RUU Perkoperasian: Pinjol `Ngaku` Koperasi Bakal Dipidana 3 Tahun Bui

Rabu, 07/12/2022 13:29 WIB
Ilustrasi waspada pinjol ilegal (Net)

Ilustrasi waspada pinjol ilegal (Net)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah lewat Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) menegaskan bahwa pelaku praktik koperasi yang menyimpang bakal terancam sanksi pidana hingga 3 tahun.

Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop UKM, Ahmad Zabadi mengatakan, hal itu akan diatur dalam UU Perkoperasian yang baru sebagai pengganti UU Nomor 25 Tahun 1992.

Dia mengungkapkan, regulasi yang ada saat ini hanya memberi wewenang pihaknya untuk menjatuhkan sanksi administratif, seperti teguran dan pencabutan izin, yang tidak menimbulkan efek jera.

"Terkait dengan praktik-praktik koperasi yang menyimpang, pihak-pihak yang `memakai` koperasi sebagai jubah bisnis padahal praktiknya rentenir, pinjol ilegal, dan sebagainya, bisa terjadi karena di dalam regulasi tidak ada sanksi pidana," ujar Zabadi dalam Diskusi Santai dengan Redaktur Media di Jakarta pada Rabu (7/12).

Belajar dari otoritas pengawasan lain di berbagai negara, praktik menyimpang dari koperasi bisa ditekan karena ada pemberlakuan sanksi pidana yang memberikan kepastian hukum dan menimbulkan efek jera.

Aturan serupa juga sudah diterapkan pada sektor lain seperti perbankan dan asuransi

"Kami tentu tidak ingin mengedepankan sanksi pidana sebagai isu utama, tidak. Tapi, isu utamanya adalah jangan sampai orang yang tidak bertanggung jawab hanya menggunakan koperasi sebagai jubah padahal praktiknya bertentangan dengan prinsip koperasi," terangnya.

Dalam RUU perkoperasian, jelas Zabadi, sanksi denda bagi pelaku praktik koperasi menyimpang diusulkan berkisar Rp1 miliar hingga Rp3 miliar dan sanksi pidana berkisar 1 tahun hingga 3 tahun.

Adapun hukuman terberat akan dijatuhkan pada pelaku yang menyalahgunakan nama koperasi.

Bentuk LPS Koperasi

Pada kesempatan yang sama, Zabadi juga mengungkap usul pembentukan lembaga penjaminan simpanan (LPS) bagi koperasi simpan pinjam (KSP) dalam RUU Perkoperasian.

Menurut Zabadi, keberadaan LPS koperasi akan mencerminkan komitmen esensial dari negara untuk melindungi simpanan anggota koperasi dan menempatkan KSP setara dengan lembaga keuangan lain.

Tahun ini saja, sambung Zabadi, sudah terungkap delapan koperasi simpan pinjam (KSP) bermasalah yang menimbulkan kerugian masyarakat karena gagal bayar hingga Rp26 triliun.

Delapan koperasi tersebut terdiri Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Sejahtera Bersama, KSP Indosurya, KSP Pracico Inti Sejahtera, KSPPS Pracico Inti Utama, KSP Intidana, Koperasi Jasa Wahana Berkah Sentosa, KSP Lima Garuda dan KSP Timur Pratama Indonesia.

Dengan memiliki lembaga penjaminan, simpanan anggota bisa terlindungi. Adapun mekanisme penjaminannya saat ini masih digodok.

"Kami masih akan mematangkan kembali terkait LPS ini," ujarnya.

RUU perkoperasian sendiri merupakan kelanjutan dari putusan MK yang membatalkan UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

Menurut Zabadi, ruu ini bersifat mendesak dan dibutuhkan untuk menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1992 yang sudah out of dated lantaran sudah berusia 30 tahun.

Ia menargetkan pembahasannya dengan DPR bisa dilakukan awal tahun depan. Pasalnya, meski tidak masuk Prolegnas 2023, ruu ini bersifat kumulatif terbuka alias dapat diajukan berdasarkan kebutuhan.

"Kami harapkan di awal 2023 kami sudah bisa masuk (pembahasan dengan DPR)," ujarnya.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar