Denny Indrayana Desak Jokowi Cabut Perppu Cipta Kerja

Rabu, 01/03/2023 17:40 WIB
Politisi Denny Indrayana (RMOL)

Politisi Denny Indrayana (RMOL)

Jakarta, law-justice.co - Pakar hukum tata negara Denny Indrayana menyebut tidak ada alasan lain bagi pemerintah untuk mempertahankan Perpu Cipta Kerja. Sebab, Perpu ini tidak kunjung disetujui DPR lewat paripurna hingga penutupan Masa Sidang III Tahun 2022-2023 pada 16 Februari 2023.

"Prof Mahfud saya pikir paham tentang ini," kata mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM ini, dikutip dari Tempo, Rabu (1/3/2023)

Mahfud, kata Denny, dalam pendapat-pendepatanya di masa lalu juga menyatakan Perpu harusnya dicabut bila tak dapat persetujuan DPR. "Jadi memang tak ada jalan lain, kecuali dicari alasan yang melanggar konstitusi," kata dia.

Jokowi sudah meneken Perpu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Perpu Cipta Kerja disetujui Baleg DPR pada 15 Februari 2023.

Namun hingga Masa Sidang III berakhir lewat paripurna pada 16 Februari 2023, tak ada ketuk palu pengesahan Perpu Cipta Kerja oleh DPR

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) sudah sejak 17 Februari mendesak pemerintah mencabut Perpu Cipta Kerja karena tak disetujui hingga 16 Februari. Saat dikonfirmasi, Mahfud menjawab santai. "Kan sudah lama mereka bilang begitu, ya biar saja," kata Mahfud saat dihubungi.

Akan tetapi, Mahfud MD belum menjelaskan lagi ketika dikonfirmasi apakah berdasarkani Undang-Undang Dasar 1945, Perpu Cipta Kerja ini masih bisa dibahas di paripurna DPR pada Masa Sidang berikutnya, yaitu Masa Sidang IV.

UUD 1945 dan UU PPP
Padahal, Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan alias UU PPP, sudah memberi penegasan soal ini.

Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut

Makna dari frasa "persidangan yang berikut" ini dijelaskan dalam Pasal 52 di UU PPP. Beleid ini direvisi lewat UU Nomor 13 Tahun 2022, namun Pasal 52 tidak mengalami perubahan sama sekali.

Penjelasan dari Pasal 52 ini berbunyi:

"Yang dimaksud dengan `persidangan yang berikut` adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan"

Itu artinya, kata Denny, Perpu Cipta Kerja harus dicabut karena tidak berlaku lagi. "Kalau ada yang katakan sudah disetujui Baleg, itu pendapat yang mengada-ada, karena persetujuan di Baleg bukan persetujuan DPR, DPR itu di sidang paripurna DPR," kata dia.

Concurring Opinion Mahfud
Aturan main soal Perpu Cipta Kerja sudah tertuang di Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Saat itu, Mahfud sendiri sebagai Ketua Hakim MK yang mengetuk palu untuk putusan tersebut.

Dalam Putusan MK ini, Mahfud memberikan alasan berbeda

(concurring opinion) dan hakim konstitusi Muhammad Alim memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Denny mengutip alasan berbeda dari Mahfud ini dalam berkas perbaikan permohonan di MK.

Sebab saat ini, Denny juga menjadi kuasa hukum dari sejumlah federasi serikat pekerja atas gugatan formil Perpu Cipta Kerja di MK. Senin kemarin, sidang pemeriksaan pendahuluan kedua digelar.

Adapun bunyi pendapat Mahfud di Putusan MK Nomor 138 yang dikutip dalam berkas perbaikan permohonan ini yaitu sebagai berikut:

“…Timbul juga polemik tentang adanya Perpu yang dipersoalkan keabsahan hukumnya karena tidak nyata-nyata disetujui dan tidak nyata-nyata ditolak oleh DPR. Dalam kasus ini DPR hanya meminta agar Pemerintah segera mengajukan RUU baru sebagai pengganti Perpu. Masalah mendasar dalam kasus ini adalah bagaimana kedudukan hukum sebuah Perpu yang tidak disetujui tetapi tidak ditolak secara nyata tersebut. Secara gramatik, jika memperhatikan bunyi Pasal 22 UUD 1945, sebuah Perpu yang tidak secara tegas mendapat persetujuan dari DPR `mestinya` tidak dapat dijadikan Undang-Undang atau tidak dapat diteruskan pemberlakuannya sebagai Perpu,"

Selanjutnya: Tak Ada Lagi Celah Hukum

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti juga berkomentar soal sikap Mahfud atas desakan agar Perpu Cipta Kerja ini dicabut. Ia melihat kata-kata "biar saja" yang disampaikan Mahfud merupakan respons dari seorang menteri yang notabene penyelenggara negara.

"Itulah mungkin budaya hukum yang ingin diperlihatkan oleh penguasa," kata Susi kepada Tempo.

Budaya hukum, kata dia, adalah persepsi penguasa terhadap hukum. Budaya hukum sangat ditentukan oleh nilai yang dianut. "Berhukum kok seperti ini?" ujar Susi heran.

Seperti Denny, Susi sepakat Perpu Cipta Kerja harus dicabut sesuai Pasa l22 UUD 1945 dan Pasal 52 UU PPP. Ia menegaskan tidak ada lagi celah hukum bagi pemerintah untuk menjustifikasi bahwa Perpu Cipta Kerja masih bisa dibahas di Masa Sidang IV.

Ia mengatakan penjelasan Pasal 52 yang menyebut persidangan yang berikut adalah persidangan pertama, merupakan penafsiran otentik dari pembuat undang-undang. Kalau pemerintah tidak mencabut dan DPR mendiamkan, kata Susi, artinya mereka undang-undang yang dibuat bersama.

"Bagaimana mungkin pembentuk undang-undang tidak mentaatI ketentuan yang dibuat sendiri?" kata dia. Susi tak sendirian. Menurut dia, suara yang sama untuk mencabut Perpu Cipta Kerja juga mencuat di kalangan pakar hukum tata negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS).

Kalaupun nanti pemerintah mencabut Perpu ini, dan menerbitkan Perpu baru agar bisa dibahas di Masa Sidang IV, Susi menyebut upaya ini juga diluar nalar. Perpu lahir karena ada kegentingan yang memaksa.

Maka, Perpu baru pengganti Perpu saat ini tidaklah memenuhi syarat konstitutif. "Kegentingan memaksa kan enggak bisa direncanakan," ujarnya.

 

 

(Kiki Agung\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar