Pril Huseno - Jurnalis dan Pemerhati    

Esensi Democratic Policing, Regresi Demokrasi dan Reformasi Polri

Minggu, 04/12/2022 10:00 WIB
Ilustrasi Salah Satu Garda Polri, Bareskrim Polri

Ilustrasi Salah Satu Garda Polri, Bareskrim Polri

[INTRO]
 
 
Menyimak “kemelut” di tubuh kepolisian RI (Polri) terakhir, memaksa kita membuka-buka konsep “Democratic Policing” yang digagas mantan Kapolri Tito Karnavian. Ide democratic policing yang dituangkan Tito melalui buku “Democratic Policing” (2017), sepertinya adalah ide besar untuk mengisi muatan nilai bagi era kepolisian ideal yang seharusnya dimiliki sebuah negara demokratis.
 
Pada buku tersebut, Tito mengintrodusir paradigma pemolisian era demokrasi di Indonesia yang seharusnya bukan menjadi alat kekuasaan negara, tetapi untuk melindungi dan mengabdi pada masyarakat. Hal itu dikarenakan polisi Indonesia tidak tumbuh melalui power negara, tetapi mempunyai akar kepolisian yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri.  
 
Selain itu, Tito juga menegaskan bahwa bentuk polisi dan pengawasan terhadap implementasi tugas dan fungsi pemolisian dapat ditentukan oleh masyarakat yang memiliki kapasitas besar dan kuat untuk melakukan hal tersebut.
 
Tetapi apa lacur, terkini aura publik terasa sesak, ketika ruang-ruang digital warga dipenuhi kabar seputar pembunuhan brigadir Joshua Hutabarat oleh Ferdi Sambo (FS), atasannya sendiri yang merupakan Kepala Div Propam Polri.
 
Pembunuhan Brigadir Joshua seolah membuka kotak Pandora serentetan kontroversi sepak terjang Satgassus MP. Kebetulan FS adalah juga ketua Satgassus tersebut. Pembunuhan Joshua Hutabarat dan kontroversi Satgassus MP membuat idialita “Democratic Policing” bak rebah terhempas seketika. 
 
Banyak pihak menuding, rame-rame di tubuh Polri saat ini bermula sejak Tito menjabat Kapolri ketika dia membentuk Satgassus Merah Putih (Satgassus MP) Polri yang dipandang kontroversial.
 
Sebuah diskusi publik yang diadakan Marwan Batubara dkk dengan pembicara Anthony Budiawan, Ubedillah Badrun, Irma Hutabarat dan Abraham Samad kemarin (30/11), blak-blakan memaparkan kerusakan dan kerugian negara yang diakibatkan oleh sepak terjang Satgassus MP. 
 
Lembaga tersebut dicurigai dan diminta untuk diaudit oleh BPK dan auditor Independen atas serangkaian kasus minor : Kasus suap tambang ilegal di Kaltim (Ismail Bolong), transaksi judi online Rp155 triliun dan aliran dananya ke banyak pihak, dana misterius hampir Rp100 triliun di rekening bank alm Joshua Hutabarat, kejahatan HAM Km.50, dan penangkapan aktivis demokrasi (Marwan Batubara,30/11).
 
Diskusi tersebut juga mengungkapkan betapa negara telah dirugikan secara masif oleh ulah tambang ilegal di seluruh Indonesia. Disebutkan, tercatat ada 2700 tambang ilegal yang terdiri dari 2600 tambang mineral, dan 100 tambang ilegal batubara. Anthony Budiawan menyebutkan dua jenis kerugian yang dialami, yakni kerugian ekonomi terkait PDB dan kerugian negara yang berasal dari pendapatan pajak dan pendapatan bukan pajak yang mencapai Rp200 - Rp320 triliun. Abraham Samad bahkan menyebut sekitar 50% tambang yang ada di Indonesia adalah tambang ilegal. 
 
Rangkaian opini dan fakta di atas, agaknya memunculkan pertanyaan, apakah “gegeran” yang terjadi di tubuh Polri saat ini adalah akibat dari belum berhasilnya reformasi Polri yang menuntut perubahan di tingkat sistem, struktur dan kultur lembaga kepolisian RI? Padahal, salah satu maksud dari dikenalkannya konsep democratic policing oleh Tito Karnavian justru karena kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian dinilai sangat menurun? Apakah benar, reformasi Polri jadi keblasuk mendapat musibah besar karena Tito kadung membentuk lembaga Satgassus MP? 
 
Sebetulnya UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI amat menguntungkan Polri. Berkah reformasi 1998 yang diperjuangkan oleh para aktivis pergerakan ikut menjadi hikmah terbuka bagi kepolisian yang kemudian diizinkan menjadi badan otonom terpisah dari TNI. Pertanggungjawaban Polri sendiri langsung di bawah Presiden RI. 
 
Dengan modal itu, seharusnya lembaga kepolisian mempunyai peluang besar untuk memperbaiki citra polisi di tengah masyarakat, membentuk sistem, struktur dan kultur Polri yang disesuaikan dengan tuntutan reformasi yang menginginkan pembentukan negara demokratis, serta polisi yang memperhatikan HAM, hak ekonomi dan sosial masyarakat serta penghormatan terhadap civil society sebagai paradigma baru pemolisian di alam demokrasi. 
 
Sayangnya, kesempatan emas tersebut agaknya belum berhasil dimanfaatkan dengan baik. Sebelum kasus FS dan Satgassus MP meletup, lembaga kepolisian bahkan dianggap ikut andil dalam proses kemunduran demokrasi di Indonesia dengan menjadi alat ampuh bagi kekuasaan dalam serangkaian kebijakan guna meredam suara-suara kritis publik.  UU ITE dan penggunaan pasal-pasal karet menjadi sarana jitu yang digunakan dalam kasus pemidanaan para pegiat kritis dan warga yang berseberangan dengan kekuasaan di ruang-ruang digital. 
 
LP3ES sendiri mencatat adanya peningkatan angka kriminalisasi warga negara, jurnalis dan aktivis dengan menggunakan pasal-pasal karet bagi mereka yang bersuara kritis dan dianggap menyebarkan berita hoax selama kurun waktu 2013-2020. 
 
Angka pemidanaan diketahui melonjak tinggi menjadi 83 kasus pada 2016, 56 kasus pada 2017, dan 84 kasus selama 2020. Hal tersebut terkait munculnya suara-suara kritis warga ketika menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah semasa Presiden Jokowi memulai kabinetnya, dan kasus-kasus penolakan mahasiswa dan warga pada aksi menolak RUU KUHP dan UU Omnibus Law.  
 
Sementara LBH Jakarta masih mempersoalkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan “berita bohong/hoax” dan klausul “menyebabkan keonaran di masyarakat” pada Pasal 14 Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, karena definisinya dianggap belum jelas. 
 
Jadi agaknya ironis, cita ideal democratic policing yang digaungkan Tito Karnavian mengalami stagnasi akibat ketidakmampuan mematuhi apa yang telah dicanangkan bagi penghormatan terhadap civil society sebagai paradigma baru pemolisian di alam demokrasi. Pembentukan Satgassus MP oleh Tito seolah mendegrasi sendiri konsep democratic policing karena realitas di lapangan kemudian, berkembang menjadi amat jauh berbeda antara konsep dengan kenyataan. 
 
Belum lagi sorotan publik terhadap gaya hidup mewah sementara petinggi Kepolisian yang sempat meramaikan jagad pemberitaan.  Betapa pameran kemewahan dilihat publik telah dipraktikkan dengan pemakaian busana dan aksesoris pribadi yang kontan mendapat komentar warganet, plus pengungkapan harga-harga dari busana dan aksesoris yang dikenakan yang terbilang “Wah..”.
 
Ferdi Sambo sendiri diketahui bergaya hidup mewah. Memiliki 3 rumah pribadi dan 5 mobil mewah, serta dari hasil pemeriksaan Bharada E oleh eks lawyernya Deolipa Yumara, FS berani menjanjikan akan memberikan “hadiah” berupa uang Rp1 miliar kepada Bharada E, Ricky Rp 500 juta, dan Kuat Rp 500 juta, total Rp2 miliar. 
 
Tak pelak, timbul pertanyaan masyarakat, dengan besaran gaji FS yang bisa dilihat di medsos, sebetulnya darimana harta berlimpah itu didapat? Jangan-jangan, itu terkait dengan model “upeti” ala skandal Ismail Bolong? 
 
Warga masyarakatpun, setelah munculnya kasus-kasus terakhir, ikut meramaikan jagad maya dengan serentak memposting aneka kasus “miring” yang dilakukan anggota Polri di berbagai daerah. Menjadikan semakin jauhnya cita-cita dan image bagi reformasi Polri paska Reformasi 1998. Sesuatu yang amat disayangkan. 
 
Siapa yang Bertanggungjawab?
 
Sebagai Kepala Negara yang langsung membawahi institusi Kepolisian RI, tentu saja Presiden adalah figur paling bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi di tubuh Polri selain dari Kapolri sendiri. 
 
Presiden, berhak meminta pertanggungjawaban Kapolri terkait pelaksanaan tugas Kepolisian RI (Pasal 8 ayat 2 UU No 2/2002). Untuk itu, kembali muncul pertanyaan di benak publik – sebagaimana disuarakan juga oleh Marwan Batubara dkk pada diskusi kemarin – apakah Presiden Jokowi selaku kepala negara dan pimpinan yang langsung membawahi Polri juga mengetahui sepak terjang Satgassus MP? Ke mana fungsi pengawasan presiden? Apakah pembentukan Satgassus MP telah diketahui dan seizin Presiden?  
 
Sudah pasti hanya Presiden Jokowi yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun presiden mempunyai tanggungjawab moral kepada rakyat Indonesia terhadap apa yang terjadi dengan lembaga negara yang langsung dibawahinya. Itulah fatsoen politiknya sebagai kepala negara. 
 
Bagusnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit dengan segera telah membubarkan Satgassus MP. Hal itu dilakukannya setelah beberapa kali menghadap presiden terkait kasus yang tengah ramai saat ini.  
 
Meskipun demikian, menjadi keharusan juga sesuai telaah etika dan pertanggungjawaban politik, segala kegiatan satuan tugas khusus tersebut semestinya menjalani audit oleh BPK dan lembaga pengawas independen, karena dalam rangkaian tugas-tugasnya ditengarai telah dibiayai dengan anggaran dinas.  
 
Sebagai penutup, sudah saatnya Kepolisian RI sebagai instansi sipil kembali menjadi milik masyarakat karena memang berasal dari rakyat. Kembali kepada jatidirinya sebagai pengayom masyarakat, penegak hukum dan tertib sipil, serta bukan menjadi alat penjaga dan pemelihara kekuasaan.  
 
Jika ingin mengembalikan marwah sebagai penegak hukum yang bersesuaian dengan semangat penegakan demokrasi sebagaimana amanat reformasi 1998, maka Polri yang diuntungkan oleh proses demokratisasi harus mampu menempatkan diri sebagai aparat negara dengan paradigma baru pemolisian di alam demokrasi. 
 
Terkenang warisan berharga tentang pelajaran integritas moral dan anti korupsi dari mantan Kapolri Hoegeng, yang melempar keluar semua barang pemberian pengusaha. Juga rasa cintanya kepada Kepolisian RI dengan memberikan masukan dan info berharga kepada Kapolri penggantinya akan kasus korupsi yang terjadi di tubuh Polri saat itu. 
 
Kita juga masih angkat salut kepada seorang Bripda Taufiq di DI. Yogyakarta beberapa tahun lalu, yang rela berjalan kaki 6-7 Kilometer dari rumahnya ke Polda DIY, karena tidak punya kendaraan pribadi. Untung saja atasannya cepat mengetahui keprihatinan dan kegigihan anak buahnya, dan memberikan jalan keluar. 
 
Kebutuhan kembali pada reformasi Polri untuk Indonesia yang lebih baik, mutlak diperlukan agar kemunduran demokrasi selama beberapa waktu terakhir dapat diperbaiki bersama-sama. 
 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar