Pilu Pasutri ODHA di Flores Timur, Bukan Ditolong Tapi Diasingkan

Sabtu, 03/12/2022 07:00 WIB
Ilustrasi ODHA (Net)

Ilustrasi ODHA (Net)

Flores Timur, law-justice.co - Peringatan hari AIDS sedunia setiap tanggal 1 Desember bukanlah momentum pembebasan terhadap orang dengan HIV/AIDS ( ODHA ) dari stigma dan diskriminasi.

Seperti pengalaman hidup ESG dan AON, Pasangan Suami Istri (Pasutri) ODHA sejak 2016. Enam tahun menderita virus mematikan, keduanya seperti diasingkan oleh lingkungan dan sanak keluarganya sendiri karena takut tertular.


ESG tinggal bersama empat anaknya di Desa Lewoblolong, Kecamatan Ile Boleng, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur sering diperlakukan tidak pantas. Sementara suaminya mencari nafkah dengan merantau di Batam.


Hampir saban hari, ESG menelan kalimat-kalimat bernada penghinaan. Kata "AIDS" selalu menggaung di telinga ibu empat anak itu. Hatinya yang tersayat omongan orang membuatnya menangis bahkan tertekan.

"Awas orang AIDS, orang AIDS lagi lewat," ucapnya kepada wartawan, Kamis 1 Desember 2022, menirukan ejekan para bocah di kampungnya.

ESG pernah mengalami luka robek di bagian kepala akibat hantaman piring kaca. Pelakunya adalah tetangganya sendiri gegara masalah sepele. Tetangga tak terima jika halaman rumah dijadikan tempat parkir sepeda motor milik ODHA.

Dengan wajah berdarah, ESG bersama suami lantas mengadukan ke pemerintah desa. Kasus itu tidak berlanjut ke ranah hukum setelah kepala desa melakukan mediasi.

"Dia marah saya, suruh saya jangan parkir di halaman rumahnya. Pas saya kesana, dia hantam saya dengan piring," ceritanya sambil menangis.

Pengalaman hidup ESG sebagai ODHA adalah gambaran stigma yang masih awet hingga sekarang. Isak tangisnya selama ini belum bisa menghapus diskriminasi di tempat tinggalnya, sekalipun berkali-kali meminta dihargai sebagai sesama manusia.

Menderita virus mematikan diketahui saat suaminya pulang merantau dari Batam. Dalam kondisi sakit hingga kurus, pihak RSUD dr Hendrikus Fernandez Larantuka mengeluarkan hasil pemeriksaan bahwa suaminya mengidap HIV/AIDS.

"Dalam perjalanan dari Batam juga dia sudah mengeluh sakit. Setelah dia dinyatakan positif, saya juga akhirnya periksa dan hasilnya sama," ungkapnya.

Kondisi fisik keduanya yang bertambah kurus malah jadi buah bibir di tempat tinggalnya. Empat anaknya juga jadi bahan ejekan di sekolah. Meski begitu, ia mengaku tabah karena tak ada satu anaknya tertular HIV.

Namun, beberapa kali anak bungsunya sering menangis di sekolah karena diejek teman kelasnya. Hawatir sang buah hati tertekan, ia meminta guru agama memberikan nasihat agar warga sekolah jangan menyebut "AIDS" lagi.

Biaya hidupnya bersama keluarga tak lebih dari Rp 2 juta perbulan. Ia mengaku suaminya lancar mengirimkan jatah bulanan. AON menafkahi mereka lewat keringat merantau di Batam.

Untuk memperpanjang hidup, ESG AON, begitupun ODHA lainnya, mengandalkan obat dari yang diberikan RSUD dari rumah sakit secara gratis. Obat itu diminum empat biji setiap malam.

Koordinator Bidang Perencanaan Anggaran dan Keuangan KPA Flores Timur, Yoseph Marseanus Matutina, mengajak masyarakat memberikan peneguhan kepada ODHA agar kuat menjalani sakit yang sedang diderita.

"Mereka juga bagian dari kita. Mari kita saling menguatkan dan mendoakan mereka. Jangan ada diskriminasi karena mereka hidup berdampingan dengan kita," katanya.

Hingga saat ini, jelasnya, KPA Flores Timur terus memberikan edukatif untuk mengurangkan stigma yang masih awet di lingkungan masyarakat dan keluarga ODHA. (*)

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar