Ahmad Khozinudin, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pacta Sunt Servanda)

RKUHP:Neokolonialisme, Alat Represif Negara Berdalih Karya Anak Bangsa

Selasa, 06/12/2022 22:00 WIB
Draf RKUHP didesak dibuka (tempo)

Draf RKUHP didesak dibuka (tempo)

Jakarta, law-justice.co - Lebai atau bahasa sederhananya agak berlebihan, jika RKUHP yang dibahas di DPR saat ini diklaim sebagai konfirmasi hilangnya dominasi penjajahan Belanda, setelah lebih dari 150 tahun bercokol di negeri ini. Karya anak bangsa yang mengakhiri dominasi dan warisan hukum penjajahan Belanda.

Faktanya, substansi norma yang ada dalam RKUHP ini hanya menampilkan penjajahan dengan wajah baru. Atau dengan kata lain, RKUHP hanyalah neokolonialisme.

Ciri khas penjahahan adalah otoriteriamisme, represifme dan tirani. Ruh otoriter, represif dan tiran ini ada dalam RKUHP yang dibangga-banggakan DPR dan Pemerintah yang akan disahkan hari ini (Selasa, 6/12).

Misalnya saja Ketentuan pidana dalam pasal 218 RKUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden.

Bagian penjelasan pasal itu menyebut menyerang kehormatan adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri. Perbuatan menista atau memfitnah masuk dalam kategori itu.

"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal 218 ayat (1) RKUHP.

Pasal ini sebenarnya adopsi konsep penguasa tidak boleh dikritik, `The King Do Not Wrong`, satu konsep tirani dan otoriterianisme warisan penjajah, yang masih dilestarikan dalam RKUHP baru dengan tampilan wajah lain. Normanya diperhalus, penjajahnya penguasa bukan lagi Belanda.

Berikutnya tentang pasal penghinaan lembaga Negara. Draf RKUHP juga masih mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR hingga Polri.

Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 349. Pasal tersebut merupakan delik aduan.

Pada ayat 1 disebutkan,

_"setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan."_

Substansi pasal ini adalah pasal tirani, anti kritik, dan ingin meletakan kedudukan organ kekuasaan lebih tinggi (bahkan suci) ketimbang rakyat. Sehingga, diadopsi pasal tirani agar ada pembeda kedudukan rakyat jelata dengan penguasa. Benar-benat ruh penjajahan terhadap rakyat hidup dalam pasal ini.

Belum lagi, adopsi pasal pembungkaman terhadap aksi penyampaian pendapat dimuka umum. Klausul pidana demo tanpa pemberitahuan

Draf RKUHP turut memuat ancaman Pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan.

Hal itu tertuang dalam Pasal 256.

"Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,"_

Luar biasa, rakyat dalam pasal ini ditempatkan sebagai rakyat di negeri jajahan, persis seperti era penjajahan Belanda. Tidak boleh ada kritik dan penyampaian pendapat dari rakyat, semua dan segenap rakyat harus mengabdi, tunduk dan patuh pada penguasa.

Masih banyak lagi kritik terhadap RKUHP ini. Jadi, aneh jika RKUHP bermasalah ini malah dibanggakan oleh DPR sebagai karya agung yang mengakhiri hukum warisan penjajah belanda.

Diluar RKUHP sejatinya produk legislasi DPR secara substansi lebih mewakili kepentingan penjajah (oligarki) ketimbang kepentingan rakyat. UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Minerba, UU KPK, dll, secara substansi normanya sarat dengan penjajahan hak dan kedaulatan rakyat oleh kepentingan penguasa di bawah kendali kaum oligarki.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar