  ikhwal konstruksi gugatan perdata.

Dalam konstruksi gugatan perdata maka yang berhadapan adalah para pihak, penggugat dan tergugat untuk kepentingan hak keperdataan masing-masing pihak, di mana hakim yang menegakkannya. Tidak terdapat putusan pengadilan perdata yang mengikat umum, mengikat publik dalam amar putusannya. Di sini  tidak berlaku asas yang dinamakan asas erga omnes.

Dalam perkara tata usaha negara dan peradilan Mahkamah Konstitusi dikenal asas  putusan yang bersifat erga omnes yang artinya bahwa putusan hakim tidak hanya mengikat kepada para pihak yang berperkara tetapi juga mengikat publik. Tetapi dalam perkara perdata putusan hanya mengikat kepada para pihak yang berperkara.

Dengan demikian  semestinya hakim menggunakan konstruksi hukum yang benar ketika memutuskan perkara ini. Inilah kelemahan penalaran dan logika hukum hakim yang memutus perkara tersebut. Kaidah, asas-asas dan prinsip prinsip peradilan perdata dikesampingkan begitu saja oleh hakim.

Apakah ini merupakan terobosan hukum hakim sehingga memutus di luar kaidah logika hukum dan nalar  hukum yang benar, di luar kaidah memutus berhukum yang baik?  Bahwa ini bukanlah  langkah  terobosan hukum hakim yang patut diapresiasi tetapi sebagai bukti kelemahan konstruksi logika hukum dan nalar hakim sehingga sampai pada putusan yang keliru.   

Inilah kelemahan dan  kekeliruan logika hukum hakim PN Jakarta Pusat dalam putusan ini. Inilah potret kelemahan pengetahuan hukum hakim Indonesia hari ini.  Menjadi tantangan bagi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bersinergi memperkuat kapasitas pengetahuan hukum hakim demi menjaga marwah, martabat dan keluhuran hakim dan demi  sebuah keadilan substantif yang  bermakna dan bermartabat.

Atas putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757  tersebut,  hari-hari belakangan ini langkah upaya hukum banding tengah diajukan oleh pihak tergugat, yakni KPU RI. Langkah hukum yang memang disediakan untuk itu. Persoalannya tinggal kita tunggu putusan banding Pengadilan Tinggi.  Apakah putusan hakim banding nanti akan menguatkan Putusan PN Jakarta Pusat sebelumnya dengan tetap terdapat  amar putusan untuk melakukan penundaan tahapan pemilu atau mungkin ada berbeda dengan putusan PN Jakarta Pusat sebelumnya di tingkat  pertama.

Untuk tidak berandai-andai apabila tokh nanti putusan hakim banding masih mengandung  amar putusan yang  senada dengan amar putusan penundaan tahapan pemilu, maka   hakim tingkat banding terantuk pada batu yang sama. Ironis jadinya. Kita tunggu saja putusan hakim banding.

Apa yang dapat kita petik dari hebohnya putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757 ini,  bahwa jangan main-main dengan upaya untuk mengutak-atik ikhwal penundaan pemilu apapun penamaannya apakah perpanjangan masa jabatan dan sejenisnya. Bahwa itu akan mendapat reaksi negatif dan ditolak oleh publik, di semua lini. 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar