Tolak Pengesahan RKUHP Bermasalah, Masyarakat Tabur Bunga di DPR

Senin, 05/12/2022 17:20 WIB
Unjuk rasa Aliansi Nasional Reformasi KUHP di Depan Gedung DPR RI (Dok.Ist)

Unjuk rasa Aliansi Nasional Reformasi KUHP di Depan Gedung DPR RI (Dok.Ist)

Jakarta, law-justice.co - Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengancam membawa massa lebih besar ke DPR. Mereka menolak pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang rencananya dilakukan pada Selasa (6/12/2022)

"Kami akan tetap melakukan penolakan. Kami akan semakin banyak dan besar untuk datang ke DPR menolak revisi KUHP sampai besok," kata perwakilan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Citra Referendum, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/12/2022)

Menurut dia, pemerintah dan DPR seharusnya mendengar aspirasi masyarakat terkait revisi KUHP. Mereka mendesak pasal-pasal yang bermasalah dihapus dari revisi KUHP.

"Jadi kami menolak untuk pengesahan dalam waktu dekat jika pasal-pasal bermasalah tidak dicabut," ungkap dia.


Ketentuan yang dianggap bermasalah, yaitu living law, pidana mati, perampasan aset untuk denda individu, penghinaan presiden, penghinaan lembaga negara, contempt of court, unjuk rasa tanpa pemberitahuan, kontrasepsi, penyebaran marxisme dan leninisme, serta tindak pidana terkait agama.


Sebagai lembaga perwakilan rakyat, kata dia, DPR seharusnya harus mendengarkan aspirasi masyarakat terkait revisi KUHP.

"Jadi jika kemudian DPR masih terus dengan egois untuk mengesahkan revisi KUHP, maka kami menganggap DPR telah mengkhianati rakyat Indonesia sebagai konstituen yang memilih para DPR," ujar dia.

Penolakan pengesahan revisi KUHP sudah dimulai sejak beberapa waktu lalu. Hari ini, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menggelar unjuk rasa di depan gerbang utama Kompleks Parlemen.

Selain menyampaikan keberatan, mereka menaburkan bunga dan membakar naskah revisi KUHP. Hal itu sebagai ungkapan kekecewaan terhadap DPR.

 

 


Adapun alasan penolakan pengesahan draf akhir RKUHP bermasalah yakni:

  1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat
    Aturan ini merampas kedaulatan masyarakat adat, frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk
    kepentingan pihak tertentu. Selain itu, keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri. Selain mengancam masyarakat adat, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan Perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.
  2. Pasal terkait pidana mati
    Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh
    siapapun, bahkan oleh negara. Selain itu, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi. Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional. Dalam Universal Periodic Review (UPR) setidaknya terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati.
  3. Penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan
    dengan Pancasila di muka umum Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru.
  4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet dan menjadi pasal anti demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”. Pasal ini bisa membungkam berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara.
  5. Contempt of court
    Tidak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum” sehingga pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa. Sebagaimana diketahui, terjadi banyak kasus di persidangan yang menunjukkan bahwa hakim berpihak kepada penguasa. Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung.
  6. Kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan. Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat.
  7. Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE
    Seharusnya yang dilakukan adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat(1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE. Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya karena misalnya, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini.
  8. Larangan unjuk rasa
    Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait “kepentingan umum” karena frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya. Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.
  9. Memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini. Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan bahwa segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili. Selain itu, masa daluarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat, padahal pelanggaran HAM berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu yang sebentar, apalagi para pelakunyamerupakan orang yang memiliki kuasa dan sumberdaya lebih untuk menghambat proses hukum.
  10. Mempidana korban kekerasan seksual
    Adanya pasal yang mengatur kohabitasi berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.
  11. Meringankan ancaman bagi koruptor
    Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor yang dimana tindak pidana korupsi
    adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat.
  12. Korporasi sebagai entitas sulit dijerat
    Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggungjawab sebagai entitas. Pengaturan seperti ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan. Pengaturan ini juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi.

Organisasi yang menolak pengesahan RKUHP bermasalah:


1. YLBHI
2. LBH Jakarta
3. Trend Asia
4. BEM Kema Unpad
5. Greenpeace Indonesia
6. BEM SI Kerakyatan
7. HRWG
8. BEM UI
9. BEM STH Indonesia Jentera
10.Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
11. Imparsial
12.KontraS
13.WALHI
14.ICEL
15.PBHI
16.HuMa
17.LBH Masyarakat
18.LBH Pers
19.Aslam Syah Muda
20.Bangsa Mahasiswa
21.YIFoS Indonesia
22.Transparency International Indonesia
23.BEM FH UI
24.Solidaritas Perempuan
25.AMAN
26.Amnesty International Indonesia
27.BEM KM UGM
28.ICJR
29.ELSAM
30.PSHK
31.Perkumpulan Rumah Cemara
32.BEM UPNVJ
33.Konfederasi KASBI
34.Serikat Mahasiswa Indonesia
35.Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
36.Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia
37.Arus Pelangi
38.Federasi Serikat Buruh Makanan dan Minuman
39.SGRC Indonesia
40.Serikat Jurnalis untuk Keberagaman
41.Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta
42.PurpleCode Collective
43.Pamflet Generasi
44.Perempuan Mahardhika
45.Enter Nusantara
46.LBH Bandung
47.Yayasan Perlindungan Insani Indonesia
48.LBH Surabaya
49.POKJA 30
50.Gerakan #BersihkanIndonesia
51.Koalisi Perempuan Indonesia
52.Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)
53.Jaringan Akademisi Gerak Perempuan (JARAK)
54.DIALOKA
55.Asia Justice and Rights (AJAR)
56.LMID
57.Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI)
58.Lingkar Studi Feminis (LSF)
59.Lingkar Studi Advokat (LSA)
60.Walhi Jakarta
61.Space UNJ
62.BEM FH UPN VJ
63.LBH Padang
64.HWDI DKI Jakarta
65.Suara Pelangi Bogor
66.Aliansi Persatuan Rakyat Bekasi (PERAK BEKASI)
67.Amartya
68.BEM FH Esa Unggul
69.WALHI Bengkulu
70.WALHI Kaltim
71.WALHI Jawa Timur
72.WALHI Yogyakarta
73.WALHI NTT
74.WALHI Jambi
75.WALHI Papua
76.WALHI Maluku Utara
77.WALHI Jawa Tengah
78.Sentra Gerakan Buruh Nasional
79.WALHI Sulawesi Tenggara
80.WALHI Sumatera Selatan
81.WALHI Jawa Barat
82.LBH Banda Aceh
83.LBH Medan
84.LBH Pekanbaru
85.LBH Palembang
86.LBH Padang
87.LBH Lampung
88.LBH Bandung
89.LBH Semarang
90.LBH Yogyakarta
91.LBH Surabaya
92.LBH Bali
93.LBH kalimantan Barat
94.LBH Samarinda
95.LBH Palangkaraya
96.LBH Makassar
97.LBH manado
98.LBH Papu

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar