Ketua Komisi Yudisial Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum.

Memutus Mata Rantai Mafia Peradilan

Jum'at, 24/02/2023 09:10 WIB
Ketua Komisi Yudisial Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum.

Ketua Komisi Yudisial Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum.

Jakarta, law-justice.co - Komisi Yudisial lahir sebagai salah satu desakan reformasi yang menilai mesti ada lembaga yang memiliki wewenang mengawasi cabang yudikatif. Buruknya perilaku hakim di masa orde baru ditambah pula lemahnya independensi hakim, dituding sebagai salah satu sisi buruk orde baru yang menyebabkan keadilan menjadi barang dagangan dan hukum menjadi permainan.

Gagasan ini sebenarnya sudah ada sejak pembahasan RUU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman di tahun 1968. Saat itu sempat diusulkan pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini diharapkan berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir terkait pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan hukuman jabatan untuk para hakim yang diajukan oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman. Namun, ide tersebut tidak berhasil menjadi materi UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Saat reformasi di tahun 1998, gagasan ini kembali menguat dan menemukan momentumnya. Melalui Amendemen Ketiga UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2001 disepakati tentang pembentukan Komisi Yudisial yang diatur secara khusus dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Semangat pembentukan Komisi Yudisial disandarkan pada keprihatinan mengenai kondisi wajah peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak.

Komisi Yudisial memiliki dua kewenangan konstitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya, dalam rangka mengoperasionalkan keberadaan Komisi Yudisial, maka dibentuk UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial pada 13 Agustus 2004.

Hal menarik dari Komisi ini, salah satunya, adalah pimpinannya selalu berasal dari kalangan akademisi bidang hukum yang dikenal memiliki track record dan integritas yang teruji. Sebut saja Ketua Komisi Yudisial pertama periode 2005-2010 dijabat oleh M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. Kemudian Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H, lalu dilanjutkan oleh Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum, dan Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum yang baru saja purna bakti tahun 2020.

Saat ini Komisi Yudisial lagi-lagi dipimpin oleh akademisi. KY kali ini dipimpin oleh Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. Dia dipercaya menjadi Ketua KY Periode 2020-2025 untuk paruh waktu I. Mukti Fajar Nur Dewata resmi menjadi Ketua Komisi Yudisial (KY) untuk periode 2021-2023. Sementara M Taufiq HZ terpilih sebagai Wakil Ketua KY periode 2021-2023. Keduanya dipilih berdasarkan pemungutan suara yang diikuti tujuh anggota KY periode 2020-2025 dalam rapat pleno yang digelar pada Senin (18/1/2021).

Dikenal sebagai Guru Besar di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Mukti hadir di KY menggebrak  dengan slogan SAKTI, yaitu Sinergi, Akuntabel, Kredibel, Transparan, dan ber-Integritas. Tema ini memiliki konsekuensi luar biasa terhadap kinerja dan kelembagaan Komisi Yudisial. Di satu sisi secara internal kelembagaan Komisi Yudisial harus mempunyai tata kelola yang efektif, akuntabel, transparan yang didukung oleh seluruh jajaran pimpinan dan staf yang berintegritas.

Kecepatan dan ketepatan dalam memberikan layanan terhadap para pencari keadilan menjadi orientasi dari manajemen internal yang tertata dengan baik. Sementara, di sisi eksternal, dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan Komisi Yudisial harus bersinergi dengan lembaga-lembaga penegak hukum lain, baik instansi seperti MA, Kejaksaan, KPK, Kepolisian, dan lain-lain maupun lembaga nonpemerintah seperti ormas, LSM, perguruan tinggi dan media massa agar menghasilkan kinerja yang kredibel. Hal tersebut dilakukan dengan harapan Komisi Yudisial akan mendapat kepercayaan publik.

Tak hanya Awasi, Tetapi Juga Melindungi

Selain menerima laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), KY juga memiliki tugas untuk melakukan advokasi hakim. KY mengambil langkah hukum dan/ atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

KY tidak hanya menegakkan, tapi juga menjaga hakim. KY melakukan upaya preventif untuk mengajak masyarakat menjaga peradilan. Advokasi hakim ini bertujuan agar independensi hakim tetap terjaga meski ada tekanan. Bentuk tekanan yang dihadapi hakim beragam, seperti ada pihak yang mengganggu proses persidangan atau menghalangi pelaksanaan eksekusi, serta mengancam keamanan hakim. Ada dua mekanisme dalam melakukan pelaporan terhadap dugaan merendahkan martabat hakim, yaitu bisa hakim/lembaga peradilan itu sendiri yang melaporkan atau inisiatif.

Menurut Mukti, KY memiliki tugas untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Tugas lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, selama ini dikenal hanya diterjemahkan sebagai pengawas saja.

“Jika hanya sebagai pengawasan, pasti ada resistensi. Dalam UU sendiri, tugas tersebut dibagi dalam beberapa bentuk,” jelas Mukti.

Di Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, KY mempunyai tugas melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim; menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH); melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran KEPPH secara tertutup; memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran KEPPH, mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

KY tidak cuma mengawasi saja, tapi juga melindungi hakim. Jadi jika sedang menangani kasus besar dan banyak intervensi, laporkan ke KY agar dapat dijaga independesinya. Karena hakim harus independen dan kompeten dan punya sensitifitas keadilan. Ini yang disebut progresif oleh Mukti.

“Pertama, benar hakim harus diawasi. Dua, untuk menjaga perilaku hakim, dilakukan peningkatan kapasitas hakim dalam bentuk pelatihan untuk meng-upgrade pemahaman hakim. Ketiga, dilakukan advokasi untuk melindungi independensi hakim,” ujar Mukti.

OTT KPK, Momentum KY dan MA untuk Meningkatkan Sinergi

Dalam kesempatan Fit and Proper test dengan anggota DPR, Mukti mengemukakan perlunya konsolidasi KY dengan MA. “Untuk itu kita perlu lakukan konsolidasi dengan Mahkamah Agung dengan prinsip dasar bahwa kita bekerja profesionalis sebagai lembaga hukum dimana kami orang-orang hukum di Komisi Yudisial bekerja sama dengan Mahkamah Agung yang juga notabenenya adalah orang-orang hukum tentunya kita akan berpikir dengan logika-logika hukum bukan dengan logika-logika politik,” ujarya di depan anggota komisi III DPR RI, Selasa (1/12/2020).

Tampaknya pernyataan yang disampaikan oleh Mukti Fajar ini kemudian terbukti akan menjadi salah satu fokus tugasnya. Jelang akhir tahun 2022, publik dikejutkan dengan berita tentang operasi tangkap tangan (OTT) Hakim Agung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terjeratnya dua hakim agung dan hakim yustisial, serta sejumlah pegawai Mahkamah Agung (MA) atas dugaan suap menunjukklan lemahnya integritas moral dari oknum yang bersangkutan.

KPK menetapkan 14 orang sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara di lingkungan Mahkamah Agung (MA) tersebut. Dua di antaranya merupakan hakim agung SD (Sudrajat Dimyati) dan GS (Gazalba Saleh). Terjaringnya dua hakim agung dan sejumlah pegawai Mahkamah Agung (MA) dalam OTT KPK pada September 2022 lalu menampar dunia peradilan di Indonesia.

Pengadilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakkan hukum dan keadilan dianggap tidak sekokoh yang diharapkan masyarakat pencari keadilan. Integritas kembali dipertanyakan meski MA dan KY telah melakukan fungsi pengawasan dan upaya-upaya preventif untuk mencegah adanya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Namun, terjeratnya dua hakim agung dan hakim yustisial, serta sejumlah pegawai MA menunjukkan masih ada yang kurang dalam upaya menjaga integritas hakim dan peradilan. Perlu upaya yang lebih kuat dan serius, agar marwah peradilan terutama Mahkamah Agung kembali dipercaya masyarakat.

Kasus ini pun menjadi momentum KY dan MA untuk lebih meningkatkan sinergisitas dalam melakukan pengawasan terhadap hakim dan instrumen pendukungnya. Mukti menegaskan, pihaknya terus mengupayakan proses penyempurnaan kinerja sebagai bentuk pelayanan kepada publik, termasuk untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pencari keadilan terhadap lembaga peradilan, khususnya MA. Mukti menyebutkan, KY telah berkomunikasi dengan MA dan memberikan rekomendasi, baik teknis maupun secara sistemik untuk perbaikan terkait peradilan di Indonesia.

Hal tersebut juga terkait dengan perbaikan dalam seleksi hakim. Seleksi terhadap kriteria kepribadian ini dilakukan dengan memperhatikan profile assessment dan track record calon hakim. Track record dari calon hakim agung ini, dikumpulkan dari informasi masyarakat, hasil asesmen para calon hakim agung, dan investigasi oleh KY, yang kemudian dilakukan konfirmasi ulang terhadap data yang diperoleh dengan cara klarifikasi.

Dia memastikan bahwa seleksi terhadap calon hakim dilakukan dengan ketat dan teliti. "Problematika terhadap rendahnya moralitas hakim baru muncul setelah hakim menjalankan tugasnya. Ketika seorang hakim menjalankan tugasnya akan menemukan berbagai macam gangguan seperti iming-iming suap," kata pria penggemar musik ini.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY) ini juga mengatakan, untuk mendapatkan calon hakim agung yang berintegritas, pihaknya juga bekerja sama dengan beberapa pihak, seperti KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) agar bisa mendapatkan rekam jejak para calon secara lebih komprehensif.

Tim Jaksa KPK telah melimpahkan berkas perkara dan dakwaan Hakim Agung Sudrajad Dimyati, Hakim Yustisial Elly Tri Pangestu, sejumlah pegawai MA, dan penyuap dari pihak swasta ke PN Bandung. Selain terdakwa penyuap, mereka telah menjalani sidang dengan agenda pembacaan surat dakwaan Rabu (15/2/2023). KY telah membentuk tim khusus untuk memonitor persidangan perkara-perkara ini.

Memutus Mata Rantai Mafia Peradilan

Berkaitan dengan kasus suap yang menimpa dua hakim agung, ketua KY menyatakan hal tersebut tak semata terkait dengan proses seleksi calon hakim agung. Ketua KY Mukti Fajar Nur Dewata sempat mengungkap proses pemeriksaan etik yang telah dilakukan KY penetapan tersangka hakim agung dan hakim yustisial di MA. "KY juga mendapatkan dukungan dari KPK untuk melakukan pemeriksaan terhadap sembilan orang, baik hakim maupun non hakim yang diperiksa dan dimintai keterangan oleh KY. Siapapun yang diduga terlibat atau mengetahui informasi yang berhubungan dengan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim akan diperiksa dan dimintai keterangan," urainya.

Dia juga menegaskan, semua Hakim Agung, termasuk Sudrajad Dimyati, dinyatakan 100% clean & clear pada saat masih dalam proses seleksi. Kriteria seleksi ini meliputi kualitas, kesehatan, dan kepribadian. Seleksi terhadap kriteria kepribadian ini dilakukan dengan memperhatikan profile assessment dan track record calon hakim. Track record dari calon hakim ini, dikumpulkan dari informasi masyarakat, self asessment calon hakim, dan investigasi oleh KY, yang kemudian dilakukan konfirmasi ulang terhadap data yang diperoleh dengan cara klarifikasi. Dia memastikan bahwa seleksi terhadap calon hakim dilakukan dengan strict dan teliti.

Menurutnya, problematika terhadap rendahnya moralitas hakim baru muncul setelah hakim menjalankan tugasnya. Ketika seorang hakim menjalankan tugasnya akan menemukan berbagai macam gangguan seperti iming-iming suap. Berdasarkan temuan KY, dideteksi bahwa adanya mafia peradilan yang mirip dengan sel teroris. Mafia ini ditemukan tidak hanya pada tingkatan hakim tetapi juga di berbagai tingkatan elemen lain mulai dari sopir, staf, hingga panitera. Hal ini dapat dilihat karena untuk menemui hakim secara langsung akan susah karena menimbulkan kecurigaan. Sehingga pasti ada perantara dari salah satu elemen ini untuk menjembatani antara pihak yang berperkara dengan hakim. Dalam rangka menangani masalah mafia kasus, KY memberikan rekomendasi dan telah dijalankan oleh MA untuk melakukan mutasi terhadap belasan staf dan panitera sehingga diharapkan bisa memutus rantai sel mafia peradilan.

(Bandot DM\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar