Korupsi Sektor Sawit Bisa Lunasi Hutang Negara

Saat Rakyat Menjerit Migor Mahal, Mafia Bersorak

Sabtu, 18/02/2023 13:09 WIB
Foto udara yang menggambarkan deforestrasi akibat ekspansi perkebunan sawit. (greenpeace)

Foto udara yang menggambarkan deforestrasi akibat ekspansi perkebunan sawit. (greenpeace)

Jakarta, law-justice.co - Sektor kelapa sawit merupakan industri dengan spektrum cakupan paling luas. Mulai dari hulu di bidang perkebunan yang meliputi pengadaan lahan, pembibitan hingga panen. Sementara sektor hilir meliputi industri pabrik CPO, minyak goreng, dan industri turunannya.

Namun, skema industri kita masih dominan untuk ekspor CPO sehingga industri di bawahnya pun terbengkalai. Bahkan, setahun belakangan, imbas dari pungutan ekspor yang dihapus sementara, CPO ramai-ramai di ekspor hingga industri minyak goreng pun tak dapat pasokan. Akibatnya, rakyat menjerit karena minyak goreng sempat langka dan harganya meroket.

Sementara di sektor perkebunan yang umunya dikuasai oleh taipan, ramai disorot penyerobotan tanah ilegal. Baik tanah rakyat mau pun tanah hutan. Salah seorang taipan sawit yang tengah berurusan dengan hukum Surya Darmadi menyebutkan dengan mengungkap 100 kejahatan sawit seperti dirinya, utang negara bisa lunas. Surya Darmadi tengah menjani sidang korupsi di PN Jakpus. Dalam tuntutannya, JPU menuntut hukuman seumur hidup dan kerugian negara Rp 76 triliun. Sebuah prestasi luar biasa, tuntutan maksimal dengan penggantian kerugian negara terbesar sepanjang sejarah.

Teriakan Surya darmadi pasca sidang tuntutannya itu tampaknya bukanlah isapan jempol belaka. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) dalam ihtisar hasil pemeriksaan semester II tahun 2021 menyebutkan Hingga tahun 2020, terdapat perkebunan kelapa sawit seluas ±2,90 juta ha yang berada dalam kawasan hutan tetapi tanpa izin bidang kehutanan, dan belum teridentifikasi subjek hukumnya.

Hal tersebut berakibat potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) total sebesar Rp20,22 triliun dan US$6,15 miliar belum dapat ditagihkan ke badan usaha, serta Kementerian LHK belum dapat memproses sanksi administratif atas aktivitas perkebunan yang belum diketahui subjek hukumnya.

Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2021

Harus diakui, industri sawit merupakan salah satu industri paling kompleks. Di hulu dia merupakan industri padat karya. Di hilir tergolong padat modal. Menurut Joko Supriyono Ketua Umum GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit) Industri kelapa sawit memperkerjakan kurang lebih 2,8 juta orang on farm (lagsung), 1,6 juta diantaranya dalah petani sawit pekebun kecil. Arinya palingtidak ada 4,8 juta orang yang menjadikan kebun kjelapa sawit sebagai tempat menggantungkan hirup.

Namun, di satu sisi umumnya lahan sawit dikuasi taipan seperti Surya Darmadi. Untuk itu sejumlah kalangan berharap   agar putusan kasus ini memberikan keadilan bagi lingkungan hidup dan masyarakat terdampak. Ia juga bisa jadi jalan menjerat kasus-kasus kabun sawit serupa di Indonesia.

Fakta-fakta terungkap, mengenai kebun sawit dalam kawasan hutan, perizinan tidak lengkap, berkonflik dengan masyarakat karena merampas lahan masyarakat dan tidak menyediakan kebun kemitraan. Terakhir, menyembunyikan kekayaan dari hasil kejahatan.

Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi mendesak agar lembaga peradilan mengambil keputusan adil atas kejahatan kehutanan dan perizinan kebun perusahaan sawit Surya Darmadi ini. Mengingat begitu banyak  kebun perusahaan sawit masuk Kawasan hutan,  kasus Surya Darmadi ini bisa jadi penguat penegakan hukum bagi kasus lain. “Banyak perusahaan lakukan hal sama,” katanya.

Jika merujuk pada laporan BPK di atas, lebih dari 2 juta hektar lahan bermasalah. Salah satunya adalah dengan menepati areal lokasi hutan. Analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map menemukan seluas 3,12 juta hektar (ha) perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019. Seperti dikutip dalam laporan terbaru Greenpeace Indonesia, setidaknya terdapat 600 perusahan perkebunan di dalam kawasan hutan, dan sekitar 90.200 hektar perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan konservasi. Letak perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan paling luas berada di pulau Sumatera (61,5%) dan Kalimantan (35,7%). Dari kedua pulau tersebut, terdapat dua provinsi ekspansi besar yaitu provinsi Riau (1.231.614 hektar) dan Kalimantan Tengah (821.862 hektar). Kedua provinsi ini menyumbang dua pertiga dari total nasional.

Temuan ini membuktikan bahwa perkebunan kelapa sawit beroperasi di hampir semua kategori kawasan hutan, mulai dari taman nasional, suaka margasatwa, bahkan di situs UNESCO. Semuanya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Sekitar 186.687 ha kebun sawit dalam kawasan hutan, teridentifikasi sebagai habitat orangutan, dan 148.839 ha sebagai habitat harimau Sumatera. Hal ini jelas mendorong kepunahan jenis satwa endemik milik Indonesia.

Padahal berdasarkan kajian KPK tahun 2018, kerugian negara akibat penebangan ilegal mencapai 35 triliun rupiah per tahun, serta potensi pajak di sektor sawit mencapai Rp 40 triliun, namun pemerintah hanya mampu memungut pajak sebesar Rp 21,87 triliun.

Potensi hilangnya penerimaan negara dari pajak kebun sawit tersebut tentunya tak sebanding dengan dampak sosial dan lingkungan yang dialami oleh masyarakat sekitar. Masyarakat adat dan warga yang tinggal di sekitar hutan kehilangan sumber pendapatan, menjadi korban bencana asap akibat kebakaran lahan, serta berisiko menghadapi amukan satwa liar akibat meningkatnya konflik manusia dan satwa liar.

Di antara perusahaan-perusahaan tersebut, Greenpeace Indonesia juga mengidentifikasi hampir 100 perusahaan anggota RSPO dengan masing-masing memiliki lebih dari 100 ha yang ditanam di dalam kawasan hutan, sementara terdapat delapan perusahaan dengan masing-masing memiliki lebih dari 10.000 ha. Kendati ISPO merupakan inisiatif lebih baru, perusahaan bersertifikasi ISPO secara total memiliki 252.000 ha yang ditanam di dalam kawasan hutan. Padahal kedua mekanisme sertifikasi ini secara jelas harus mematuhi hukum yang berlaku. 

Keberadaan signifikan dari perkebunan-perkebunan bersertifikasi RSPO dan ISPO di dalam kawasan hutan membahayakan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Dalam Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2021, “code red for humanity,” menyatakan bahwa setelah penggunaan energi fosil, perubahan fungsi lahan, termasuk kegiatan seperti konversi kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, merupakan penyumbang kedua terbesar terhadap perubahan iklim yang dipicu oleh manusia. 

 Greenpeace Indonesia juga menemukan sepanjang tahun 2001-2019, hutan primer seluas 870.995 Ha dalam kawasan hutan telah berubah menjadi kebun sawit dan diperkirakan telah melepas sekitar 104 juta metrik ton karbon. Ini setara dengan 33 kali emisi karbon tahunan yang dihasilkan untuk konsumsi listrik oleh semua rumah di Jakarta, atau 60% dari emisi tahunan penerbangan internasional. 

Sementara itu, Raynaldo G Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menungkapkan begitu banyak masalah perizinan perkebunan sawit antara lain, tidak ada mekanisme perencanaan perizinan berbasis tata ruang, tumpang tindih dan dibiarkan masuk ke kawasan-kawasan yang sebenarnya tidak boleh. Masalah lain, katanya, koordinasi antar instansi vertikal maupun horizontal tidak berjalan baik. Temuan ICEL 2015-2018, tipologi pelanggaran perkebunan sawit selalu soal administrasi perizinan. Izin usaha keluar serampangan termasuk dalam kawasan hutan. Seolah menafikkan sistem perizinan yang dibangun dan semua bermuara pada satu situasi koruptif.

Fenomena serupa tampak terekam dalam tuntutan jaksa penuntut umum kepada Surya Darmadi. Pemilik PT Duta Palma Group Surya Darmadi ini dituntut pidana penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Surya merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi penyerobotan lahan di Indragiri Hulu (Inhu), Riau dan tindak pidana pencucian uang dalam (TPPU).

Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Agung meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menyatakan, Surya Darmadi bersama mantan Bupati Indragiri Hulu, Raja Thamsir bersalah melakukan korupsi. “Menghukum terdakwa Surya Darmadi dengan pidana penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan,” kata Jaksa di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Senin (6/2/2023).

Dalam tuntutannya, jaksa menilai Surya Darmadi terbukti melakukan perbuatan melawan hukum berupa penyerobotan lahan yang menimbulkan kerugian negara Rp 4,7 triliun dan 7,8 juta dollar Amerika Serikat  dan kerugian perekonomian negara sekitar Rp 73,9 triliun lebih. Surya Darmadi juga dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan mengalihkan uang hasil korupsinya menjadi aset maupun mengalir ke sejumlah perusahaan. Hal ini sebagaimana dakwaan primer Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Kemudian, Pasal 3 Ayat (1) huruf c Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan atau Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebelumnya, Kejaksaan Agung mendakwa Surya Darmadi didakwa merugikan perekonomian negara sebesar Rp 73,9 triliun dalam dugaan korupsi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang dilakukan sejak 2004 hingga 2022. Korupsi itu diduga dilakukan bersama dengan Bupati Indragiri Hulu saat itu, Raja Thamsir.

Menurut Jaksa, Surya Darmadi mengoperasikan usaha perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan menggunakan izin lokasi dan izin usaha perkebunan tanpa izin prinsip dan bertentangan dengan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) dan tidak memiliki izin kawasan hutan. Jaksa juga menyebut Surya Darmadi tidak membangun kebun untuk warga minimal 20 persen dari jumlah luas kebun.

Surya Darmadi terdakwa perkara dugaan korupsi Perkebunan Sawit Ilegal saat akan menjalani agenda pembacaan pledoi, Rabu (15/2/2023)

 

Berlindung di Balik UU Ciptaker

Upaya JPU untuk menghukum maksimal  Surya tampaknya tak akan mudah. Kuasa Hukum pemilik PT Duta Palma, Surya Darmadi, Juniver Girsang, menggunakan  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja untuk menangkis tuntutan JPU. Menurut Juniver, Surya Darmadi tidak dapat diproses hukum dan harus dibebaskan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejagung.

"Saya di dalam pledoi menegakkan hukum melanggar hukum. Kejaksaan mengabaikan Undang-Undang Cipta Kerja," ujarnya setelah persidangan beragenda pembacaan pledoi Surya Darmadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (15/2/2023).

Menurut dia, Surya Darmadi seharusnya tidak dapat diproses hukum jika mengacu pada Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Berdasarkan Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, menyebut bahwa lahan usaha yang berada di kawasan hutan diberi waktu tiga tahun hingga 2023 untuk mengurus perizinan pelepasan kawasan hutan.

Mengacu Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, diberikan waktu tiga tahun menyelesaikan perizinan dan pelanggaran atas ketentuan itu hanya dikenakan sanksi administratif.

"Di dalam pledoi, fokus utama menyampaikan bahwa perkara ini tidak harus diproses. Dan dengan memasuki kawasan hutan kita (Surya Darmadi,-red) dianggap melakukan perbuatan melawan hukum," kata dia.

Padahal, dia menjelaskan, Surya Darmadi sudah mengajukan permohonan keterlanjuran memasuki kawasan hutan.  Diketahui, dua dari tiga perusahaan sawit milik Surya Darmadi telah mengantongi izin hak guna usaha (HGU). Sedangkan tiga perusahaan lainnya tengah proses penerbitan HGU.

"Kami kaget adalah kejaksaan melakukan proses yang menyatakan memasuki kawasan hutan adalah tindak pidana korupsi," ujarnya.

Atas dasar itu, dia meminta agar Surya Darmadi dibebaskan dari tuntutan pidana. Sebab, kata dia, Surya Darmadi tidak melakukan pelanggaran hukum seperti apa yang dituntut oleh jaksa penuntut umum.

"Tak pada tempatnya Surya Darmadi diminta dan didudukkan menjadi terdakwa terhadap dugaan korupsi oleh kejaksaan. Ini abuse of power. Diskriminasi penegakan hukum dan hak asasi manusia," kata dia.

Seharusnya, dia menambahkan, kejaksaan mematuhi aturan hukum adminstrasi yang diatur di dalam UU Cipta Kerja. Dia mengkhawatirkan jika Surya Darmadi diproses hukum, maka akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan membuat takut para investor untuk berinvestasi.

Hal senada disampaikan juga oleh politisi Partai Demokrat anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan. Menurut dia,  kejaksaan melakukan kekeliruan menuntut Surya Darmadi dalam kasus korupsi lahan sawit PT Duta Palma.  "Kejaksaan Agung harus menghormati rezim hukum administratif. Pasal 110 A dan B, kok tidak dipakai. Tidak boleh langsung ultimum remedium. Tak dipenuhi (hukum administratif,-red) baru pidana," ujar Hinca kepada wartawan di Jakarta pada Rabu (14/2/2023).

Pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja lahir untuk menyikapi tumpang tindih perizinan di daerah.  Runtuhnya rezim orde baru ditandai dengan sistem sentralisasi berubah menjadi desentralisasi. Terkait izin-izin pengelokaan tidak lagi hanya dimonopoli Kementerian Kehutanan, tetapi otonomi daerah berperan penting.  "Pasal 110 a dan 110 b Ini dipakai menteri LHK mengobati pesakitan. Pasal ini mengoreksi salah satu pasal di UU Kehutanan terkait perkebunan," kata dia.

Sementara itu, dalam catatan law-justice, kasus yang kini tengah bergulir di PN Tipikor Jakarta pusat ini bukan satu-satunya kasus yang menjerat Surya. Sebelumnya, Surya Darmadi justru telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan bahkan sempat masuk daftar DPO.

Surya Darmadi dijerat sebagai tersangka sejak 2019 melalui pengembangan kasus yang diusut KPK dari perkara suap mantan Gubernur Riau Annas Maamun.

Annas Maamun terjaring operasi tangkap tangan (OTT) pada September 2014. Seorang lain yang juga dijerat kala itu adalah Gulat Medali Emas Manurung sebagai Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Riau. Baik Annas maupun Gulat telah divonis bersalah hingga putusannya berkekuatan hukum tetap.

Kemudian KPK mengembangkan penyidikan hingga menjerat korporasi dan dua tersangka lagi. Korporasi yang dijerat sebagai tersangka adalah PT Palma Satu. Sedangkan 2 tersangka lainnya adalah Suheri Terta sebagai Legal Manager PT Duta Palma Group tahun 2014 dan Surya Darmadi sebagai pemilik PT Darmex Group atau PT Duta Palma. Mereka diduga terlibat dalam kasus suap terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau pada Kementerian Kehutanan tahun 2014.

Dalam kasus ini Surya Darmadi sempat diperiksa sebagai saksi dalam persidangan Annas Maamun di PN Tipikor bandung bersama mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Sayangnya Juru Bicara KPK Ali Fikri tidak berkomentar ketika ditanyakan apakah akan ada pengembangan kasus dengan tersangka Surya Darmadi ini. Padahal jika melihat besaran kekuasaan Gubernur dibanding Bupati tentunya berpeluang untuk menemukan kerugian negara yang lebih besar lagi.

Tak Hanya Di Hulu, Di Hilir Pun Bocor

Sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia, ternyata Indonesia sempat merasakan kelangkaan minyak goreng. Pemeo ayam mati kelaparan di lumbung padi tampaknya cocok untuk membaca tragedi ini. Sengkarut sawit, tampaknya tidak hanya terjadi di hulu saja. Di sektor hilir pun sama saja.

Permasalahan menjadi semakin pelik ketika dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VI DPR RI beberapa waktu lalu Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengeluhkan pemerintah yang masih berutang ke pengusaha.

Ketua Umum Roy Nicholas Mandey mengatakan bila uang rafaksi tersebut terkait penjualan minyak goreng kemasan seharga Rp 14 ribu per liter di toko ritel pada Januari 2022 lalu. Ia mengatakan jumlah ritel Aprindo yang terlibat dalam penjualan itu mencapai 42 ribu, Uang itu berasal dari selisih harga pembelian minyak goreng kemasan yang lebih tinggi dibandingkan harga jual di ritel modern.

Roy membeberkan bahwa pemerintah menugaskan Aprindo untuk menjual minyak goreng kemasan sebesar Rp 14 ribu mulai 19 Januari 2022. Padahal, menurutnya pengusaha ritel harus membeli minyak goreng kemasan dari distributor lebih dari Rp 14 ribu per liter. Saat itu, produsen menjual minyak goreng kemasan dari Rp16 ribu-Rp20 ribu per liter. Dia menyoroti rafaksi (pemotongan harga) minyak goreng yang sudah dilakukan oleh para peritel.

Ia menjelaskan kronologi mengenai rafaksi yang terjadi dalam subsidi minyak goreng. Diawali pada September 2021, harga minyak goreng mulai meningkat untuk seluruh tipe kemasan. Adanya kenaikan harga tersebut, disambut dengan langkah persuasi untuk menyetok minyak goreng sampai 10.000 ton oleh ritel.

“Konkretnya ga sampai 10.000 ton yang masuk, tetapi kami memperhitungkan dari anggota (Aprindo), sekitar 30% dari distribusi minyak goreng yang dapat tersalurkan ke retail modern,” kata Roy setelah RDPU Komisi VI DPR RI bersama Aprindo.

Pada perkembangannya, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 1/2022 yang berisikan peran Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang memfasilitasi harga tinggi dengan memberikan subsidi. Lalu keluar kembali Permendag 3/2022 yang menginstruksikan harga pada seluruh tipe kemasan minyak goreng di angka Rp14.000. “Jadi hitungannya per liter apapun jenisnya, minyak goreng premium, minyak goreng sederhana, atau curah itu Rp14.000 satu harga,” jelas Roy.

Kebijakan mengenai satu harga ini jelas merugikan penjual karena stok-stok yang ada di pusat distribusi dibeli lebih mahal. Namun, mengingat adanya peran BPDPKS, yakni pemerintah akan menanggung selisih harga beli yang mahal.

Ketum Aprindo itu menyebutkan bahwa dalam Permendag 3 mengenai pembayaran selisih tersebut akan dilakukan pada empat belas hari, namun sampai Maret 2022 hingga dikeluarkan Permendag 11 belum turun juga penggantian tersebut.

Pihaknya pun telah melakukan audiensi kepada Menteri Perdagangan mengenai penggantian tersebut.

“Pada saat audiensi kita menanyakan mengenai rafaksi karena kok kami kan tidak tahu prosesnya di belakang, kami kan bukan pemerintah, kita pelaku usaha. Kemendag menyatakan bahwa Permendag 3/2022 tentang rafaksi minyak goreng sudah ga berlaku,” tambahnya.

 Roy mengatakan hingga saat ini belum menerima pembayaran dari BPDPKS yang totalnya sampai Rp344 miliar. “Per 31 Januari 2022 adalah Rp344.355.425,760 miliar,” ucapnya. Total Rp344 miliar tersebut milik dari 31 perusahaan, dengan gerai hampir di atas 42 ribu. Sebagaimana diketahui, rafaksi merupakan selisih harga pada saat membeli dengan harga mahal, namun dijual dengan harga murah.

Diketahui Aprindo terdiri dari 600 korporasi ritel modern dan 48.000 toko/gerai modern di Indonesia. Aprindo sejauh ini telah melakukan berbagai langkah untuk mendapatkan selisih bayar dari pemerintah terhadap kebijakan satu harga migor tersebut. Diantaranya, Aprindo telah melakukan audiensi dengan Menteri Perdagangan, audiensi dengan BPDP-KS, audiensi dengan kantor staf presiden, namun hingga saat ini masih belum mendapat kepastian terhadap pembayaran tersebut.

Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan pihaknya berpegang teguh pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS.  "BPDPKS membayar selisih antara harga keekonomian dengan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang disalurkan setelah BPDPKS menerima hasil verifikasi dari Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag," kata Eddy sebagaimana dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (15/2/2023).

 "Sampai saat ini BPDPKS belum menerima hasil verifikasi tersebut, sehingga tagihan dari anggota asosiasi ritel belum bisa dibayar. Untuk itu bisa di cek ke Dirjen PDN, status verifikasi tagihan tersebut sudah sampai mana?" sambungnya.  Di dalam Bab III Permendag Nomor 3 Tahun 2022 dijelaskan soal verifikasi adalah bagian dari rangkaian yang harus diselesaikan sebelum BPDPKS membayar uang selisih harga tersebut.

 Secara khusus di bab tersebut, yakni pasal 8 ayat 1 dijelaskan bahwa untuk memperoleh dana pembiayaan minyak goreng kemasan, pelaku usaha harus mengajukan permohonan pembayaran dana pembiayaan minyak goreng kemasan kepada BPDPKS. Kemudian, di pasal 8 ayat 2 disebutkan permohonan itu disampaikan secara tertulis disertai laporan rekapitulasi dan bukti transaksi penjualan pada setiap distributor atau pengecer yang berisikan nama, volume, dan harga dari yang diserahkan; dan faktur pajak.

Dilain sisi, Anggota Komisi VI DPR RI Evita Nursanty mengatakan bila terkait permasalahan kelapa sawit dan minyak goreng ini pihaknya akan segera memanggil Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan BPDP-KS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Hal tersebut tentu untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut sehingga polemik ini bisa segera terselesaikan.

Menurutnya jika selisih pembayaran tersebut tidak segera diselesaikan, maka akan berdampak pada keuangan yang dimiliki ritel-ritel tersebut. Terlebih, sekitar satu bulan lagi, Indonesia akan menghadapi bulan Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. "Komisi VI memutuskan akan segera memanggil Kementerian Perdagangan dan BPDPKS ya untuk menindaklanjuti hal ini," kata Evita kepada Law-Justice. Evita menyeburkan bila pemerintah dalam hal ini Kemendag yang membuat aturan satu harga minyak goreng tersebut, harus bertanggung jawab terkait hal ini. Agar kedepannya tidak lantas menyulitkan pengusaha-pengusaha ritel di Indonesia. “Mereka ini belinya mahal, diwajibkan untuk membeli murah terus siapa yang bayar (selisihnya) ya pemerintah dalam hal ini kementerian perdagangan yang membuat aturan tersebut wajib untuk bertanggung jawab," ungkapnya.

Kusut Pengelolaan Triliunan Dana BPDPKS, Siapa Diuntungkan?

Peran Badan Pengelola dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di tengah polemik kelangkaan minyak goreng tak luput dari sorotan DPR. Dengan anggaran besar, kontribusi Badan Pengelola dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dipertanyakan.  Wakil Ketua Komisi IV DPR, Anggia Erma Rini mengkritisi peran BPDPKS. Dia menyoroti demikian karena pemerintah berencana mencabut subsidi minyak goreng curah mulai 31 Mei 2022.  

Dia bilang anggaran BPDPKS sangat besar sekitar Rp 130 triliun. Tapi, belum proporsional mendukung subsidi sawit rakyat. Menurut dia, untuk subsidi minyak goreng curah hanya Rp7,6 triliun dan biodiesel mencapai Rp110,03 triliun.

“BPDPKS ini mengelola dana yang luar biasa besar, anggaran kementerian kita itu nggak ada yang sampai segitu, pengalokasiannya inilah yang selalu kita soroti sangat tidak proporsional dan sangat tidak pro-rakyat," kata Anggia.

Untuk itu, Anggia mempertanyakan siapa pihak yang menikmati sebagian besar buat biodiesel tersebut. Padahal, penyumbang anggaran dan pungutan ekspor itu adalah para petani sawit rakyat. “Saya pernah di Panja mempertanyakan apakah petani rakyat menyumbang pungutan itu, anggaran itu? Jawabannya ke sana-kemari dan nggak jelas," tutur politikus PKB itu.

Bagi dia, dengan peran BPDPKS yang tidak optimal maka perlu dievaluasi. Sebab, rakyat yang punya sumbangan besar mesti tahu kinerja BPDPKS. "Kita tersinggung nih, rakyat ini punya sumbangan besar, punya kontribusi yang besar, untuk anggaran yang besar sekarang dikelola oleh BPDPKS. Menurut saya, perlu dievaluasi tentang penggunaan anggaran dan kebijakannya,” katanya.

Sementara, Anggota Komisi VI DPR Fraksi Partai NasDem, Rudi Hartono Bangun juga menyoroti dana besar BPDPKS. Namun, sangat minim untuk sawit rakyat dan peran pejabat terkait dalam kelangkaan minyak goreng. “Kalau pejabat kita kompak, aparatur hukum, polisi, jaksa, DPR semua kompak mengawasi, termasuk Pak Presiden juga tetap sebenarnya ini tidak terjadi kelangkaan minyak goreng," ujarnya.

Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron mengatakan permasalahan lain dari BPDPKS adalah adanya potensi penyimpangan dalam program biodiesel B35. Menurutnya, ada pelanggaran dalam alokasi dana dalam bentuk subsidi kepada perusahaan sawit. Herman merasa apa yang dilakukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sudah jauh dari ruh pembentukan awal badan tersebut. Sejatinya, ia menyebut dana BPDPKS diperuntukkan bukan untuk mensubsidi harga biodiesel.

“BPDPKS sudah jauh dari ruhnya. Saya semakin aneh karena kok kalau melihat alokasi anggaran sekarang menyimpang, dari sebelumnya untuk peremajaan dan peningkatan produktivitas petani sawit malah sekarang lebih banyak digunakan untuk subsidi selisih harga biodiesel,” kata Hero kepada Law-Justice. Herman mengutip laporan keuangan BPDPKS 2021 yang komposisinya sudah sangat jauh, di mana Rp 51 triliun untuk subsidi selisih harga biodiesel dan hanya Rp1,3 triliun untuk peremajaan lahan sawit.

Ia menegaskan aturan soal BPDPKS tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Kemudian, lahir Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. “Jenis kelamin BPDPKS ini gak jelas. Karena dia tidak masuk di Komisi IV, juga tidak masuk di Komisi VI. BPDPKS nyaris tidak ada pengawasan secara khusus terhadap pelaksanaan karena di bawah langsung Kemenko Perekonomian. Ini yang menurut saya pelanggarannya semakin jauh,” ungkap Herman.

“Kalau sekarang sebagian besar dananya digunakan untuk subsidi selisih harga biodiesel, sekali lagi saya pastikan ini adalah pelanggaran. Pelanggaran keuangan yang sesungguhnya sudah diamanatkan di dalam UU bahwa dana ini bukan untuk mensubsidi terhadap selisih harga biodiesel,” sambungnya.

Dalam  rangka   meningkatkan   harga,   memperkuat   industri   hilir, dan  membangun    komoditas  kelapa  sawit  yang  berkelanjutan,  padatahun  2015,  Pemerintah  membentuk  Dana  Perkebunan  Kelapa  Sawit (DPKS).  Pengelolaan  dana  tersebut  dilakukan  oleh  Badan  Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yaitu satuan kerja BLU pada Kementerian   Keuangan   (Kemenkeu).   Untuk   menjalankan   program/ kegiatan  pemerintah  tersebut,  BPDPKS  melibatkan  instansi  lainnya antara   lain   Ditjen   Perkebunan   Kementerian   Pertanian   (termasuk Dinas  Perkebunan  Provinsi/Kabupaten/Kota)  untuk  program/kegiatan peremajaan perkebunan kelapa sawit, serta Ditjen Migas dan Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM untuk  program/kegiatan  penyediaan  dan  pemanfaatan  Bahan  Bakar  Nabati (BBN) jenis biodiesel.

Ikhtisar Pemeriksaan Semester II 2020. (Sumber: BPK)

Pada   semester   II   2020   BPK   melakukan   pemeriksaan   DTT   atas pengelolaan dan  pemanfaatan dana perkebunan kelapa sawit pada 3 K/L, yaitu: Hasil  pemeriksaan  BPK  menyimpulkan  pelaksanaan  kegiatan  telah dilakukan sesuai kriteria dengan pengecualian pada 2 entitas dan tidak sesuai dengan kriteria pada 1 entitas. Hasil pemeriksaan mengungkapkan 21 temuan yang memuat 41 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 23 kelemahan sistem pengendalian intern, 13 ketidakpatuhan terhadap  ketentuan  peraturan  perundang-undangan  sebesar  Rp1,24 triliun, dan 5 permasalahan 3E sebesar Rp11,05 juta.

BPDPKS merupakan BLU yang susunan dan tata kerja organisasinya berdasarkan PMK No. 113/PMK.01/2015 tanggal 11 juni 2015. BPDPKS bergerak pada bidang  pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit yang dibentuk sebagai pelaksanaan amanat pasal 93 Undang-Undang Nomor 39  Tahun  2014  tentang  Perkebunan,  yakni  menghimpun  dana  dari pelaku usaha perkebunan atau lebih dikenal dengan Crude Palm Oil/CPO Supporting Fund (CSF) yang akan digunakan sebagai pendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Pengunaan dana perkebunan sawit digunakan oleh BPDPKS untuk melaksanakan program sebagaimana diatur pada Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan dan Perkebunan Kelapa Sawit yang kemudian ditetapkan implementasinya oleh BPDPKS menjadi program-program antara lain peremajaan perkebunan kelapa sawit, pengembangan dan pemanfaatan bahan bakar nabati, ppenelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, promosi perkebunan kelapa sawit, pengembangan sumber daya manusia perkebunan kelapa sawit, dan sarana dan prasarana perkebunan kelapasawit. Pendanaan program-program BPDPKS sebagaimana diuraikan di  atas bersumber dari pengelolaan penempatan dana dan nilai pungutan ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya.

BPK telah melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pungutan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit pada BPDPKS, PT Pertamina (Persero) sebagai BUBBM dan BUBBM lainnya yang memproduksi  biosolar  dengan  campuran  biodiesel  untuk  tahun  2018 -semester I tahun 2020. Lingkup pemeriksaan meliputi pungutan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit tahun 2018-semester I tahun 2020. Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa atas pengelolaan pungutan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit pada BPDPKS, PT Pertamina (Persero) selaku BUBBM, dan BUBBM lainnya yang memproduksi biosolar dengan campuran biodiesel telah sesuai kriteria dengan pengecualian.

Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa kegiatan penyediaan dan  pemanfaatan  bahan  bakar  nabati  jenis  biodiesel  dilakukan  tidak sesuai  dengan kriteria.  Permasalahan signifikan  yang ditemukan dalam pemeriksaan ini antara lain: Ditjen Migas Kementerian ESDM telah menerbitkan surat tagihan sanksi administrasi berupa denda penyaluran pada tahun 2018 sebesar Rp821,88 miliar kepada badan usaha yang tidak memenuhi kewajiban penyaluran, namun belum terdapat pembayaran oleh badan usaha. Sementara pada tahun 2019 dan 2020 terdapat potensi denda penyaluran minimal sebesar Rp400,17 miliar, namun Kementerian ESDM belum menetapkan sanksi tersebut. Hal ini mengakibatkan negara belum menerima pendapatan denda sebesar Rp821,88 miliar dan adanya potensi denda tahun 2019 dan 2020 minimal sebesar Rp400,17 miliar yang belum ditetapkan. BPK merekomendasikan Kementerian ESDM agar memproses sesuai ketentuan atas surat tagihan sanksi administrasi yang telah diterbitkan dengan menyetorkan ke kas negara, dan berkoordinasi dengan Kemenkeu untuk penetapan pemberian sanksi denda kepada badan usaha untuk periode tahun 2019 dan 2020 untuk selanjutnya disetorkan ke kas negara.

Pengawasan Dirjen Migas terhadap pelaksanaan penyediaan dan pemanfaatan BBN jenis biodiesel dalam kerangka pembiayaan oleh BPDPKS tidak sesuai dengan pedoman verifikasi yang telah ditetapkan. Di antaranya, Tim Pengawas selama tahun 2019-2020 tidak melakukan evaluasi atas hasil verifikasi laporan yang disampaikan oleh BUBBN dan BUBBM serta tidak pernah memonitor kecukupan dan kelayakan sarana dan fasilitas BUBBM dan BUBBN. Sebagai akibatnya, Kementerian ESDM tidak dapat mengukur efektivitas pencapaian tujuan dalam kegiatan penyediaan dan pemanfaatan BBN jenis biodiesel. BPK merekomendasikan kepada Menteri ESDM agar menginstruksikan Tim Pengawas pada Kementerian ESDM merumuskan kertas kerja alokasi biodiesel secara komprehensif serta membuat database penyaluran biosolar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurahman tidak menanggapi surat konfirmasi yang dikirmkan oleh Law-Justice. terkait dengan adanya sejumlah penyimpangan ini.

Pengelolaan dana oleh BPDPKS juga menjadi sorotan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie OFP saat memimpin Tim Kunjungan Kerja Spesifik (Kunspik) Komisi XI DPR RI di Pontianak, Kalimantan Barat. Kunspik tersebut dalam rangka untuk mengevaluasi kinerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) terhadap kegiatan peremajaan kelapa sawit di provinsi itu.

Komisi XI, tegasnya, menyatakan bahwa seharusnya BPDPKS dapat memberikan alokasi dana sawit untuk replanting yang lebih besar. Sehingga, hal itu dapat memberikan akses yang lebih luas bagi perkebunan sawit yang dimiliki rakyat. "Kita (Komisi XI) ingin porsinya lebih besar, sehingga bisa memberikan akses yang lebih luas bagi kebun rakyat untuk replanting" kata Dolfie dengan sapaan akrabnya pada saat Kunspik Komisi XI di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (2/2/2023).

Dolfie menyampaikan, sebagaimana informasi yang diterima dari BPDPKS, bahwa sejauh ini terdapat tiga alokasi penggunaan dana sawit, yaitu untuk kegiatan sosial, replanting, dan biodiesel. Di antara tiga alokasi penggunaan dana sawit tersebut yang terbesar adalah untuk biodiesel.

"Sebagaimana kita lihat tadi, profilnya satu persen itu digunakan untuk kegiatan sosial. Kemudian lima persen digunakan untuk replanting, dan 94 persen itu digunakan untuk kepentingan biodiesel,” tegas Politisi Fraksi PDI-P itu.

Menurut Dolfie, seharusnya yang perlu diperbesar adalah porsi alokasi dana sawit pada replanting dan kegiatan sosial yang merupakan aspirasi dari masyarakat. "Tentu aspirasi dari wilayah-wilayah penghasil sawit adalah menemukan cara untuk porsi replanting dan kegiatan sosial bisa diperbesar,” ucap Legislator dari Dapil Jawa Tengah IV.

Namun, menurutnya, BPDPKS sendiri tidak dapat menentukan alokasi penggunaan dana sawit secara mandiri. Sebab, yang memiliki otoritas dari penentuan alokasi tersebut adalah Komite Pengarah BPDPKS. "Ini kita (Komisi XI) memang perlu mengundang Komite Pengarah (BPDPKS) karena penentuan daripada alokasi penggunaan dana sawit ini ditentukan oleh Komite Pengarah," tutup Dolfie.

Diketahui, replanting merupakan salah satu upaya mempertahankan produksi kelapa sawit melalui peremajaan kelapa sawit. Replanting berguna agar hasil produksi kelapa sawit tidak menurun drastis, pengembangan perkebunan dapat dilakukan melalui perluasan lahan, lapangan kerja meningkat, dan peningkatan daya saing ekonomi basis perkebunan.

Kusut Tataniaga, Untungkan Negeri Jiran

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan permasalahan lain dari kelapa sawit adalah terkait dari tataniaga. Ia menyebut petani sawit terpaksa menjual harga tandan buah segar (TBS) ke Malaysia karena masih rendahnya harga di dalam negeri.

Ia menjelaskan, buah sawit petani di Tanah Air hanya dihargai Rp 400-Rp 500 per kilogram apabila dijual kepada pedagang pengumpul. Harganya kemudian naik sedikit apabila petani menjualnya ke pabrik kelapa sawit (PKS), yakni sekitar Rp1.000-Rp1.100 per kilogram.

Namun, sayangnya sampai saat ini, Gulat menyatakan masih banyak PKS yang enggan membeli TBS Sawit dari petani, lantaran PKS masih kesulitan untuk mengekspor CPO yang sudah ada. “Faktanya harganya (di Malaysia) kalau dirupiahkan sekitar Rp3.500-Rp4.500 per kg TBS, kan lumayan dibandingkan dengan hanya Rp.1000 per kg. Tetapi tidak seperti yang dikoar-koarkan di Tik Tok, truk ber antri-antri sampai ratusan menuju perbatasan, nggak seperti itu,” kata Gulat ketika dihubungi Law-Justice.

“Mereka menjualnya dalam konteks skala petani pakai truk kecil. Dan yang membeli di sana juga bukan pabrik, tapi semacam pedagang pengumpul juga. Jadi bisa dibayangkan kalau pedagang pengumpul saja bisa dihargai Rp3.500 per kg, berapa lagi ke pabrik,” sambungnya.

Ketua Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung. (Bisnis.com)

Lebih jauh, Gulat mengatakan memang tidak ada data yang akurat terkait berapa banyak TBS sawit yang dijual oleh petani ke Malaysia. Namun, menurutnya kurang lebih bisa mencapai 100 ton TBS sawit. Angka tersebut, katanya, masih sangat kecil sekali dibandingkan dengan kemampuan Indonesia dalam menghasilkan CPO.

“Kita melihat permasalahan ini tidak bisa hanya mengatakan itu salah, itu benar, oh tidak boleh, itu melanggar kepabeanan, kalau hanya bilang tidak boleh apa solusinya?,” tuturnya.

Gulat pun menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 01 Tahun 2018 terkait Tata Niaga TBS Sawit.

Ia berpendapat regulasi ini membatasi semua aktivitas petani sawit swadaya yang jumlahnya mencapai 97 persen. Sementara, Gulat melihat aturan tersebut hanya mengakomodasi petani bermitra yang jumlahnya hanya tujuh persen saja.

“Kalau saya lihat kita tidak bisa hanya menyalahkan petaninya, kenapa menjual ke Malaysia. Tapi kita harus melihat secara keseluruhan, kenapa itu terjadi? Karena harganya murah di Indonesia, kenapa murah? Karena ada larangan ekspor berdampak pada keadaan seperti saat ini. Kenapa larangan ekspor dicabut harga masih rendah? Karena banyak beban-beban,” tegasnya.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan pihaknya memahami alasan mengapa para petani tersebut menjualnya ke Malaysia.  Ia menilai situasi itu terjadi lantaran adanya kebijakan larangan ekspor CPO yang sempat diberlakukan pemerintah.

Meski keran ekspor CPO telah dibuka, penyerapan TBS sawit belum maksimal dan membuat harga di tingkat petani tersungkur. Untuk mengatasi hal ini, Zulkifli mengatakan Kemendag akan mendorong percepatan ekspor.

Law-Justice mencoba untuk meminta konfirmasi lebih lanjut kepada Kementerian Perdagangan namun sampai saat ini, Kemendag belum memberikan jawaban.

Jalan Terjal Melawan Mafia Minyak Goreng

Upaya Kejaksaan Agung untuk mengunkap jejaring mafia minyak goreng menemui tembok tinggi. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah menjatuhkan vonis kepada lima orang terdakwa kasus korupsi persetujuan ekspor (PE) crude palm oil (CPO) atau minyak goreng beserta turunannya di Kementerian Perdagangan pada 4 Januari 2023.Vonis terhadap lima terdakwa tersebut jauh lebih rendah dibanding tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung.

Kelima terdakwa, disebut hakim telah terbukti melakukan dakwaan kedua, yaitu Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sedangkan dakwaan primer tak terbukti.

Lima terdakwa korupsi minyak goreng menerima vonis ringan dari majelis hakim Peradilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Hukuman yang didapat adalah 1-3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut. 

Kasus ini diungkap Kejaksaan Agung pada April 2022 lalu. Kejaksaan menduga dua terdakwa dari instansi pemerintahan melakukan kongkalikong dalam pemberian persetujuan izin ekspor crude palm oil (CPO) kepada empat perusahaan kelapa sawit. Padahal, keempatnya tidak memenuhi syarat pemenuhan kebutuhan pasar domestik sebesar 20 persen dari kuota ekspor. 

Kasus ini juga bergulir di tengah kelangkaan pasokan minyak goreng dan melambungnya harga di dalam negeri. Kelima terdakwa yakni Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indra Sari Wisnu Wardhana dan mantan anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei. 

 Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indra Sari Wisnu Wardhana. (grid.id)

Sementara itu dari pihak swasta ada komisaris Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley MA; dan General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang.  “Atas putusan majelis hakim tersebut, penuntut umum melakukan upaya hukum banding, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (5/1/2023).

Sementara itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan unsur perulaana danya dugaan kartel minyak goreng. Temuan ini telah ditindaklanjuti menggelar sidang majelis komisi perkara minyak goreng. Sidang Majelis Pemeriksaan Lanjutan atas Perkara No.15/KPPU-I/2022 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia dilaksanakan kembali hari ini (8/2/2023). Agenda hari ini adalah inzage yang merupakan salah satu tahapan dalam proses administrasi upaya hukum yang memberikan kesempatan Para Terlapor untuk memeriksa kelengkapan dan/atau mempelajari berkas perkara.

Mengacu pada Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2019 Pasal 56, disebutkan bahwa Majelis Komisi dibantu Panitera melakukan pemeriksaan terkait keaslian surat dan/atau dokumen dalam Sidang Majelis Komisi yang disaksikan oleh Investigator Penuntut dan Terlapor atau Kuasa Hukum.

Sidang perkara minyak goreng itu digelar di ruang sidang Kodrat Wibowo gedung KPPU. Untuk diketahui, 27 perusahaan terlapor itu tercatat atas laporan Perkara Nomor 15/KPPU-I/2022 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 (penetapan harga) dan Pasal 19 huruf c (pembatasan peredaran/penjualan barang) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia (Perkara Minyak Goreng).


Investigator KPPU menyebut, para terlapor diduga melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 5, di mana mereka diduga secara bersama-sama menaikkan harga minyak goreng kemasan pada periode bulan Oktober 2021 hingga Desember 2021 dan periode bulan Maret 2022 hingga Mei 2022. Adapun 27 perusahaan terlapor sebagai berikut:

1. PT Asianagro Agungjaya sebagai Terlapor I
2. PT Batara Elok Semesta Terpadu sebagai Terlapor II
3. PT Berlian Ekasakti Tangguh sebagai Terlapor III
4. PT Bina Karya Prima sebagai Terlapor IV
5. PT Incasi Raya sebagai Terlapor V
6. PT Selago Makmur Plantation sebagai Terlapor VI
7. PT Agro Makmur Raya sebagai Terlapor VII
8. PT Indokarya Internusa sebagai Terlapor VIII
9. PT Intibenua Perkasatama sebagai Terlapor IX
10. PT Megasurya Mas sebagai Terlapor X
11. PT Mikie Oleo Nabati Industri sebagai Terlapor XI
12. PT Musim Mas sebagai Terlapor XII
13. PT Sukajadi Sawit Mekar sebagai Terlapor XIII
14. PT Pacific Medan Industri sebagai Terlapor XIV
15. PT Permata Hijau Palm Oleo sebagai Terlapor XV
16. PT Permata Hijau Sawit sebagai Terlapor XVI
17. PT Primus Sanus Cooking Oil Industrial sebagai Terlapor XVII
18. PT Salim Ivomas Pratama, Tbk sebagai Terlapor XVIII
19. PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT Smart Tbk) sebagai Terlapor XIX
20. PT Budi Nabati Perkasa sebagai Terlapor XX
21. PT Tunas Baru Lampung, Tbk sebagai Terlapor XXI
22. PT Multi Nabati Sulawesi sebagai Terlapor XXII
23. PT Multimas Nabati Asahan sebagai Terlapor XXIII
24. PT Sinar Alam Permai sebagai Terlapor XXIV
25. PT Wilmar Cahaya Indonesia, Tbk sebagai Terlapor XXV
26. PT Wilmar Nabati Indonesia sebagai Terlapor XXVI
27. PT Karyaindah Alam Sejahtera sebagai Terlapor XXVII


Sengkarut yang terjadi di sektor industri kelapa sawit tidak bisa disebut sebagai sebuah kecelakaan atau insidentil saja. Ada gerakan yang masif dan terstruktur mulai dari hulu hingga ke hilir untuk kepentingan segelentir orang. Triliunan duit yang mestinya bisa lebih bermanfaat untuk rakyat banyak dari industri sawit, ternyata lebih banyak dinikmati oleh segelintir konglomerat sawit. Mereka menguasi sektor hulu hingga hilir. Mereka juga bisa mempengaruhi kebijakan.

Upaya penegakan sektor ini bukan tidak pernah dijalankan. Namun, pengusutan kasus-kasus sektor sawit kerap membentur dinding siluman. Ada invisible hand yang mampu mengatur penanganan hukumdi sektor ini sehingga kesan tebang pilih tak bisa dihindarkan.

Di sisi lain pengelolaan dana kelolaan penyisihan industri sawit yang dikelola oleh BPDPKS belum bisa diharapkan hasilnya. Selain masih kurang transparan, pengelolaan dananya pun masih berat membela kepentingan konglomerat, terutama melalui skema biodiesel. Justru dalam hal stabilisasi harga minyak goren sebagai industri hilir yang mempengaruhi hajat hidup oranag banyak justru dinomor duakan. Bahkan cenderaung diabaikan. Janji menggelontorkan dana triliunan rupiah, faktanya justru malah berhutang kepada pelaksana program minyak goreng murang hingga Rp 300 milyar lebih.

Presiden Joko Widodo harus turun tangan langsung memimpin perang melawan mafia sawit. Penanganan hukum dan penentuan kebijakan yang tepat sasaran tidak bisa lagi dilakuikan secara parsial. Sosok seperti Surya Darmadi dan sejumlah konglomerat sawit, bukan saja lihai memainkan bisnis sawit. Namun, pengaruh yang mereka miliki mampu menggedor dinding-dinding birokrasi. Sehingga, hasilnya adalah perkara dugaan korupsi yang kini tengah bergulir di PN Tipikor Jakarta Pusat dan  Komisi Pemberantasan korupsi.

Penegak hukum, mestinya menjadikan kasus Surya Darmadi ini sebagai pintu masuk dalam merebut kembali duit rakyat yang telanjur dicolong oleh para mafia sawit. Sinyal dari Surya kalau dia tidak sendirian dengan praktik seperti ini adalah sebuah suar yang harus diteliti dan didalami oleh penegak hukum. Meskipun, mungkin jalan yang akan dialami tidak sederhana dan mudah. Upaya memberangus mafia minyak goreng bisa menjadi contoh pahit. Tetapi itu bukan alasan negara kalah dengan mafia.

Kontribusi: Ghivari Apriman, Bandot DM 

 

 

 

 

 

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar