Karut Marut Tata Kelola Sawit RI, Ternyata ini Penyebabnya (1)

Sabtu, 04/03/2023 11:00 WIB
Kelapa Sawit. (Liputan rakyat)

Kelapa Sawit. (Liputan rakyat)

Jakarta, law-justice.co - Indonesia merupakan eksportir minyak sawit atau crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Bahkan pada 2021 ekspor CPO Indonesia memberikan kontribusi sebesar 51,94 persen dari total permintaan dunia.

Sebagai raja produsen CPO, Indonesia ternyata tak mampu berdaulat menentukan harga patokan ekspor CPO. Saat ini, harga patokan ekspor CPO Indonesia mengacu pada tiga indeks yakni harga Rotterdam, MDEX Malaysia, dan ICDX (Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia).

Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Kemendag RI, Didid Noordiatmoko menjelaskan, dalam menentukan harga patokan ekspor CPO Indonesia, 20 persen bobotnya ditentukan dari MDEX Malaysia, 20 persen harga Rotterdam, dan 60 persen harga ICDX.

"Sayangnya di ICDX ini juga masih sangat rendah volume penjualannya, sehingga walau kita sudah ada panjualan fisik di bursa, tapi ini belum bisa dianggap harga acuan. Ini belum dianggap transparan karena volumenya sangat kecil," kata Didid dalam diskusi Strategi Indonesia Menjadi Barometer Harga Sawit Dunia, dikutip Sabtu (4/3/2023)

Untuk itu, Didid mengatakan saat ini Kementerian Perdagangan akan mendorong agar transaksi CPO akan masuk ke dalam bursa. Kemendag telah menargetkan sawit akan masuk bursa berjangka pada Juni tahun ini, dan di akhir tahun sudah terbentuk harga acuanya.

Ekspor Bocor, Pendapatan Negara Turun
Didid mengungkap, ekspor sawit yang dilakukan Indonesia ternyata ada tumpang tindih data antara laporan pemerintah Indonesia dengan data dari negara importir. Selisihnya tak kecil, ada yang ratusan ribu ton bahkan jutaan ton. Hal ini terus terjadi dari 2019 hingga 2021.

Contoh di China, pemerintah melaporkan ekspor CPO ke China pada 2020 sebanyak 3.878.102 ton, sementara China melaporkan hanya 3.747.624 ton, ada selisih 130.478 ton CPO yang entah ke mana.

"Selalu terdapat selisih. Ini mengindikasikan bisa jadi terjadi kebocoran volume ekspor. Ternyata ekspor kita (pemerintah) bilang sekian, ternyata di sana terima impor dari Indonesia lebih dari itu atau bisa kurang dari itu. Kalau begitu kemana larinya," kata Didid.

Sementara di USA, pemerintah melaporkan ekspor CPO ke USA pada 2021 sebanyak 2.648.805, namun USA melaporkan hanya 1.405.808 ton, ada selisih 1.242.997 ton CPO yang entah raib ke mana. Di tahun 2020 ekspo CPO ke USA versi pemerintah ada 2.479.027 ton, sementara yang dilaporkan USA hanya 87.412 ton, selisis 2.391.615 ton.

"Bisa jadi ini masalah cut off, tapi kalau lihat besarannya tentu ini bukan sekadar cut off di tanggal awal tahun maupun akhir tahun," ujarnya.

Dari lima negara, China, India, Pakistan, USA, dan Malaysia, dari tahun 2019 hingga 2021 ketimpangan data terbesar adalah di USA yang konsisten besarannya mencapai jutaan ton CPO, sementara negara sisanya ada yang ratusan ribu ton dan puluhan ribu ton.

Dengan harga acuan ICDX yang lebih rendah dari acuan MDEX dan harga Rotterdam, ditambah ada kebocoran ekspor volume CPO, ini membuat Indonesia kehilangan banyak pemasukan negara dari ekspor CPO.

"Otomatis pungutan ekspor kita bisa jadi lebih rendah dari seharusnya. Otomatis segala macam pajak mulai dari pajak ekspor sampai nanti ke PPh badannya, nanti lebih rendah sehingga ada potensi negara ini tidak menerima dari yang seharusnya," kata Didid.

Dengan masalah itu, Didid mengatakan memasukkan CPO dalam bursa akan dapat memperbaiki tata kelola sawit di Tanah Air. Hal inilah yang saat ini menjadi fokus Kementerian Perdagangan.

"Seharusnya negara bisa terima yang lebih baik dari perdagangan CPO," pungkas dia.

 

(Kiki Agung\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar