Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI |
Analisis Hukum Praktek UU Perbankan yang Berubah Jadi UU Cipta Kerja

Info grafis Produk Perbankan (Ist)
Jakarta, law-justice.co - Pancasila merupakan ideologi negara menjadi dasar negara dalam menjalankan kehidupan bernegara. Pancasila mengamanatkan negara untuk memberikan kehidupan yang sejahtera bagi setiap warga negara.
Pemerataan kesejahteraan ini tercermin dalam Sila Kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta Sila Kelima Pancasila, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Upaya pemerataan kesejahteraan bagi seluruh warga negara Indonesia ini dipertegas oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Alinea Keempat yang menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salah satu upaya untuk memajukan kesejahteraan umum adalah melakukan penyesuaian pengaturan perbankan agar dapat memberikan perlindungan hukum yang maksimal kepada masyarakat baik di masa sekarang maupun di masa depan.
Perbankan merupakan salah satu sarana yang memiliki peran strategis untuk meningkatkan pembangunan bidang perekonomian di Indonesia. Upaya pembangunan perekonomian di Indonesia terutama dalam sektor perbankan diiringi dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan.
Tujuan pembentukan undang-undang tersebut untuk menyeimbangi perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang senantiasa bergerak cepat disertai dengan tantangan yang semakin luas.
Upaya pembangunan perekonomian ini semakin marak dilakukan yaitu dengan melakukan penyempurnaan UU 7/1992 yaitu dengan membentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Tujuan dilakukan penyempurnaan UU Perbankan yaitu untuk menyeimbangi perkembangan perekonominan nasional dan era globalisasi yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi.
Perubahan ini ditindaklanjuti dengan diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa. UU 7/1992 diundangkan pada tanggal 25 Maret 1992 dan terdiri 61 Pasal dalam 10 Bab, yaitu: I. Ketentuan Umum; II. Asas, Fungsi, dan Tujuan; III. Jenis dan Usaha. IV. Perizinan, Bentuk Hukum, dan Kepemilikan; V. Pembinaan dan Pengawasan; VI. Dewan Komisaris, Direksi, dan Tenaga Asing; VII. Rahasia Bank; VIII. Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif; IX. Ketentuan Peralihan; X. Ketentuan Penutup.
UU 7/1992 jo.UU 10/1998 terkait dengann pendirian bank umum diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020). Sejak diundangkan pada tahun 1992 hingga saat ini, UU 7/1992 jo. UU 10/1998 jo. UU 11/2020 (UU Perbankan) telah diajukan pengujian materiil terhadap UUD NRI Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan terdapat beberapa permohonan yang dikabulkan oleh MK, yaitu dalam Putusan Nomor 64/PUU-X/2012, Putusan Nomor 109/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 102/PUU-XVIII/2020.
Undang-Undang Perbankan telah berlaku hampir 30 (tiga puluh) tahun dengan beberapa kali perubahan dan pengujian di Mahkamah Konstitusi, sehingga perlu dilakukan pembaharuan agar substansi di dalam UU 7/1992 dapat memberikan kepastian hukum yang lebih luas kepada masyarakat.
Selama berlaku, UU 7/1992 memiliki beberapa isu yang terjadi antara lain: definisi, pembagian jenis bank, tumpeng tindih kewenangan antar instansi, digitalisasi perbankan dan literasi masyarakat.
Selain itu terdapat potensi disharmoni pengaturan UU 7/1992 dengan pengaturan lainnya. Selama berlaku, UU 7/1992 memiliki kaitan erat secara substansial dengan beberapa undang-undang, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Perbankan Syariah).
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK).
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU Pendanaan Terorisme).
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Pemda).
6. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK).
Berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, salah satu fungsi konstitusional DPR RI ialah fungsi pengawasan. Penegasan dan pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI lebih lanjut dalam Pasal 69 ayat (1) j.o Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 4 ayat (1) j.o Pasal 5 ayat (3) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Dalam Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU) sebagai salah satu dari sistem pendukung (supporting system) di bidang keahlian kepada DPR RI telah melakukan kegiatan pengumpulan data dan informasi pelaksanaan UU Perbankan ke 3 (tiga) provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Gorontalo.
Metode pemantauan pelaksanaan UU Perbankan dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode yuridis normatif dilakukan untuk mengetahui potensi masalah norma yang tumpang tindih/disharmoni, inkonsistensi, atau menimbulkan multitafsir. Sedangkan yuridis empiris merupakan suatu pemantauan langsung yang dilakukan di daerah dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding), kemudian diteruskan dengan menemukan masalah (problemfinding), kemudian diteruskan pada identifikasi masalah (problem identification), dan yang terakhir untuk mencari penyelesaian masalah (problem solution).
Pengumpulan data dan informasi dilakukan melakukan pendalaman materi melalui pertanyaan yang diajukan dalam diskusi maupun secara tertulis kepada para pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah, baik sebagai regulator maupun implementator UU Perbankan. Hal ini dilakukan untuk memberikan perhatian yang serius dalam melihat penerapan dan efektivitas UU Perbankan, mengetahui gambaran umum dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, serta mendapatkan masukan perbaikan dari para pemangku kepentingan dalam rangka memecahkan permasalahan sebagai upaya penguatan dari sisi regulasi dan pelaksanaan UU Perbankan.
HASIL PEMANTAUAN
ASPEK SUBSTANSI HUKUM
Definisi Perbankan Yang Tidak Relevan Definisi perbankan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perbankan belum mengakomodir frasa “secara konvensional dan Syariah”. Hal tersebut berbeda dengan definisi perbankan yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU OJK yang telah mengakomodir frasa “secara konvensional dan syariah”.
Adanya perbedaan pengaturan tersebut menimbulkan ketidakteraturan norma, sehingga definisi perbankan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perbankan sudah tidak relevan pada saat ini.
Jenis Bank Belum Dibagi Berdasarkan Prinsip Usaha Konvensional dan Syariah Perkembangan kebutuhan masyarakat menunjukkan perlunya pembagian bank menjadi bank konvensional dan bank syariah. UU Perbankan Syariah menormakan suatu istilah baru yang sebelumnya tidak terdapat dalam ketentuan UU Perbankan, yaitu “bank konvensional” yang berdasarkan jenisnya terdiri atas bank umum konvensional dan BPR dan “bank syariah” yang menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah.
Sepatutnya UU Perbankan menyerahkan sepenuhnya pengaturan mengenai bank syariah kepada UU Perbankan Syariah, sehingga UU Perbankan hanya mengatur mengenai bank konvensional.
Adanya Irisan Norma Mengenai Kewenangan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam UU Perbankan dan UU OJK Pasal 69 huruf b UU OJK menyatakan secara tegas bahwa fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52, dan Pasal 53 UU Perbankan beralih menjadi fungsi, tugas, dan wewenang OJK.
Hal tersebut menyebabkan adanya irisan norma mengenai kewenangan di antara kedua lembaga tersebut, khususnya terkait dengan kewenangan pengawasan lembaga perbankan, kewenangan pembuatan peraturan pelaksanaan UU Perbankan, dan kewenangan untuk memberikan izin/perintah tertulis dalam rangka pembukaan rahasia bank.
Bentuk Badan Hukum Bank Yang Tidak Relevan Frasa “perusahaan daerah” dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (1) UU Perbankan sebagai salah satu bentuk hukum bank umum dan BPR, tidak dikenal dalam UU Pemda yang menggunakan frasa “Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)” dan terdiri atas perumda dan perseroda.
Selain itu Pasal 22 ayat (1) UU Perbankan tidak mengatur bahwa bank umum dapat didirikan oleh pemerintah daerah. Perkembangan hukum saat ini menggiring bank umum hanya berbadan hukum perseroan terbatas, sebagaimana tersirat dalam Pasal 7 UU Perbankan Syariah yang mengatur bentuk badan hukum bank syariah adalah perseroan terbatas.
Begitu pula dalam ketentuan Pasal 12 dan Pasal 97 POJK 12/2021 yang menyiratkan bentuk badan hukum bank adalah perseroan terbatas. Belum Adanya Pengaturan Batasan Maksimum Kepemilikan Modal Asing Pasal 1 angka 3 UU Perbankan telah mengatur bahwa bank umum merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah.
Lebih lanjut, terkait kepemilikan bank umum diatur dalam Pasal 22 UU Perbankan, namun Pasal 22 UU Perbankan tidak mengatur batas maksimum kepemilikan modal oleh badan hukum asing terhadap bank umum.
Hal tersebut berbeda dengan pengaturan dalam Pasal 9 ayat (3) UU Perbankan Syariah yang telah mengatur batas maksimum terhadap kepemilikan modal badan hukum asing terhadap bank umum syariah, sehingga berpotensi disharmoni.
Tidak diaturnya batas maksimum kepemilikan modal oleh badan hukum asing terhadap bank umum berpotensi memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan bank dalam negeri. Pengaturan Mengenai Rahasia Bank 1) Belum Diaturnya Rahasia Bank Terhadap Nasabah Peminjam Dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan Bank mempunyai kewajiban untuk merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan.
Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan menjelaskan bahwa apabila Nasabah Penyimpan sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, maka bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan, keterangan nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank.
Sehubungan dengan banyaknya perubahan dan kemajuan di sektor perbankan, ruang lingkup terkait pembukaan rahasia bank pada saat ini masih terlalu sempit, sebab Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan tidak mengatur terkait kewajiban bank merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Peminjam.
Sehingga tidak diaturnya hal tersebut berpotensi merugikan Nasabah Peminjam, karena tidak terlindunginya data pribadi dan keadaan keuangan Nasabah Peminjam. 2) Potensi Disharmoni Terkait Rahasia Bank Dalam UU Perbankan dengan UU lainnya Pasal 41 ayat (1), Pasal 41A ayat (1), Pasal 42 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (1) UU Perbankan yang mengatur terkait lembaga yang berwenang memberikan izin tertulis terkait pembukaan rahasia bank untuk kepentingan tertentu, berpotensi disharmoni dengan Pasal 9 huruf d UU OJK.
Sebab, sejak berlakunya UU OJK telah mengatur terkait wewenang pengawasan terhadap kegiatan sektor perbankan telah beralih kepada OJK, yang berarti bahwa kewenangan untuk memberikan izin tertulis terkait pembukaan rahasia bank kepada lembaga/instansi yang meminta untuk meminta keterangan bank terkait simpanan nasabah untuk kepentingan tertentu.
Namun Pasal 41 ayat (1), Pasal 41A ayat (1), Pasal 42 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (1) UU Perbankan masih menggunakan frasa “Pimpinan Bank Indonesia”. Selain itu, Pasal 42 ayat (2) UU Perbankan juga berpotensi disharmoni dengan Pasal 43 ayat (2) UU Perbankan Syariah, Pasal 72 ayat (2) dan ayat (5) UU TPPU dan Pasal 37 ayat (2) dan ayat (5) UU Pendanaan Terorisme.
Potensi disharmoni tersebut dikarenakan Pasal 42 ayat (2) UU Perbankan menentukan bahwa permintaan tertulis hanya dapat berasal dari Kepala Kepolisian, Jaksa Agung, atau Mahkamah Agung. Sedangkan Pasal 43 ayat (2) UU Perbankan Syariah, Pasal 72 ayat (5) UU TPPU, dan Pasal 37 ayat (5) UU Pendanaan Terorisme telah menambahkan pihak-pihak selain Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung yang dapat mengajukan permintaan tertulis untuk pembukaan rahasia bank demi kepentingan tertentu.
Adanya potensi disharmoni tersebut mengakibatkan implementasi dari pengaturan mengenai pembukaan rahasia bank menjadi tidak efektif. Belum Adanya Pengaturan Mengenai Perlindungan Konsumen Perbankan Perlindungan konsumen di Indonesia mengacu pada UU Perlindungan Konsumen, namun UU Perlindungan Konsumen tidak mengatur secara rinci mengenai perlindungan terhadap nasabah bank yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan konsumen pengguna jasa dan produk lainnya, sehingga menimbulkan potensi tidak terlindunginya konsumen sektor perbankan.
Sedangkan pengaturan mengenai perlindungan konsumen dalam UU Perbankan belum diatur secara komprehensif. h. Belum Adanya Pengaturan Mengenai Digitalisasi Jasa Perbankan Pesatnya kemajuan teknologi membawa dampak munculnya produk perbankan berbasis elektronik yang ditawarkan oleh bank dan pemberian layanan perbankan secara digital.
Hal tersebut didukung dengan kebijakan yang disusun OJK untuk mendukung inovasi teknologi informasi industri jasa keuangan meskipun UU Perbankan belum mengaturnya. Tidak diaturnya digitalisasi jasa perbankan dalam tataran undang-undang menyebabkan tidak adanya jaminan perlindungan hukum terhadap masyarakat sehingga akan memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat dalam menggunakan jasa perbankan sebagai agent of trust.
Hal tersebut akan berdampak pada terhambatnya perkembangan bisnis perbankan, padahal sektor perbankan merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan perekonomian nasional.
Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Mengabulkan Permohonan Pengujian Konstitusionalitas UU Perbankan Pemaknaan yang diberikan MK terhadap Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan dalam Putusan Nomor 102/PUU-XVIII/2020 menciptakan ketidakteraturan sistematika norma dalam UU Perbankan, karena Pasal 12A terletak dalam Bab III Bagian Kedua dengan judul “Usaha Bank Umum”, sedangkan untuk “Usaha Bank Perkreditan Rakyat” diatur dalam Bagian Ketiga mulai dari Pasal 13 hingga Pasal 15 UU Perbankan.
Kemudian pembukaan rahasia bank untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian tidak dapat hanya diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan sebagaimana hasil pemaknaan dari Putusan Nomor 64/PUU-X/2012 karena diperlukan norma yang mengatur mengenai mekanismenya dan persyaratan bahwa tidak terdapat perjanjian perkawinan yang memisahkan harta bersama.
Rumusan norma Pasal 50 dan Pasal 50A UU Perbankan juga mengandung frasa “bagi bank” sebagaimana rumusan norma Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan sebelum adanya Putusan Nomor 109/PUU-XII/2014 yang mungkin menyebabkan pihak terafiliasi bank dan pemegang saham bank berlindung diri untuk hanya menaati peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku bagi bank.
ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
Implementasi Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Bank Indonesia dan OJK Terdapat banyak kewenangan Bank Indonesia yang diatur dalam UU Perbankan telah dialihkan ke OJK, sehingga berpotensi memengaruhi mekanisme pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga perbankan.
Peralihan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan perlu dilakukan dalam suatu mekanisme koordinasi yang jelas, efisien, dan penuh kehati-hatian karena harus menjaga kepercayaan dari masyarakat selaku konsumen perbankan.
Implementasi Bentuk Badan Hukum Bank Pembangunan Daerah (BPD) Saat ini seluruh BPD di Indonesia berbentuk hukum perseroan terbatas dan oleh karenanya merupakan perseroda. Fakta empiris bahwa tidak ada lagi bank umum dengan bentuk hukum perusahaan daerah menyebabkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan tidak terimplementasi dengan baik.
BPD sebagai bank umum yang berbadan hukum perseroan terbatas dengan sebagian modalnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan memberikan implikasi bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya BPD tidak hanya tunduk pada ketentuan yang mengatur mengenai BUMD dan perseroan terbatas, tetapi juga pada ketentuan yang mengatur mengenai perbankan, pasar modal untuk BPD yang telah dan akan go public, dan pengelolaan keuangan negara.
Hal tersebut juga berdampak pada adanya beberapa institusi atau lembaga yang berwenang untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pemeriksaan terhadap BPD.
ASPEK SARANA DAN PRASARANA
Sektor perbankan merupakan salah satu sektor bisnis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, karena perbankan telah memberikan banyak kontribusi terhadap pendapatan nasional dan berfungsi sebagai Lembaga perantara untuk menampung dana masyarakat.
Oleh karena itu, dengan adanya kemajuan teknologi maka perbankan juga telah mengikuti perkembangan teknologi di sektor perbankan dengan mewujudkan digitalisasi perbankan yang telah berjalan pada saat ini demi memudahkan nasabah dalam melakukan kegiatan transaksi pada bank.
Namun, pada saat ini masih terdapat kendala di beberapa wilayah Indonesia yang sulit untuk dijangkau internet, kurangnya perangkat teknologi atau aplikasi yang memadai pada bank di beberapa daerah tertentu untuk menunjang digitalisasi perbankan, maupun kurangnya pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menggunakan teknologi digital untuk transaksi perbankan.
ASPEK BUDAYA HUKUM
Literasi pemahaman Masyarakat yang Masih Rendah Terkait Produk Perbankan Indeks literasi keuangan masyarakat secara nasional tercatat lebih rendah dari indeks inklusi keuangan. Adanya kesenjangan pada rendahnya tingkat literasi keuangan yang tidak sejalan dengan tingkat inklusi keuangan yang tinggi menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat pengguna jasa perbankan yang tidak mengetahui mengenai produk yang dibelinya dan fungsi dari produk yang dibelinya, dan hal ini berdampak pada maraknya penipuan-penipuan produk/investasi keuangan yang memakan banyak korban dari masyarakat yang masih rendah literasi keuangannya.
Literasi Pemahaman Masyarakat yang Masih Rendah Terkait Perbedaan antara Bank dan Koperasi Bank dan koperasi memiliki kemiripan jenis usaha, namun berbeda secara jenis lembaga, dasar hukum, fungsi, dan kegiatan usahanya sangat berbeda, terlebih instansi yang melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap kedua jenis lembaga ini juga berbeda. Namun masyarakat tidak memahami perbedaan tersebut karena adanya bank yang berbentuk badan hukum koperasi seperti Koperasi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan adanya koperasi simpan pinjam.
Literasi Pemahaman Masyarakat yang Masih Rendah terkait Digitalisasi Perbankan Literasi pemahaman masyarakat terkait digitalisasi perbankan masih rendah terutama pada masyarakat daerah yang memiliki keterbatasan akses internet. Digitalisasi perbankan juga masih rentan terhadap tindak kejahatan sehingga masyarakat saat ini masih lebih memilih menggunakan jasa perbankan konvensional yang dinilai lebih aman.
ASPEK PENGARUSUTAMAAN NILAI-NILAI PANCASILA
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) berpandangan bahwa UU Perbankan belum ampuh dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan rakyat Indonesia karena terdapat beberapa ketentuan dalam UU Perbankan yang tidak selaras dengan nilai Sila Kedua dan Sila Kelima Pancasila, yaitu bagian menimbang, Pasal 22 UU Perbankan, belum diaturnya perlindungan nasabah dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan perbankan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi pemantauan pelaksanaan UU Perbankan, dapat disimpulkan bahwa masih terdapat permasalahan materi muatan UU Perbankan dari sisi regulasi, kewenangan lembaga, dan implementasi UU perbankan, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Materi muatan dalam UU Perbankan belum cukup memadai dan efektif digunakan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan kegiatan perbankan.
Ditinjau dari aspek substansi, terdapat beberapa ketentuan yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku pada saat ini dan juga perlu melakukan penyempurnaan dengan penambahan beberapa hal dalam materi muatan yang diatur dalam UU Perbankan. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU Perbankan dapat mewujudkan asas dan tujuan pembentukan UU Perbankan dan memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Selain itu, ditinjau dari sisi implementasi juga masih ditemukan beberapa permasalahan, di antaranya implementasi kewenangan OJK dan Bank Indonesia, implementasi bentuk badan hukum BPD, sarana dan prasarana kegiatan perbankan, dan literasi pemahaman masyarakat yang masih rendah.
REKOMENDASI
DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Perbankan dengan undang-undang terkait lainnya, sebagai berikut:
1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan: a. melakukan harmonisasi/penyesuaian terkait definisi perbankan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perbankan dengan Pasal 1 angka 5 UU OJK. b. penambahan rumusan norma Pasal 1 UU Perbankan dengan memberikan definisi terhadap frasa “Bank Konvensional”, “Bank Umum Konvensional”, “Bank Perkreditan Rakyat”, “Bank Syariah”, “Bank Umum Syariah”, dan “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” dengan merujuk pada definisi dalam Pasal 1 UU Perbankan Syariah.
c. perubahan rumusan norma Pasal 5 ayat (1) UU Perbankan dengan membagi lembaga perbankan berdasarkan prinsip usahanya, yaitu bank konvensional dan bank syariah, lalu dibagi berdasarkan jenis usahanya, yaitu bank umum konvensional dan BPR serta bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah. d. penambahan rumusan pasal atau ayat dalam UU Perbankan sebagai penghubung dengan menyatakan secara tegas bahwa pengaturan mengenai bank syariah mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai perbankan syariah.
e. penghapusan Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c UU Perbankan. f. penghapusan frasa “pembiayaan berdasarkan prinsip syariah” dalam ketentuan Pasal 7 huruf c, Pasal 8, Pasal 11 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4A), Pasal 29 ayat (3), dan Pasal 37 ayat (1) huruf c UU Perbankan. g. perubahan frasa “Bank Indonesia” menjadi frasa “Otoritas Jasa Keuangan” dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52, dan Pasal 53 UU Perbankan.
h. penghapusan frasa “koperasi” dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan. i. perubahan frasa “perusahaan daerah” menjadi “perusahaan perseroan daerah” dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan. Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI | 10 j. perubahan frasa “perusahaan daerah” menjadi “perusahaan umum daerah” dan “perusahaan perseroan daerah” dalam Pasal 21 ayat (2) UU Perbankan. k. penambahan frasa “pemerintah daerah” dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU Perbankan.
l. penambahan ketentuan mengenai batas maksimum kepemilikan modal oleh badan hukum asing terhadap Bank Umum dalam Pasal 22 UU Perbankan dengan mengacu kepada antara lain peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). m. penambahan ruang lingkup rahasia bank dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, yaitu mengenai nasabah peminjam dan pinjamannnya.
n. melakukan harmonisasi/penyesuaian pengaturan terkait lembaga yang dapat meminta untuk dibukakan simpanan nasabah untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dalam Pasal 42 UU Perbankan dengan Pasal 43 ayat (2) UU Perbankan Syariah, Pasal 72 ayat (2) dan ayat (5) UU TPPU, dan Pasal 37 ayat (2) dan ayat (5) UU Pendanaan Terorisme. o. penambahan ketentuan mengenai perlindungan konsumen dan digitalisasi jasa perbankan dalam UU Perbankan. p. penambahan frasa “dan Pasal 12A” dalam ketentuan Pasal 15 UU Perbankan.
q. penambahan frasa “termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian” dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan. r. penambahan ketentuan dalam Bab VIII UU Perbankan yang mengatur mengenai mekanisme pembukaan rahasia bank untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian dalam hal tidak terdapat perjanjian perkawinan yang memisahkan harta bersama. s. penghapusan frasa “bagi bank” dalam ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50, dan Pasal 50A UU Perbankan.
2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan: a. penguatan koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia guna menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha sektor jasa keuangan dan masyarakat selaku konsumen perbankan. b. suatu mekanisme kerja yang mengedepankan koordinasi dan kolaborasi oleh berbagai institusi pembina, pengawas, dan pemeriksa terhadap kinerja BPD dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
3. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan: a. kesiapan SDM yang kompeten untuk dapat memberikan pelayanan berbasis digital kepada nasabah; b. penambahan atau peningkatan perangkat teknologi maupun aplikasi perbankan sebagai penunjang digitalisasi; c. perluasan akses jaringan internet yang baik ke beberapa wilayah di Indonesia yang belum memadai jaringan internetnya.
4. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan: a. sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan literasi masyarakat atas produk perbankan dan digitalisasi perbankan. b. pengamanan yang ekstra dalam melindungi nasabah pengguna jasa keuangan digital. 5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan: a. penambahan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur mengenai hak ekonomi pada Bagian Mengingat UU Perbankan b. limitasi secara tegas mengenai kepemilikan modal perorangan dan badan hukum asing pada bank umum pada Pasal 22 UU Perbankan. c. pengaturan mengenai perlindungan nasabah dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang digitalisasi perbankan.
Komentar