Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si, Ketua Umum PP Muhammadiyah

Politik Identitas,Netral di Tahun Politik,Bahaya Buzzer Bagi Demokrasi

Selasa, 07/02/2023 08:00 WIB
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr. Haedar Nashir (Muslimobsession)

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr. Haedar Nashir (Muslimobsession)

Jakarta, law-justice.co - Haedar Nashir atau yang akrab disapa Buya Haedar selama ini dikenal sebagai ulama dan cendekiawan Indonesia. Buya Haedar lahir di Bandung pada 25 Februari 1958 dan ia juga dikenal sebagai Ketum Muhammadiyah sejak tahun 2015.

 
Tentu nama Buya Haedar di internal Muhammadiyah, terutama di kalangan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, namanya sudah sangat dikenal. Selain itu, Ia juga pernah menjadi sekretaris ketika Buya Syafi`i menjabat ketua umum Muhammadiyah.
 
Seperti diketahui bila belum lama ini, Buya Haedar kembali berhasil terpilih menjadi Ketum Muhammadiyah pada Tahun 2022 lalu dan menjabat hingga 2027. Ia menceritakan pengalaman saat terpilih kembali sebagai Ketum untuk kedua kalinya hanya seinci ditinggikan.
 
"Saya selaku ketua umum posisinya hanya sejengkal dikedepankan dan seinci ditinggikan, tapi prinsip kepemimpinan adalah kepemimpinan kolektif kolegial dan sistem persyarikatan," kata Haedar kepada Law-Justice.

Haedar mengatakan usai terpilih kembali sebagai Ketum Muhammadiyah ia akan menjalankan amanat sesuai dengan program yang telah disusun. Menurutnya, dalam menjalankan amanat tentu perlu menjalankan program-program Muhammadiyah yang arahnya pada proses transformasi yang lebih dinamis di masa yang akan datang. 
 
"Hal itu baik yang menyangkut program umum maupun program-program di bidang yang arahnya kepada Muhammadiyah yang unggul berkemajuan dalam berbagai aspek kehidupan," katanya.

Ia juga menyatakan bila Muhammadiyah juga mengemban tugas untuk menyebarluaskan pandangan Islam berkemajuan. Untuk itu ia berharap Islam berkemajuan dapat membawa rahmat.

Artinya, dalam risalah Islam berkemajuan yang sudah ditetapkan untuk terus didialogkan dengan berbagai kalangan di dalam dan luar negeri. "Agar Islam yang maju dan membawa rahmat bagi semesta alam itu menjadi alam pikiran yang menyebar dan meluas, serta terimplementasi makin baik di persyarikatan," ujarnya.

"Islam yang membawa damai, Islam yang menyatukan, Islam yang membangun optimisme, tetapi juga Islam yang menghadirkan kemajuan hidup seluruh masyarakat, negara, dan kemanusiaan ke depan," sambungnya.

Dosen Universitas Muhammadiyah Yogya ini juga menyatakan bila  Muhammadiyah memiliki mandat untuk membicarakan isu strategis keumatan dengan berbagai pihak. 
 
Untuk itu, ia berkomitmen bila Muhammadiyah akan terus memberi masukan tentang persoalan bangsa kepada stakeholder terkait seperti pemerintah, DPR hingga lembaga seperti TNI dan Polri. 

"Kami juga memiliki mandat untuk mendiskusikan berbagai pihak mengenai isu-isu strategis keumatan, kebangsaan universal sesuai dengan porsi dan bidangnya," ucapnya.
 
Politik Identitas Sah-Sah Saja
 
Buya Haedar mengatakan bila politik harus menjadi pilar persatuan dan bukan faktor pemecah belah. Ia menyatakan bila politik penting untuk dielaborasi dengan nilai sila keempat pancasila untuk menciptakan suasana yang sejuk.
 
Perbedaan dalam suatu pilihan politik baginya merupakan hal yang wajar dan tidak ada yang salah. Perbedaan pilihan politik merupakan tanda hidupnya demokrasi dan kebhinekaan dalam berbangsa dan bernegara.
 
"Perbedaan pilihan politik akan menjadi masalah apabila disertai sikap pemutlakan menang-kalah," katanya. Guru Besar Sosiologi itu menuturkan bila hal itulah yang menimbulkan sikap politik yang keras dan ekstrem. Pada titik itulah, menurutnya, politik menjadi virus pemecah dan bukan pemersatu bangsa.
 
Terkait dengan politik identitas, Haedar menyatakan bila hal tersebut merupakan hal yang wajar terjadi. Pasalnya, setiap orang atau kelompok tentu terikat dengan identitas mengikuti hukum Homo sapiens. Masalah akan terjadi jika politik identitas berdasarkan agama, suku, ras, dan ideologi disalahgunakan dengan cara dan paham yang radikal-ekstrim. 
 
"Pro dan anti politik identitas pun bahkan menjadi benih pertengkaran baru sesama anak bangsa yang muaranya saling membelah," tuturnya. Untuk itu, Ia menegaskan bila semua pihak perlu untuk mengingat kembali pentingnya merajut persatuan menuju Indonesia Berkemajuan. 
 
Tidak bisa dipungkiri, bahwa fakta sejarah menunjukkan bangsa Indonesia sebagai negara yang majemuk baik dalam aspek agama, suku, ras dan golongan. Kemajemukan tersebut kemudian dibungkus dengan semboyan pemersatu bangsa, Bhinneka Tunggal Ika. 
 
"Berbeda-beda tetapi satu, serta satu dalam keberbedaan. Dengan jiwa Bhinneka Tunggal Ika itulah bangsa Indonesia memiliki daya hidup untuk tetap bersatu dalam keragaman, meski proses yang dijalaninya sarat suka dan duka," tegasnya.
 
Muhammadiyah Tetap Netral di 2024
 
Haedar mengatakan bila menjelang tahun politik Pemilu 2024, ia meminta kepada seluruh warga persyarikatan turut mensukseskan Pemilu 2024. Ia menyebut bila mensukseskan pemilu 2024 tentu dengan mengikuti koridor dan sistem serta pelaksanaan yang telah ditetapkan.

"Kita sukseskan Pemilu 2024, tetap mengikuti koridor dengan sistem dan pelaksanaannya. Tidak lagi berubah jadwalnya. Nah, kita jaga komitmen itu," katanya. Haedar mengakui, warga persyarikatan Muhammadiyah memang menurut khittah diberi kebebasan berpartisipasi dalam pemilu. 
 
Untuk itu, ia menegaskan bila posisi Muhammadiyah untuk Pemilu 2024 ini tetap netral dan tidak berpihak kemanapun. "Tetapi soal sikap memilih itu urusan setiap orang, yang tidak boleh membawa-bawa dan mengatasnamakan organisasi," ujarnya.

Ia menyatakan bila Muhammadiyah sebagai organisasi tentu memainkan peran mengawal bangsa ini termasuk mengenai pemilu sesuai dengan porsinya. Ini supaya pemilu berjalan secara jujur dan adil, serta sesuai jadwal.

Haedar berharap warga Muhammadiyah mendorong lahirnya para elite baik eksekutif dan legislatif yang betul-betul memiliki integritas dan berjiwa negarawan, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompoknya.
 
Ia juga berharap siapapun elite yang terpilih nanti tetap menjaga pentingnya nilai kejujuran dan bertanggung jawab. "Karena tentu setiap perbuatan baik akan memperoleh balasannya di dunia dan di akhirat," ujarnya.
 
Buzzer Bahaya untuk Dunia Pers dan Demokrasi
 
Haedar Nashir pernah menggeluti profesi sebagai wartawan beberapa tahun lalu sehingga dunia pers bagi dirinya bukanlah hal yang asing. Menjelang Hari Pers Nasional pada 9 Februari mendatang, Ia berpesan kalau media harus selalu menjadi checks and balances dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 
 
Tentu pers harus mencerdaskan bangsa, karena fungsi pers menjadi pranata sosial yang mengedukasi elite dan warga. "Tentu pers harus menjadi insan yang berpikir jernih, objektif, moderat, cerdas, beretika, dan berdaya kritis,” ujarnya.

Ia memaparkan bila pers memiliki tanggung jawab atas pesan dan informasi yang disuarakan ke ruang publik secara objektif dan profesional.  Selain itu, tentu tidak masuk dalam pusaran politik partisan maupun kepentingan lain yang bisa meluruhkan fungsi utama pers.

Pers Indonesia bersama-sama komponen bangsa dituntut hadir menegakkan kebenaran, keadilan, kedamaian, persatuan, dan kemajuan bangsa dan negara. Seraya menjauhkan dari hal-hal yang meresahkan, memecah persatuan, dan konflik antar komponen bangsa.
 
Haedar menyatakan bila musuh pers dan demokrasi di Indonesia saat ini adalah buzzer bayaran di media sosial yang kerap kali memberi keresahan kepada masyarakat. 

"Fungsi integrasi sosial sangat diharapkan dari pers Indonesia. Musuh terbesar dunia pers saat ini, khususnya pers daring melalui jalur media sosial, merupakan buzzer yang tidak bertanggung jawab dan kerap kali meresahkan," paparnya.
 
Haedar menilai pemerintah dan aparat penegak hukum tidak tegas terhadap menindak para buzzer bayaran yang meresahkan ini. Apalagi banyak buzzer ini merupakan para pendukung pemerintah, sehingga mereka seperti tak tersentuh hukum, lanjutnya.

Hal tersebut, agar kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terbawa kepada suasana yang kontroversi menjurus ke konflik sosial antar sesama anak bangsa. Ia juga menyatakan bila pers dalam dinamika politik kebangsaan penting jalankan fungsi checks and balances. Sebagaimana menjadi DNA media massa sepanjang sejarah di negeri manapun.

Haedar juga berpesan agar pers tidak lantas membiarkan dunia kebangsaan dan kenegaraan di Tanah Air tercinta menjadi timpang. Terlebih, tanpa fungsi kritis pers yang konstruktif demi masa depan Indonesia yang demokratis dan berkemajuan. "Pers dituntut proaktif mengakselerasi dinamika kehidupan kebangsaan agar Indonesia menjadi negara maju di era dunia modern abad ke-21,” tutupnya mengakhiri pembicaraan dengan wartawan Law-Justice.

(Givary Apriman Z\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar