Putu Wijaya, Budayawan

Bahaya Laten Era Kebebasan Informasi Hingga Lompatan Teknologi

Selasa, 24/01/2023 12:10 WIB
Budayawan Putu Wijaya (Net)

Budayawan Putu Wijaya (Net)

Jakarta, law-justice.co - Secara fisik Putu Wijaya kini memang tak seperti dulu, kursi roda sudah menjadi temannya dalam keseharian, akan tetapi jiwanya justru makin muda. Geloranya dalam berkarya tak diragukan lagi. Meski Putu dikenal sebagai sastrawan, novelis hingga sutradara teater, siapa nyana, jika sebenarnya Putu bergelar Sarjana Hukum.

Jelang pemilu 2024, Putu berharap elite bertanggung jawab membina rakyat dari muda hingga tua di era kemajuan teknologi saat ini, bahaya laten dari kebebasan informasi dan lompatan teknologi adalah tidak semua orang siap seperti orang yang berpendidikan rendah dan rakyat Indonesia yang tinggal di wilayah terluar Indonesia, yang tidak siap akan menghadapi kekacauan, munculnya aliran sesat, bunuh diri, banyak orang yang tidak bermoral, dan yang paling bahaya adalah disintergarasi bangsa, munculnya perpecahan hingga pemberontakan.

“Jangan musuhi mereka yang tak siap dengan lompatan teknologi, rangkul mereka agar mereka merasa disayangi dan dilindungi, ini menjadi peran bersama, kita harus punya kesadaran, apalagi mereka yang sudah dipilih oleh rakyat, para elite anggota DPR hingga eksekutif juga harus punya tanggung jawab mengayomi mereka,” jelasnya kepada Law-Juctice.co Rabu (4/1/2023).

”Saya bukan pengamat politik, tapi ada isu besar yang kadang tidak menjadi sorotan dari elite dan kaum intelektual, salah satunya tanggung jawab terhadap orang-orang yang tak siap menghadapi kemajuan teknologi, semua orang memegang ponsel dan mudah dalam menerima informasi, ada orang yang bisa menyaring tapi ada orang yang menelan mentah-mentah informasi, kita harus bantu mereka untuk memilah dan memilih infomasi yang tepat untuk mereka,” katanya.

Putu mengungkap tidak semua orang siap menerima lompatan teknologi saat ini. "Bagi yang siap dengan lompatan teknologi luar biasa ini akan merasa tertolong karena kemudahan yang bisa dinikmati, tapi tidak bagi mereka yang belum siap, mereka akan kebingungan, efek dari lompatan teknologi bisa membuat terbentuknya aliran-aliran sesat," ujarnya.

"Dulu informasi untuk masyarakat dibatasi, saat ini informasi begitu deras, membabi buta, bertubi-tubi tanpa halangan diterima masyakat, hal ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk membantu mereka yang belum siap dengan kemajuan teknologi, jangan musuhi mereka, mereka harus ditemani dan di bimbing," tukasnya.

Putu mengingatkan, agar media tak sembarangan dalam menyampaikan informasi, pikirkan efek baik dan buruk yang terjadi dengan informasi yang disampaikan ke masyarakat." Dulu hanya media yang bisa bikin berita, sekarang semua orang bisa dbikin berita, hati-hati dalam menyampaikan informasi agar tidak menyesatkan," jelas dia.

Putu menyebut ada jebakan dalam menerima kebebasan informasi, dalam informasi ada yang baik dan tidak baik, ada hukum, dan kepatutan. “Informasi yang tidak benar akan merusak moral rakyat, sebab semua orang sekarang mabuk viral, mengejar traffic agar banyak pembaca, tapi banyak yang tidak punya tanggung jawab dalam memberi informasi,” ucap Seniman Bergelar Sarjana Hukum (SH) dari Universitas Gajahmada.

Tak pelak, perhatiannya pada dunia hukum Indonesia juga tak lepas dari sorot Putu, sebagai lulusan Fakultas hukum sekaligus wartawan senior, putu merasa kebasan pers saat ini tetap harus dalam pengawasan dan tidak kebablasan. “ Ini era dimana media sudah sangat terbuka, sudah sepantasnya hukum melindungi semua orang dan juga harus menghargai kemerdekaan orang, undang-undang ada untuk masyarakat, untuk itu keadilan harus dirasakan oleh masyarakat, bukan tajam kebawah tumpul keatas,” tukasnya.

Perlu diketahui, Sebelum meraih gelar SH Putu juga belajar di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) selama satu tahun, yaitu tahun 1964, meski bergelar SH nyatanya Putu justru memelintir nasibnya menjadi budayawan, dan menjadi piawai di bidang susastraan.

Tak perlu ditanya kecintaannya dalam berteater, Putu memulai debut pentas teaternya sejak 1967 naskah Putu Wijaya yang berjudul Lautan Bernyanyi mendapat hadiah ketiga dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia dalam Sayembara Penulisan Lakon.

Pria kelahiran 11 April 1944 memang piawai dalam dalam melakukan dekonstruksi dalam setiap karyanya, karyanya kerap membanjiri kepala penikmatnya dengan hal yang terduga, kadang tema yang kurang popular dan asing di telinga. Alih-alih aneh dan Ajaib sebagian karya-karya Putu menggambarkan dunia yang jungkir balik. Siluet menjadi media imajinasi Putu yang tak mudah diterka.

Putu Wijaya dikenal sebagai dramawan, novelis, cerpenis, dan wartawan. Menulis bagi Putu adalah cara untuk mengenang siapapun yang telah memberi kontribusi bagi hidup dan karya-karyanya. Sebab bagi Putu, menulis bukan hanya sekedar bercerita, tetapi juga mengemukakan pendapat dengan strategi yang diperhitungkan namun tanpa kehilangan rasa dan spontanitas.

Seabrek karya teater Putu Wijaya, antara lain, Lautan Bernyanyi (1967), Aduh (1973), Anu (1974), Dag Dig Dug (1976), Edan (1977), dan Gerr (1986). Ia juga menulis buku berisi kumpulan puisi yang berjudul Dadaku adalah Perisaiku, terbit pada tahun 1974.

Judul cerita pendek Putu Wijaya, diantaranya Bom (1978), Es (1980), Gres (1982), dan Klop (2010). Ia juga menulis banyak novel yang mendapat sambutan luas. Novel-novel tersebut ialah Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Pabrik (1976), Stasiun (1977), Ms (1977), Tak Cukup Sedih (1977), Keok (1978), Sobat (1981), Lho (1982), Nyali (1983), Pol (1987), Perang (1995), dan Mala Tetralogi Dangdut (2008).

Ini yang mungkin tak dilakukan banyak orang, meski punya gelar Ningrat dengan kasta tertinggi di Bali, Pra bernama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya ogah menepuk dadanya dan menunjukkan diri kalau dirinya ‘berdarah biru’, Putu merasa memakai gelar kebangsawanan kurang egaliter, Putu khawatir dirinya merasa lebih baik dari orang lain.

Kegelisahan Putu Wijaya

Pernah dengar dengan kejadian bernama "Jonestown Massacre" terjadi pada 18 November 1978?, ketika lebih dari 900 anggota sekte Amerika bernama Peoples Temple tewas dalam bunuh diri massal di bawah arahan pemimpin mereka Jim Jones (1931-1978).

Kasus bunuh diri massal, kejadian luar biasa yang bikin geleng-geleng kepala dan heran, ada sekelompok orang yang rela mati demi hal yang sia-sia.
berkecamuk tanya batin orang yang melihat dan membaca berita atas kemunculan aliran-aliran sesat yang mengerikan. Kasus ini tidak banyak diketahui, dijadikan inspirasi Putu Wijaya menciptakan naskah dan mementaskan AUM.

Teater Mandiri bahkan beberapa kali mementaskan AUM tanpa disadari naskah itu terinspirasi dari kisah tragis aliran sesat itu. Putu Wijaya sebagai Penulis Naskah dan Sutradara membawakan naskah AUM dengan komedi, orang dibuat terpingkal-pingkal dari awal layar terbuka hingga akhir pertunjukan.

Peristiwa tragis yang di tangkap Putu Wijaya adalah kritik sosial terhadap banyaknya perubahan di dunia yang belum tentu bisa dicerna oleh manusia dengan baik.
Munculnya aliran-aliran sesat, dianggap putu sebagai sebuah tanda tanya yang tidak ada jawabannya.

Lakon AUM kali ini sekelompok warga dari desa terpencil yang dipimpin oleh Nenek yang diperankan oleh Laila Uliel El Na`ma datang hendak protes ke rumah Pak Bupati yang diperankan Gandung Bondowoso.

Putu Wijaya mengkritik era kemajuan teknologi yang seperti air deras saat ini. "Dengan lompatan teknologi, banyak masuk aliran sesat, bupati kebingungan menerima pertanyaan mereka," Ungkapnya kepada Law-Justice.co, Kamis (4/1/2022).

Awalnya Pak Bupati enggan bertemu sekelompok warga desa ini, hingga mengutus Dua Satpam Kocak yang diperankan Ari Sumitro dan Lalu Karta Wijaya `Awi`
sekelompok warga yang diperankan oleh Rukoyah, Imron, Taksu, Achong, Widi, Penny dan Agung ini menginap di luar pagar rumah Bupati untuk menanyakan pertanyaan yang bahkan mereka bingung dengan apa yang mereka tanyakan.

Sekelompok warga ini tak paham dengan fenomena yang mereka hadapai, Pak Bupati yang berupaya mendengar aspirasi mereka juga bingung dengan pertanyaan itu dengan niat untuk membantu dan mencari solusi, tapi pertanyaan itu tidak ada jawabannya. Sebab perdebatan atas pertanyaan yang tidak ada jawabannya, sekelompok warga desa ini akhirnya melakukan bunuh diri massal.

Di Panggung Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, AUM pentas pada Rabu (4/1/2022) dan Kamis (5/1/2022). Teater Mandiri menggelar AUM tanpa bayar tiket. Penonton diharapkan berdonasi demi kepedulian terhadap tokoh-tokoh senior Teater yang sedang sakit meski Putu Wijaya sendiri kini tengah berjuang mengatasi sakit ditubuhnya, upaya Putu Wijaya bentuk menggungah masyarakat untuk peduli pada tokoh-tokoh senior.

 

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar