Jika Israel Ubah Status Al-Aqsa, Raja Yordania Siap Angkat Senjata

Kamis, 29/12/2022 16:15 WIB
Jika Israel Ubah Status Al-Aqsa, Raja Yordania Siap Angkat Senjata. (Istimewa).

Jika Israel Ubah Status Al-Aqsa, Raja Yordania Siap Angkat Senjata. (Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Raja Yordania, Abdullah II menegaskan bahwa negaranya siap menghadapi konflik terbuka jika Israel berani mengubah status Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.

Hal itu diutarakan Raja Abdullah II ketika Israel bakal memiliki pemerintahan baru di bawah kepemimpinan eks Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang kembali memenangkan pemilu.

Pemerintahan Netanyahu saat ini digadang-gadang menjadi pemerintahan paling berhaluan kanan dalam sejarah Israel.

Dalam wawancara khusus dengan CNN, Raja Abdullah II merasa waswas terhadap niat sejumlah pihak di Israel yang ingin mendorong perubahan status Yordania sebagai wali atau penjaga sejumlah situs umat Muslim dan Kristen di Yerusalem Timur, termasuk Masjid Al-Aqsa.

Raja Abdullah II memperingatkan bahwa Yordania memiliki batas kesabaran merespons niat Israel itu.

"Jika orang ingin terlibat konflik dengan kami, kami cukup siap," kata Raja Abdullah II kepada reporter Beck Anderson bulan ini.

"Saya selalu percaya bahwa, mari kita lihat dari gelas setengah penuh, tetapi kami memiliki batasan tertentu dan jika orang ingin mendorong batasan itu, maka kami akan menghadapinya," paparnya menambahkan.

Meski begitu, Raja Abdullah enggan menjabarkan respons seperti apa yang akan dilakukan jika Israel mengubah status kontrolnya terhadap Yerusalem, kota yang juga menjadi pusaran konflik antara Tel Aviv dengan Palestina.

Kebangkitan Netanyahu ke pucuk pemerintahan Israel memang membuat khawatir cukup banyak pihak. Sebab, kabinet Netanyahu sekarang diisi oleh sejumlah tokoh kontroversial yang selama ini berhaluan ekstrem kanan.

Salah satu tokoh paling kontroversial yang masuk jajaran kabinet Netanyahu ialah Itamar Ben Gvir yang bakal didapuk sebagai Menteri Keamanan Nasional Israel yang ikut mencakup urusan penegakan hukum di Yerusalem.

Ben Gvir memiliki riwayat menyulut kekerasan terhadap warga Palestina dan keturunan Arab di Israel. Dia juga pernah menjadi terdakwa menyulut sentimen rasis anti-Arab dan mendukung gerakan terorisme.

Ben Gvir juga selama ini secara terbuka menyerukan perubahan status quo di Yerusalem.

Hal ini, kian menimbulkan kekhawatiran tentang potensi eskalasi konflik Palestina-Israel yang tak kunjung reda hingga masa depan hubungan Tel Aviv dengan negara Arab di kawasan dan negara Barat.

Tahun ini menjadi yang paling mematikan bagi warga Palestina-Israel menyusul jumlah bentrokan dan korban jiwa antara kedua belah pihak yang mencapai rekor tertinggi dalam dua dekade terakhir.

Di tingkat diplomasi, konflik dengan Palestina baru sedikit menemukan titik terang kala PM Yair Lapid menegaskan Israel mendukung pembentukan negara Palestina melalui solusi dua negara dalam pidatonya di Majelis Umum PBB September lalu.

Namun, belum sempat terealisasi, PM Yair Lapid sudah diganti Netanyahu yang memenangkan pemilihan umum pada awal November lalu. Sementara itu, Netanyahu selama ini terkenal sebagai pemimpin Israel yang membenci Palestina.

Dia bahkan pernah menganggap pembentukan negara Palestina sebuah kesalahan besar dan berbahaya bagi eksistensi Israel.

"Kita harus khawatir tentang intifada (pemberontakan) berikutnya. Dan jika itu terjadi, itu adalah pelanggaran hukum dan ketertiban yang tidak akan diuntungkan Israel maupun Palestina," ucap Raja Abdullah II seperti dikutip CNN.

"Saya pikir ada banyak perhatian dari kita semua di wilayah ini, termasuk Israel yang berada di pihak ktia dalam masalah ini, untuk memastikan hal itu (intifada) tidak terjadi lagi," ujarnya menambahkan.

Israel merebut Yerusalem Timur dari Yordania dalam Perang 1967. Namun, Israel-Yordania akhirnya menandatangani perjanjian damai pada 1994.

Dalam perjanjian itu, Israel secara resmi mengakui peran khusus Yordania melindungi di tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Masjid Al-Aqsa.

Meski begitu, kedua negara kerap bertikai di mana Yordania sering menuduh Israel melanggar perjanjian damai itu karena mengatur aktivitas warga untuk beribadah di Yerusalem, kota suci bagi umat Muslim, Kristen, dan Yahudi itu.

Kerajaan Hashemite Yordania telah menjadi penjaga situs suci Yerusalem sejak 1924 dan mengklaim sebagai penjamin hak beragama Muslim dan Kristen di kota itu.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar