Gaudensius Suhardi

Skandal Negarawan

Selasa, 07/02/2023 12:53 WIB
Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Jakarta, law-justice.co - Percaya sajalah bahwa para penghuni Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat, ialah negarawan. Mereka berjumlah sembilan orang dan disebut sebagai hakim konstitusi.

Negarawan salah satu syarat yang disebutkan untuk menjadi hakim konstitusi meski diembel-embeli menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Syarat lainnya ialah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, serta adil.

Syarat negarawan itu tertulis dalam UUD 1945. Hanya untuk hakim konstitusi, bukan presiden dan hakim agung. Karena itulah, kurang tepat pernyataan ‘mencari negarawan seperti mencari jarum di tumpukan jerami’. Negarawan itu ada di Mahkamah Konstitusi.

Hakim konstitusi itu bukan seolah-olah sosok bijak bestari meski ada juga lancungnya. Bukan. Mereka itu negarawan yang tidak gila pujian, tidak gila hormat. Pangkat dan jabatan, bagi negarawan di Medan Merdeka Barat, bukanlah simbol kehormatan dan kenikmatan.

Ada dua tabu bagi hakim konstitusi. Kedua tabu itu ditulis apik oleh Jimly Asshiddiqie dalam buku Peradilan Etik dan Etika. Kedua tabu itu dikaitkan dengan sifat negarawan yang melekat dalam diri hakim konstitusi.

Pertama, seorang hakim konstitusi tidak seharusnya masih memiliki cita-cita untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi sehingga dikhawatirkan akan menggunakan kedudukannya sebagai hakim konstitusi untuk mendapatkan keuntungan pribadi guna menggapai jabatan yang dicita-citakannya.

Kedua, seorang hakim konstitusi tidak seharusnya masih memiliki cita-cita untuk mendapatkan kekayaan lebih banyak sehingga dikhawatirkan akan menggunakan jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk mendapatkan keuntungan pribadi berupa kekayaan yang lebih banyak.

Seandainya ada hakim konstitusi yang menjadi penghuni jeruji besi, katakan saja itu oknum negarawan. Andai ada hakim konstitusi yang masih menyimpan cita-cita menjadi orang nomor satu atau dua di negeri ini, sebut saja itu sebagai hak warga negara.

Andai mereka mengadili dirinya sendiri, anggap saja itu tafsir musyawarah atas asas nemo judex idoneus in propria causa.

Jangan pula mempersoalkan putusan hakim konstitusi yang negarawan itu melebihi apa yang dimintakan. Ultra petita. Tidak perlu dipersoalkan karena MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Bagaimana dengan masalah aktual yang menerpa MK, yaitu dugaan perubahan substansi putusan terkait dengan pencopotan hakim konstitusi Aswanto? Ada perbedaan antara putusan yang dibacakan dan putusan yang ditulis.

Dugaan skandal itu pula berbuntut pelaporan sembilan hakim konstitusi serta panitera MK dalam perkara 103/PUU-XX/2022 Nurlidya Stephanny Hikmah ke Polda Metro Jaya.

Terhadap kasus aktual itu anggap saja tidak benar ada perubahaan substansi putusan sampai ada putusan lain dari Majelis Kehormatan yang dibentuk MK untuk menyelidiki kasus itu.

Sementara itu, terhadap laporan ke Polda Metro Jaya, biarkan polisi menjalankan tugas mereka. Jika nantinya terbukti bersalah, anggap saja hakim konstitusi juga manusia biasa. Mereka bukan malaikat.

Boleh-boleh saja Edmund Burke membuat pembeda antara negarawan sejati dan penipu. Negarawan sejati itu seorang yang melihat masa depan dan bertindak pada prinsip-prinsip yang ditetapkan dan untuk keabadian.

Negarawan penipu hanya melihat masa kini dan bertindak berdasarkan ketidakadilan dan imoralitas. Percaya sajalah, hakim konstitusi itu ialah negarawan sejati.

Ada pula yang menyebut negarawan sejati itu selesai dengan dirinya sendiri sehingga hanya memikirkan keutamaan. Manuel L Quezon, presiden Filipina (1935-1944), menyatakan, “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.” [kontras ya dgn Petugas Partai]

Hakim konstitusi tentu saja hanya loyal kepada negara. Anggap saja mereka tidak pernah loyal kepada lembaga yang menjadi sumber rekrutmen mereka, yaitu presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Jika ditemukan keadaan sebaliknya, anggap saja itu sebagai skandal negarawan.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar