Ancam Jurnalis Pakai KUHP Baru, AJI Mataram Sesalkan Oknum Polda NTB

Jum'at, 09/12/2022 14:20 WIB
Kebebasan pers (beritastu)

Kebebasan pers (beritastu)

Jakarta, law-justice.co - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram menyesalkan sikap oknum perwira polisi pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda NTB, yang diduga melakukan intimidasi terhadap jurnalis ntbsatu.com, Mugni Ilma pada Rabu (7/12/2022) lalu.

Selain intimidasi dengan kata kata, korban juga diancam dipidanakan menggunakan Kitab Undang -Undang Hukum Pidana yang baru saja disahkan oleh DPR RI.


Jurnalis tersebut sebelumnya menulis terkait dugaan fee mengalir ke oknum penyidik Ditreskrimsus yang sedang menangani kasus kosmetik ilegal. Berita tersebut dipastikan sudah memenuhi unsur fakta dan kaidah jurnalistik tentang asas keberimbangan.

Jumat (9/12/2022), Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, Muhammad Kasim sangat menyesalkan tindakan intimidasi yang kembali dilakukan oleh penyidik Polda NTB terhadap Mugni Ilma.

Apalagi ini adalah kejadian ketiga dialami Mugni yang berkaitan dengan pemberitaan di lingkungan Kepolisian di NTB.

Dalam kasus dugaan fee yang diterima oknum penyidik, dipastikan berita pertama telah cover both side, bahkan berita kedua memuat klarifikasi dan bantahan langsung dari Direktur Reskrimsus Polda NTB, Kombes Pol. Nasrun Pasaribu.

"Berita yang ditulis sudah melalui proses verifikasi dan konfirmasi. Secara kaidah maupun kode etik tidak ada yang dilanggar," kata Cem, sapaan akrab Ketua AJI Mataram.

Intimidasi yang dilakukan oleh oknum perwira berpangkap Komisaris Polisi dan penyidik Dirkrimsus Polda NTB terhadap jurnalis tidak dapat dibenarkan.

Karena hal itu masuk dalam kategori perbuatan menghalangi-halangi kerja jurnalis yang dapat diancam pidana penjara dua tahun dan denda Rp500 juta, sebagaimana diatur Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Cem mengecam sikap arogansi perwira yang menjabat Kasubdit pada Ditreskrimsus Polda NTB tersebut. Karena dengan intimidasi secara verbal, bahkan menyebut ancaman memenjarakan jurnalis ntbsatu.com dengan KUHP yang baru disahkan oleh DPR RI.

Padahal UU tersebut baru saja disahkan dan akan belum berlaku efektif setelah tiga tahun.

"Kami melihat KUHP ini baru disahkan saja sudah dijadikan alat untuk intimidasi. Tentu ini jadi preseden buruk bagi Polri karena kewenangan yang dimiliki dimanfaatkan untuk menggunakan Undang Undang, padahal belum berlaku efektif, sesalnya.

Selain itu, AJI juga mengecam ancaman yang dilontarkan Kasubdit tersebut terhadap korban dengan mengatakan jejak komunikasi digital serta akun sosial medianya sudah terlacak. Kasim

menilai, sikap dan tindakan oknum ini termasuk ancaman serius bagi kebebasan pers. "Ingat bahwa negara tidak memberikan fasilitas kepada kepolisian untuk menakut-nakuti masyarakat, apalagi pers yang jelas jelas dilindungi Undang Undang," kritiknya.

Pemanggilan sepihak kepada jurnalis dan intimidasi mestinya tidak terjadi lagi, karena keberatan atas pemberitaan ada mekanismenya, sebagaimaa diatur dalam Undang Undang Pers melalui hak jawab dan atau hak koreksi.

Dalam rilis pers itu, Kasim menekankan agar institusi Polri mematuhi perjanjian kerjasama antara Bareskrim Polri dengan Dewan Pers dengan Nomor 03/DP/MOU/III/2022 dan Nomor NK/4/III/2022. Perjanjian kerjasama ini untuk meminimalisir kriminalisasi terhadap karya jurnalistik.

Atas kejadian ini dan rentetan kejadian sebelumnya, Kasim meminta Kapolda NTB Irjen Pol. Djoko Poerwanto mengevaluasi kinerja jajarannya mulai dari tingkat Direktur hingga Kasubdit, kemudian menjatuhkan sanksi kepada yang terbukti melanggar kebebasan pers.

Sementara itu, Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol. Artanto di hadapan sejumlah pengurus AJI Mataram mengklarifikasi, bahwa ada miskomunikasi antara Kasubdit tersebut dengan jurnalis ntbsatu.com. penyampaian Kasubdit bersama penyidik, bermaksud untuk menjelaskan posisi kasus tersebut dan dampaknya bagi personal penyidik hingga atasannya.

Kendati demikian, Artanto memastikan kejadian ini akan jadi bahan evaluasi secara internal. Artanto berharap tidak ada lagi yang saling mempersoalkan, baik antara jurnalis maupun penyidik Ditreskrimsus.

Ia juga penyelesaian penyelesaian masalah miskomunikasi itu kepada Kapolda NTB, Irjen Pol. Djoko Poerwanto untuk kemudian diambil upaya evaluasi.

Salah satu dalam perencanaannya adalah melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers kepada penyidik mulai dari tingkat Polda hingga Polres. 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar