Draf Final RKUHP: Pasal Hina Presiden Masih Ada, Diancam 3 Tahun Bui

Senin, 05/12/2022 13:36 WIB
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi unjuk rasa di Kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Selasa (21/6). Aksi yang bertepatan dengan hari ulang tahun Presiden Jokowi ini menuntut Presiden dan DPR untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara meski tidak termasuk ke dalam isu krusial. Robinsar Na

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi unjuk rasa di Kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Selasa (21/6). Aksi yang bertepatan dengan hari ulang tahun Presiden Jokowi ini menuntut Presiden dan DPR untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara meski tidak termasuk ke dalam isu krusial. Robinsar Na

Jakarta, law-justice.co - Dalam draf final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ternyata tetap mengatur ancaman pidana terhadap orang yang menghina presiden dan/atau wakil presiden.

Dalam naskah RKUHP terbaru per 30 November 2022 yang diakses dari laman https://peraturan.go.id/site/ruu-kuhp.html, ketentuan pidana tersebut dituangkan dalam pasal 218. Pelaku diancam hukuman tiga tahun penjara.

"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal 218 ayat (1) RKUHP.

Bagian penjelasan pasal itu menyebut menyerang kehormatan adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri. Perbuatan menista atau memfitnah masuk dalam kategori itu.

Ayat (2) pasal tersebut memberi pengecualian. Perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri tidak termasuk kategori penyerangan kehormatan atau harkat martabat.

"Yang dimaksud dengan `dilakukan untuk kepentingan umum` adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden," bunyi penjelasan pasal 218 ayat (2).

Bagian tersebut menjelaskan kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif dalam negara demokratis.

"Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden dan/atau Wakil Presiden."

DPR Buka Peluang Sahkan RKUHP Besok

Disisi lain, DPR RI membuka peluang untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat Paripurna yang dijadwalkan bakal digelar Selasa (6/12) besok.

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan RKUHP saat ini tinggal menunggu ageda Paripurna dari Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR. Sebab, RUU tersebut kini telah rampung di tahap komisi, rapat pimpinan (Rapim), dan badan musyawarah (Bamus).

"Ya kalau Rapim dan Bamus sudah selesai. Pengesahan itu kan kira-kira nanti jadwal paripurna terdekat yang nanti akan diagendakan," kata dia di kompleks parlemen, Senin (5/12).

"Bisa iya [besok], bisa enggak. Tergantung pengagendaan dari Kesetjenan," tambahnya.

Hal serupa disampaikan anggota Komisi III DPR,Sahroni. Dia bilang draf final RKUHP akan dibawa ke Paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang pada Selasa (6/12) esok. Bersamaan dengan pengangkatan Laksamana Yudo Margono sebagai calon Panglima TNI.

"Makanya kan sudahdiputusin akan dibawa ke Paripurna. Nah, you cek di website," kata dia.

"[Paripurna] Selasa. Sekaligus untuk pengangkatan Panglima TNI Pak Yudo Mardono," imbuh Sahroni.

Di sisi lain Dasco tak menepis soal penolakan sejumlah pihak terhadap RKUHP. Termasuk soal unjuk rasa koalisi sipil terhadap rencana pengesahan RUU tersebut.

Dia menganggap suara penolakan terhadap RKUHP menurut dia bagian dari aspirasi dalam berdemokrasi.

Namun, Dasco menegaskan bahwa DPR dan pemerintah telah berhati-hati dalam membahas RKUHP sejauh ini. Dia pun menilai penolakan sejumlah pihak terhadap RKUHP wajar sebab DPR tak bisa memuaskan semua pihak.

"Tentunya hal ini tidak bisa memuaskan semua pihak dan karena sudah di setujui dalam tingkat satu, saya pikir itu sudah selesai di DPR," katanya.

Komisi III DPR sebelumnya telah menyetujui RKUHP dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Keputusan itu diambil dalam rapat keputusan tingkat I yang digelar bersama pemerintah pada 24 November lalu.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar