Melacak Pemborosan Ketenagalistrikan

Triliunan Duit Listrik Raib, Siapa Diuntungkan?

Sabtu, 04/02/2023 15:27 WIB
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7 di Serang, Provinsi Banten merupakan PLTU terbesar di Indonesia dengan total kapasitas sebesar 2×1.000 Megawatt (MW). (pln.co.id)

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7 di Serang, Provinsi Banten merupakan PLTU terbesar di Indonesia dengan total kapasitas sebesar 2×1.000 Megawatt (MW). (pln.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Tenaga listrik kini telah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Bukan Cuma masyarakat rumah tangga yang menggunakan listrik, namun dalam skala lebih besar adalah dunia industri. Keamanan dan keterjaminan pasokan tenaga listrik menjadi salah satu fokus pemerintah dalam pembangunan. Sayangnya, seiring perjalanan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan aroma kebocoran anggaran dan pemborosan kerap mengemuka.

Dalam rangka peningkatan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik rakyat secara adil dan merata serta mendorong pertumbuhan ekonomi, maka perlu dilakukan percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. lnfrastruktur  ketenagalistrikan adalah segala hal yang berkaitan dengan pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik, gardu induk, dan sarana pendukung lainnya.

Percepatan tersebut di antaranya adalah pembangunan pembangkit 35.000 Mega Watt (MW) dan jaringan transmisi sepanjang 46.000 kilometer (km). Untuk itu, Presiden telah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2016 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 14 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan lnfrastruktur Ketenagalistrikan.

Sayangnya, proyek percepatan yang sedianya dilakukan untuk mempercepat akses listrik untuk rakyat, namun pada kenyataannya justru terjadi pemborosan dan kebocoran di sana-sini. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) 1 2022 mencatat permasalahan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan independent power plant (IPP) yang menggunakan skema take or pay. Skema ini membuat PLN wajib mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak. BPK menyebut PLN belum optimal dalam menurunkan tarif dan memitigasi risiko penyerapan tenaga listrik di bawah batas minimum dalam skema take or pay tersebut. Sehingga kondisi ini membuat PLN gagal berhemat biaya pokok penyediaan tenaga listrik pada 2020 sebesar Rp 4,52 triliun.

BPK merekomendasikan Direksi PT PLN menyusun pedoman terkait penentuan tarif tenaga listrik secara umum, termasuk untuk pembangkit Energi Baru dan Terbarukan, untuk keperluan masa mendatang. Selain itu menginstruksikan EVP IPP dan EVP Perencanaan Sistem lebih optimal menindaklanjuti rekomendasi BPK. "Rekomendasi BPK dalam LHP sebelumnya yaitu mengupayakan energy make up untuk memanfaatkan energi yang tidak terserap dalam skema take or pay kontrak pembelian listrik IPP," dikutip dari laporan tersebut.

Menurut Ahmad Daryoko mantan ketua umum serikat pekerja PLN, salah satu hal yang membuat terjadinya pemborosan dalam pengadaan listrik melalui IPP adalah adanya klausul Take or Pay (ToP). Dengan adanya klausul ini, PLN wajib membeli listrik sesuai batas bawah yang telah ditentukan. “Misalnya PLN cuma menggunaan 20 persen daya dari PLTU IPP, namun jika ToP ditentukan minimal 70 persen. Maka PLN harus membayar yang 70 persen, padahal cuma pakai 20 persen,” ujarnya.

Dia secara gamblang menuding kepentingan investor di balik aturan tersebut. Dia juga menegaskan, pemerintah hingga saat ini tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kebijakan ini karena diikat dalam perjanjian bisnis BTOB. 

Sesuai namanya, take or pay berarti “ambil atau bayar denda”. Artinya PLN harus menyerap listrik yang diproduksi IPP sesuai dengan kontrak perjanjian jual beli listrik (PJBL) berdasarkan availability factor (AF) atau faktor ketersediaan, dan atau capacity factor (CF) atau faktor kapasitas. Jika tidak, PLN harus membayar pinalti atau denda. Namun perjanjian jual beli ini tak hanya berlaku take or pay, melainkan juga delivery or pay dari sisi IPP. Artinya, jika IPP tidak mengirimkan listrik sesuai AF/CF maka mereka harus membayar pinalti atau denda kepada PLN.

Sementara, beban PLN untuk pembelian listrik dari pembangkit swasta hingga triwulan III/2022 berada di angka Rp94,22 triliun. Beban pembelian listrik itu mengalami kenaikan signifikan 22,58 persen jika dibandingkan dengan pembelian listrik pada periode yang sama 2021 di posisi Rp76,86 triliun.

Persoalannya kemudian adalah semakin melebarnya gap antar supply dan demand tenaga listrik.  Kelebihan pasokan atau over supply listrik RI dalam satu dekade terakhir ini rata-rata mencapai 25% setiap tahunnya. Adapun angka tersebut dipastikan akan terus meningkat hingga beberapa tahun mendatang.

Persoalan oversuplai ini juga pernah disinggung Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah. Said dalam rapat pembahasan RAPBN 2023  memperkirakan kelebihan suplai listrik PLN bakal naik lagi pada tahun 2023, yang kemudian akan berpengaruh pada bertambahnya beban negara. "Kalau nanti EBT masuk maka tahun 2030 PLN itu ada 41 giga oversupply. Bisa dibayangkan kalau 1 giga itu, karena kontrak take or pay, maka harus bayar Rp3 triliun, sebab per 1 giga itu (bebannya) Rp3 triliun," ujar Said dalam rapat pembahasan RAPBN 2023 di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (12/9/2022).

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan hal ini tentu berkaitan dengan program 35.000 MW. Untuk itu ia meminta PLN untuk mencermati lagi realisasi program tersebut karena hal itu sebagai langkah dari efisiensi yang harus dilakukan PLN dalam rangka menyediakan listrik bagi masyarakat.

Pasalnya, opsi tersebut perlu dipertimbangkan berkaca dari kondisi PLN yang mengalami surplus pasokan listrik. "Ini ada kaitaanya (Program 35.000 MW), jadi itu perlu dpertimbangkan," kata  Mulyanto kepada Law-Justice.

Mulyanto menuturkan bila infrastruktur tenaga listrik itu tentu sangat berkaitan dengan program 35.000 megawatt yang pada nyatanya tidak merata di seluruh Indonesia. Akibatnya, kondisi surplus pasokan listrik hanya terjadi di Pulau Jawa dan Sumatera sekitar 40 persen. Sementara elektrifikasi di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Indonesia bagian timur, belum mencapai 100 persen.

Beban PLN dalam menjalankan program tersebut semakin berat saat permintaan tidak seimbang dengan ketersediaan barang. Ia menyebut program 35.000 megawatt bisa saja tercapai dengan optimal dengan asumsi pertumbuhan permintaan listrik 6-7 persen. "Namun realisasinya (permintaan listrik) tidak sampai 5 persen," tuturnya.

Selain itu, Mulyanto juga berharap agar PLN bisa melakukan renegosiasi terhadap skema pembayaran produksi listrik yang dilakukan oleh Independent Power Producers (IPP) swasta.

Skema saat ini dan berlaku sejak bertahun ke belakang dikenal dengan istilah take or pay. Pembayaran hasil listrik oleh IPP berdasarkan kontrak yang telah dibuat, meski jumlah kebutuhan lebih kecil.

"Perlu renegosiasi untuk rescheduling termasuk negosiasi klausul TOP (take or pay). Juga program peningkatan demand listrik industri untuk pelanggan kelas menengah atas," ungkapnya.

Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2022 BPK RI

Skema ToP ini juga diperburuk dengan ketidakmampuan PLN untuk berdaptasi dengan kondisi riil yang selalu dinamis. BPK mencatat PLN belum optimal melakukan upaya penurunan tarif dan mitigasi risiko penyerapan tenaga listrik di bawah batas minimum dalam skema take or pay untuk memperbaiki biaya pokok penyediaan tenaga listrik. Hal ini mengakibatkan PT PLN kehilangan kesempatan untuk menghemat biaya pokok penyediaan tenaga listrik tahun 2020 sebesar Rp4,52 triliun dari upaya penurunan tarif pembelian tenaga listrik. Selain itu, PT PLN kehilangan kesempatan untuk menghemat biaya pokok penyediaan tenaga listrik dari make up energi listrik tahun 2020.

Kisruh ToP ini kemudian menjadi perhatian khusus dari Kementerian ESDM. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana meminta PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN untuk tak lagi menggunakan skema take or pay (ToP) dalam perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP) ke depan.  Dia mengatakan, langkah itu diambil lantaran beban pembelian listrik dari IPP relatif besar saat ini. Malahan, beban itu berpotensi untuk meningkat seiring dengan kontrak-kontrak dari program 35.000 megawatt (MW) yang mulai komersial tahun ini.

“Kita sangat menghormati kontrak yang ada, tetapi karena ini menyangkut kepentingan nasional tentu saja kita imbau untuk pelaku penandatanganan kontrak ke depan jangan lagi ToP, kita juga sudah berlebih,” kata Rida saat konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, dikutip Selasa (31/1/2023).

Dia menuturkan, skema take or pay dulu diberlakukan untuk memacu pembangunan pembangkit listrik oleh swasta karena Indonesia masih kekurangan listrik. Namun, dengan kondisi listrik PLN yang saat ini sudah berlebih, pemerintah akan mendorong penerapan skema kontrak take and pay ke depan.

“Ke depannya kita beli bayar untuk yang kita pakai saja, ke depannya akan ke arah sana jadi pure bisnis seperti itu supply demand di pasar saja,” kata dia. 

Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut bila investasi di sektor ketenagalistrikan RI pada 2022 mencapai US$ 5,75 miliar atau sekitar Rp 85,5 triliun. Hal tersebut mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya sebesar14% dari realisasi investasi pada 2021 yang mencapai US$ 6,71 miliar.

Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan penurunan investasi di sektor ketenagalistrikan pada 2022 ini dipicu sejumlah faktor.

Salah satu faktornya yaitu penurunan konsumsi listrik karena pandemi Covid-19, sehingga beberapa proyek pembangkit mengalami perubahan jadwal beroperasi atau Commercial Operation Date (COD).

Investasi ketenagalistrikan ini terdiri dari investasi pembangkit, transmisi, gardu induk, dan distribusi. "Pembatasan kemampuan investasi PLN, sehingga pendanaan proyek menjadi lebih selektif," ungkap Dadan kepada Law-Justice.

Tak hanya itu, faktor lain yang menyebabkan lebih rendahnya capaian investasi pada 2022 ini juga dipicu oleh pembatasan masuknya tenaga kerja asing (TKA), peralatan/komponen material utama dan juga beberapa kontraktor mengalami kesulitan finansial.

Lalu, adanya permasalahan perizinan dan pembebasan lahan, terhambatnya suplai material transmisi utama (MTU) dan material distribusi utama (MDU) akibat pengaruh perang Rusia-Ukraina. Dan juga, beberapa proyek PLN masih dalam fase pengadaan.

Meski begitu, ia menekankan realisasi investasi hingga akhir 2022 ini lebih besar dari target 2022 sebesar US$ 5 miliar. "Realisasi investasi ketenagalistrikan sampai dengan Desember 2022 sebesar US$ 5,75 miliar, lebih besar dari target bulanan dan tahunan yaitu US$ 5 miliar," ucapnya.

Dia menyebut, rasio elektrifikasi hingga 2022 tercatat mencapai 99,63%. Pada 2023 ini rasio elektrifikasi ditargetkan bisa mencapai 100%. "Sepanjang 2022, kapasitas pembangkit listrik bertambah 5.338,1 Mega Watt (MW) dengan konsumsi listrik per kapita mencapai 1.173 kilo Watt hour (kWh) per kapita," ungkapnya.

Sementara itu, Daryoko juga mengingatkan kalau persoalan lain yang timbul akibat kebijakan IPP ini adalah kini PLN tidak lagi bertindak sebagai satu-satunya pelaku pasar kelistrikan. “Meskipun kalau bicara casing, PLN itu masih memonopoli pasar dan produsen listrik. Namun, faktanya dengan maraknya IPP dan diizinkan untuk jual langsung ke wholesale market, Praktis PLN Cuma jadi porter saja. Memanfaatkan jaringan yang dimiliki,” ujarnya.

 Kelebihan Subsidi, Duitnya Lari Kemana?

 Pasar multi buyer multi seller (MBMS) menurut Daryoko mulai dibuka saat Dahlan Iskan menjadi Dirut PLN tahun 2010. Akibat kebijakan MBMS ini, PLN dan negara tidak bisa ikut campur dalam penentuan harga dasar listrik. “Ini cara kerjanya sudah sangat mirip kartel, sekelompok produsen rapat dengan sekelompok buyer menentukan harga. Celakanya, karena posisi PLN juga buyer, dia mesti patuh pada harga. Kemudian, terhadap selisih nilai beli PLN dengan nilai jual ke rakyat akan ditagihkan ke negara dalam bentuk subsidi,” ujar Daryoko.

Di laman instagramnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, sebanyak Rp 133,3 triliun uang negara diberikan kepada PT PLN (Persero) di sepanjang 2022. Uang itu digunakan untuk subsidi lisrik hingga penyambungan listrik. Bendahara negara itu pun merinci penggunaan anggaran tersebut. Pertama sebesar Rp 56,2 triliun untuk subsidi listrik keluarga tidak mampu berdaya 450 volt ampere (VA) agar tarif listriknya menjadi terjangkau. Kedua, sebanyak Rp 72,1 triliun digunakan untuk subsidi listrik kelompok dengan daya 900 VA ke atas agar tarif listriknya stabil. Ketiga, Rp 5 triliun berupa penyertaan modal negara (PMN) untuk menyambung listrik di daerah terluar dan kelompok termiskin.

Pemerintah telah mengucurkan subsidi sebesar Rp 133,3 Triliun untuk sektor ketenagalistrikan. (tangkapan layar instagram)

Ia menambahkan, APBN juga digunakan mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Tujuannya, untuk menurunkan emisi karbon dan mengatasi dampak perubahan iklim (climate change). Adapun sesuai komitmen, Indonesia menargetkan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 32 persen dengan upaya sendiri atau 43 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Baca juga: Sri Mulyani: 63 Negara Terlilit Utang, 3 Negara Asia Jadi Pasien IMF Selain itu, Indonesia juga menargetkan dapat mencapai kondisi net zero emissions (NZE) di 2060. "APBN, pajak anda telah dan terus membangun Indonesia secara berkeadilan," tutupnya.

Menurut Daryoko, subsidi ini pun belum pernah dijelaskan peritungannya. “Pokoknya PLN nagih, negara bayar. Padahal, PLN pun tidak memiliki kuasa penuh atas harga listrik dari pembangkit swasta,” ujarmya. Jadi, menurutnya, jelas kebijakan ini bakal menguntungkan pembangkit swasta. Tak heran, sebab Daryoko menyebutkan ada sejumlah nama pejabat dan yang berelasi kuasa ikut dalam bisnis pembangkit. “Sebut saja ada Luhut, Eric Thohir melalui Boy Thohir, Bakrie di PLTU,” ujarnya.

Paparan dari Daryoko ini nampaknya searah dengan temuan BPK. BPK menemukan kalau PT PLN menerima dana kompensasi tenaga listrik dari pemerintah lebih besar Rp 1,20 triliun. Hal ini terjadi karena pemberlakuan  penyesuaian  tarif  periode  sebelumnya  membebani keuangan negara dan PT PLN belum berkoordinasi dengan Kementerian ESDM terkait upaya rinci efisiensi operasional yang harus dilakukan oleh PT PLN untuk menindaklanjuti Surat Menteri ESDM dalam menghitung penyesuaian tarif tenaga listrik.

BPK merekomendasikan Direksi PT PLN agar melakukan koordinasi secara optimal dengan Kementerian ESDM terkait upaya rinci efisiensi operasional yang harus dilakukan oleh PT PLN untuk menindaklanjuti Surat Menteri ESDM dan melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait penerimaan dana kompensasi penyesuaian tarif tenaga listrik yang lebih besar Rp 1,20 triliun. Selain itu, juga menginstruksikan EVP Tarif dan Subsidi untuk menggunakan volume penjualan dan nilai realisasi pendapatan sesuai dengan kondisi riil.

 Menggebah ‘Tikus’ di Lumbung Listrik

Maraknya pemborosan dan keboocoran dalam proyek percepatan infrastruktur ketenagalistrikan ternyata berhilir pada sejumlah kasus korupsi. Catatan dan temuan BPK dan sorotan lembaga swadaya masyarakat bersinergi dengan aparat penegak hukum.

Kejaksaan Agung (Kejagung) mengendus adanya kolusi dan nepotisme dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tower transmisi tahun 2016 pada PT PLN. Praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) itu terindikasi berkaitan dengan penetapan harga. “Ya indikasinya kan dalam hal penentuan harganya. Ke arah sana,” tutur Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi Selasa (3/1/2023).

Pada Senin, 1 Januari 2023, Kejagung melakukan pemeriksaan terhadap dua saksi terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi atau dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme dalam pengadaan tower transmisi tahun 2016 pada PT PLN. Mereka adalah K selaku Manajer Teknis pada Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset dan Kawasan Sains Industri, dan C selaku Staf pada Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset dan Kawasan Sains Industri.

Kuntadi belum merinci lebih jauh terkait temuan tersebut dalam kasus korupsi PT PLN. Namun yang pasti, ada upaya penetapan harga satuan dalam proyek transmisi sehingga tercium praktik rasuah.

“Ya itu nanti tindak lanjutnya, makanya dari situ kan. Kita cek bagaimana cara penetapan harga dan lain sebagainya,” Kuntadi menandaskan.Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan masih mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower transmisi tahun 2016 pada PT PLN. Meski enggan membeberkan lebih jauh, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Kuntadi menegaskan proses penegakan hukum akan jalan terus.

ilustrasi tower transmisi. (listrikindonesia.com)

Sebelumnya, Kejagung telah menaikkan status kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi PT PLN pada 2016 dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Hal itu berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print- 39/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 14 Juli 2022.

Pada perkara ini, PT PLN pada 2016 memiliki proyek pengadaan tower sebanyak 9.085 set dengan anggaran pekerjaan Rp 2.251.592.767.354.

Namun dalam pelaksanaannya, Kejaksaan Agung meyakini telah terjadi perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dalam proses pengadaan tower transmisi PT PLN (persero) yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara.

Hal itu terbukti dari dokumen perencanaan pengadaan yang tidak dibuat, juga menggunakan Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower. Padahal seharusnya pembangunan harus menggunakan produk DPT yang dibuat pada tahun 2016. Namun pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah ada.

(sumber: laporan ICW)

Kemudian, PT PLN dalam proses pengadaan selalu mengakomodasi permintaan dari ASPATINDO, sehingga mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka, sebab Direktur Operasional PT Bukaka merangkap sebagai Ketua ASPATINDO.

Selanjutnya, PT Bukaka dan 13 Penyedia Tower lainnya yang tergabung dalam ASPATINDO telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak yaitu Oktober 2016 sampai Oktober 2017 dengan realisasi pekerjaan sebesar 30 persen.

Lalu pada periode November 2017 sampai dengan Mei 2018 penyedia tower tetap melakukan pekerjaan pengadaan tower tanpa legal standing yang kondisi tersebut memaksa PT PLN (persero) melakukan addendum pekerjaan pada bulan Mei 2018 yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun.

PT PLN (persero) dan pihak penyedia juga melakukan adendum kedua untuk penambahan volume dari 9085 tower menjadi kurang lebih 10 ribu set tower dan perpanjangan waktu pekerjaan sampai dengan Maret 2019, dikarenakan alasan pekerjaan belum selesai.

Hasilnya, Kejaksaan Agung menemukan tambahan alokasi sebanyak 3 ribu set tower di luar kontrak dan addendum. Penyidik pun langsung melakukan serangkaian tindakan, mulai dari penggeledahan, yang bertempat di tiga titik lokasi yakni PT Bukaka, rumah, dan apartemen pribadi milik Direktur PT Bukaka, Saptiastuti Hapsari.

Sementara itu Rakyat Peduli Lingkungan atau Rapel kembali melayangkan surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK pada Rabu, 25 Januari 2023. Surat tersebut bertujuan untuk mengingatkan kasus dugaan korupsi PLTU Cirebon 2 yang menyeret eks Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisasatra agar diusut tuntas.

“Kalau kasus ini lama dibiarkan, saya khawatir barang bukti yang kemarin hilang. Sehingga, penegakan hukum terkait kasus korupsi PLTU Cirebon ini tidak berkembang,” ucap Ketua Rapel Cirebon Aan Anwaruddin, Rabu, 25 Januari 2023.

Dalam proyek PLTU Cirebon 2 ini, Sunjaya disebut menerima duit terkait perizinan proyek sebesar Rp 6,04 miliar.  Dugaan suap terkait proyek pembangkit listrik ini sebelumnya sudah muncul dalam proses persidangan perkara suap jual beli jabatan yang juga menjerat Sunjaya. Dalam kasus itu, Sunjaya divonis 5 tahun penjara oleh majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung pada 22 Mei 2019.

Sementara itu, KPK baru menetapkan General Manager Hyundai Enginering Construction (HDEC) Herry Jung sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait perizinan proyek PLTU 2 Cirebon pada Desember 2022. Herry Jung disebut sebagai pelaku yang memberikan suap kepada mantan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra sebesar Rp 6,04 miliar dari janji awal Rp 10 miliar yang saat ini telah ditahan KPK. Suap berkaitan dengan perizinan PT. Cirebon Energi Prasarana yang menggarap PLTU tersebut.

Salah kasus paling menghebohkan adalah kasus dugaan korupsi PLTU Riau-1. Dalam kasus ini KPK memberangus sejumlah tokoh karena terlibat di dalamnya. Diantaranya adalah anggota DPR RI Enny Saragih, Pengusaha Johanes Kotjo, dan menteri Sosial Idrus Marham. Semuanya telah diputus bersalah dalam putusan yang inkrah. Sebenarnya dalam kasus ini KPK juga telah menetapkan Dirut PLN Sofyan Basyir. Namun, di tingkat kasasi Sofyan basyir mendapat putusan bebas.

13 Juli 2018 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih di kediaman Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar yang sekaligus Menteri Sosial pada saat itu, Idrus Marham. Secara bersamaan, KPK mencokok pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo di Graha BIP Jakarta.

Catatan BPK: Triliunan Duit Rakyat di Sektor Ketenagalistrikan Raib

 Pemborosan di proyek besar percepatan pembangunan infrastruktur ketenaga listrikan bukan sekedar di sektor pengelolaan tenaga listriknya saja. Dalam laporan Indonesia Corruption Watch menyebutkan sejumlah proyek pembangunan PLTU ditengarai bermasalah. Dalam paper berjudul Potret Masalah Perusahaan Listrik Negara Januari 2020 disebutkan ada setidaknya 29 PLTU yang bermasalah.

Badan Pemeriksa  Keuangan (BPK) RI melakukan pemeriksaan terhadap PT PLN secara berkala. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan kinerja, pemeriksaan  keuangan, dan pemeriksaan  dengan tujuan tertentu.  ICW melakukan penelusuran  terhadap  laporan hasil pemeriksaan BPK RI terhadap PT PLN tahun 2014 - 2020. Hasil penelusuran lalu menemukan sedikitnya 79 masalah yang berkaitan dengan kelistrikan dan pengelolaan batu bara. Permasalahan tersebut apabila diklasifikasikan meliputi 7 isu besar, yaitu masalah-masalah yang meliputi harga/stok/pasokan/kualitas batu bara, kontrak/perjanjian jual beli/kerjasama PT.

Masalah yang berkenaan dengan pembangkit listrik paling banyak ditemukan oleh BPK RI, yakni sebanyak 36 temuan. Jenis pembangkit yang utamanya ditemukan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batu bara. Sedikitnya terdapat 29 PLTU dengan temuan masalah dalam pemeriksaan BPK RI, diantaranya: Temuan BPK antara lain meliputi perencanaan pembangunan dan pembiayaan PLTU, lokasi dan pembebasan lahan, lelang pembangunan PLTU, serta minimnya pengawasan.

Sebagai contoh, BPK menemukan perencanaan pembiayaan PLTU Amurang dan PLTU Asam-Asam tidak memadai sehingga mengakibatkan peningkatan biaya sebesar USD2,85 Juta dan Rp141,31 miliar. Dalam hal lelang, BPK ikut menemukan penetapan pemenang lelang PLTU Tenayan Riau, PLTU Pulang Pisau Kalimantan Tengah, dan PLTU Kaltim melanggar ketentuan sehingga merugikan perusahaan sebesar USD27,31 Juta dan Rp326,88 Miliar.

Lima PLTU tersebut termasuk dalam program percepatan 10.000 MW periode tahun 2006 – 2015. BPK menyampaikan hasil pemeriksaannya terhadap program 10.000 MW pada tahun 2017 dan sederet permasalahan dalam program tersebut dijabarkan oleh BPK RI.

Akan tetapi BPKP menolak memberikan informasi tersebut, sehingga temuan permasalahan dalam program 35.000 MW tidak dapat diketahui secara pasti.

Masalah lain yang berkenaan dengan temuan BPK adalah mengenai pembangunan infrastruktur dengan 19 temuan, yang antara lain adalah pembangunan PLTU. Pada program 10.000 MW contohnya, terdapat kelebihan bayar atas pembebasan lahan PLTU Kalbar 2 sebesar Rp182,23 Juta. Terdapat juga temuan mengenai pekerjaaan yang tidak sesuai spesifikasi, peralatan yang mengalami kerusakan dan belum diperbaiki oleh kontraktor pada pembangunan PLTU sehingga memboroskan biaya minimal sebesar Rp7,89 Miliar.

Temuan lain yang penting untuk disoroti adalah masalah pengadaan barang dan jasa. Terdapat sedikitnya 23 temuan berkenaan dengan masalah tersebut. Masalah yang ditemukan misalnya kelebihan pembayaran atas kontrak pengadaan batu bara untuk PLTU Suralaya sebesar Rp11.551.653.971. Terdapat pula masalah dalam PLTU Paiton Baru yang kehilangan daya sebanyak 37,07 ribu MW akibat pengadaan suku cadang mill yang tidak memadai. Keuangan PT PLN juga sempat mengalami pemborosan akibat perencanaan atas pengadaan pekerjaan tambah PLTU Kaltim yang tidak memadai sehingga memboroskan keuangan sebesar Rp67 Miliar.

Dalam hal kontrak/perjanjian  jual  beli/kerjasama PT PLN dengan pihak eksternal, BPK juga menemukan sejumlah permasalahan. Sedikitnya terdapat 16 masalah mengenai hal tersebut. Masalah diantaranya  ditemukan dalam anak perusahaan PT PLN, yaitu PT PLN Batam dan PT PLN Batu Bara. Contohnya adalah dalam perjanjian jual beli tenaga listrik PLTU Tanjung Kasam, terdapat ketidakjelasan klausul nilai kalori batu bara, sehingga PT PLN Batam tidak dapat mengenakan denda heat rate. Di samping itu, PT PLN Batu Bara pernah berpotensi kehilangan dana kerjasama operasional (KSO) yang telah dibayarkan kepada mitranya sebesar Rp593.453.860.762,00.

Terakhir adalah masalah yang berkenaan dengan pengelolaan batu bara meliputi harga/stok/ pasokan/kualitas batu bara serta limbah B3. BPK dalam  pemeriksaan tahun  2014  menemukan pemasok batu bara untuk kebutuhan PLTU sering terlambat  memenuhi  pasokan batu bara dan melebih1 ketentuan batas maksimal keterlambatan yang diatur dalam perjanjian jual  beli batu bara.

Tiga perusahaan yang terlambat diantaranya PT Dwi Guna Laksana, Konsorsium PT Oktasan Baruna Persada, PT Golden Great Borneo, serta PT Buana Eltra, dan Konsorsium PT Exploitasi Energi Indonesia Tbk dan CV Multi Bara Persada.

Keterlambatan  tersebut  berimplikasi  terhadap kinerja sejumlah PLTU, akan tetapi PT PLN tidak memutus  kontrak dengan  perusahaan  tersebut. PLN juga  diketahui pernah melakukan lebih bayar batu bara kepada PT Hanson Energy dan Konsorsium PT Kasih lndustri Indonesia dan PT Senamas Energindo Mulia. Hasil pemeriksaan menemukan lebih bayar mencapai Rp13,53 miliar karena selisih harga batu bara acuan (HBA).

Sementara itu, dalam pemeriksaan semester I 2022 Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) juga mencatat sejumlah temuan dalam rangkaian proyek pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. BPK   dengan   memperhatikan   pentingnya   peranan   infrastruktur ketenagalistrikan telah melaksanakan tiga pemeriksaan atas infrastruktur ketenagalistrikan tersebut pada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), selanjutnya disebut PT PLN, yaitu terkait: 1) pengelolaan independent power producer (IPP); 2) pengelolaan jaringan transmisi; serta 3) perhitungan penyesuaian tarif tenaga listrik.

Hasil pemeriksaan pada 3 objek pemeriksaan menyimpulkan bahwa pengelolaan infrastruktur ketenagalistrikan telah dilaksanakan sesuai kriteria dengan pengecualian. Hasil pemeriksaan mengungkapkan 18  temuan yang memuat 41 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 20 kelemahan SPI, 9 ketidakpatuhan sebesar Rp1,23 triliun, dan 12 permasalahan 3E sebesar Rp53,30 miliar.

Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I BPK RI 

Pada semester I tahun 2022, BPK telah menyelesaikan hasil pemeriksaan atas pengelolaan IPP tahun 2016-semester I tahun 2020 pada PT PLN dan instansi terkait lainnya. Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan IPP tersebut telah dilaksanakan sesuai kriteria dengan pengecualian atas beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut di antaranya sebagai berikut:

Dalam penetapan kapasitas pembangkit IPP, PT PLN belum memperhatikan kemampuan keuangan dan rencana investasi sesuai tata kelola perusahaan yang baik. Hal ini mengakibatkan PT PLN tidak dapat mengukur kewajaran dan efektivitas investasi PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) melalui PT PJB Investasi (PJBI) pada Pembangkit Listrik Tenaga  Air  (PLTA)  Batang  Toru,  serta  timbulnya  risiko  kehilangan investasi tersebut.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direksi PT PLN agar melakukan reviu dan evaluasi terhadap efektivitas investasi yang telah dilakukan oleh PJBI pada PLTA Batang Toru, serta menyusun langkah-langkah strategis yang konkret untuk memitigasi risiko dalam investasi tersebut.

Dalam pengadaan IPP dan konstruksi pembangkit IPP, PT PLN menentukan tarif pembelian tenaga listrik tidak menggunakan referensi paling mutakhir dan tidak mengevaluasi berdasarkan kondisi riil, serta tidak mempertimbangkan status lahan aset IPP pasca masa kontrak. Hal ini mengakibatkan potensi ketidakhematan biaya pokok penyediaan tenaga listrik PT PLN dan salah satunya dapat membebani subsidi listrik yang dibayarkan oleh pemerintah.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direksi PT PLN menginstruksikan Executive Vice President (EVP) IPP serta pejabat terkait lainnya untuk mengevaluasi kewajaran tarif  pembelian tenaga listrik IPP dan selanjutnya menyusun rencana aksi untuk menindaklanjuti hasil evaluasi tersebut secara optimal yang paling menguntungkan PT PLN, termasuk mengkomunikasikan/konsultasi penyesuaian harga pembelian tenaga listrik dalam kontrak IPP terkait, dengan mempertimbangkan status kepemilikan lahan, nilai residu, dan biaya investasi riil pembangkit.

Dalam operasi pembangkit IPP, PT PLN belum optimal melakukan upaya penurunan tarif dan mitigasi risiko penyerapan tenaga listrik di bawah batas minimum dalam skema take or pay untuk memperbaiki biaya pokok penyediaan tenaga listrik. Hal ini mengakibatkan PT PLN kehilangan kesempatan untuk menghemat biaya pokok penyediaan tenaga listrik tahun 2020 sebesar Rp4,52 triliun dari upaya penurunan tarif pembelian tenaga listrik. Selain itu, PT PLN kehilangan kesempatan untuk menghemat biaya pokok penyediaan tenaga listrik dari make up energi listrik tahun 2020.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direksi PT PLN menyusun pedoman terkait penentuan tarif tenaga listrik secara umum, termasuk untuk pembangkit Energi Baru dan Terbarukan, untuk keperluan di masa mendatang, dan menginstruksikan EVP IPP dan EVP Perencanaan Sistem lebih optimal menindaklanjuti rekomendasi BPK dalam LHP sebelumnya yaitu mengupayakan energy make up untuk memanfaatkan energi yang tidak terserap dalam skema take or pay kontrak pembelian listrik IPP.

Law-Justice mencoba untuk mengkonfirmasi kepada PLN terkait adanya temuan BPK terkait potensi kerugian dari proyek pembangunan infrastruktur listrik. Namun hingga berita ini diturunkan pihak PLN belum memberikan tanggapan terkait temuan BPK tersebut.

Triliunan duit rakyat menguap di sektor ketenagalistrikan. BPK menemukan sejumlah modus raibnya duit tersebut, mulai dari penetapan besaran subsidi yang tidak jelas, pengadaan yang ugal-ugalan, pemborosan terstruktur yang terjadi di sektor pengadaan daya listrik, hingga dugaan korupsi sektor pengadaan dan pembangunan PLTU. Sayangnya, penegak hukum masih belum optimal dalam menindak dugaan kerugian ini. Meskipun sejumlah perkara korupsi terutama di sektor pengadaan PLTU dan proyek jaringan sudah ditangani oleh penegak hukum. Namun, masih belum menyentuh inti dan pangkal persoalan.  

Sementara itu, sejumlah petinggi negeri mulai dari menteri kabinet hingga petinggi partai yang diduga turut bermain dalam bisnis sektor energi tampak tak tersentuh. Hal ini makin meyakinkan publik kalau keterlibatan mereka dalam bisnis, bersinggungan dengan posisi politik mereka. Diperlukan audit investigatif yang mendalam dan terperinci oleh BPK yang menggandeng BPKP dan PPATK untuk bisa mendalami kerugian negara di sektor ketenaga listrikan dan kemana duit rakyat mengalir. Tentunya mesti ditindaklanjuti oleh penegak hukum yang berintegritas dan tak kalah penting adalah political will dari presiden RI.

 

Kontribusi: Ghivari Apriman, Bandot DM

 

 

 

 

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar