Gan-gan RA, Praktisi Hukum

Mafia Hukum dan Parlemen yang Bungkam

Rabu, 30/11/2022 19:40 WIB
Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo memberikan keterangan kepada wartawan terkait penangkapan Irjen Teddy Minahasa Putra di Mabes Polri, Trunojoyo, Jakarta, Jumat (14/10/2022). Kapolri menyampaikan perkembangan penanganan kasus judi online serta membenarkan penangkapan calon Kapolda Jawa Timur atau mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Pol Teddy Minahasa Putra terkait dengan jaringan jual beli narkoba. Robinsar Nainggolan

Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo memberikan keterangan kepada wartawan terkait penangkapan Irjen Teddy Minahasa Putra di Mabes Polri, Trunojoyo, Jakarta, Jumat (14/10/2022). Kapolri menyampaikan perkembangan penanganan kasus judi online serta membenarkan penangkapan calon Kapolda Jawa Timur atau mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Pol Teddy Minahasa Putra terkait dengan jaringan jual beli narkoba. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Marcus Tulius Cicero, tokoh besar dari Romawi, filsuf, negarawan, pengacara, penyair dan oratur ulung pernah membuat hipotesa yang tajam, “Semakin dekat keruntuhan Kekaisaran (Negara), semakin gila hukumnya.”

Pernyataan Cicero tampaknya masih kontekstual dengan potret buram penegakan hukum di Republik ini yang dicengkeram lingkaran setan kekuasaan mafia.

Kekuasaan, dalam perspektif Cicero, dari dahulu selalu membuai, menggiurkan dan memabukkan, sehingga membuat orang yang keranjingan kekuasaan menjadi lupa daratan, menghalalkan segala cara demi meraih dan mempertahankan kekuasaan.


Untuk mencegah kekuasaan negara yang bersifat absolut, konsep politik tentang pemisahan kekuasaan yang terkenal dengan istilah Trias Politica dirumuskan oleh seorang filsuf berkebangsaan Inggris, John Locke dan kemudian dikembangkan oleh Monstesquieu, pemikir besar dalam dunia politik Prancis dalam bukunya yang terkenal, L’Esprit des Lois.

Trias Politika memecah kekuasaan dan mendistribusikan kekuasaan menjadi tiga jenis kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Trias Politica lalu diadopsi ke dalam sistem demokrasi agar tenung kekuasaan tidak menjelma berhala yang sentralistik dan mutlak. Trias Politica menciptakan dialektika kekuasaan antarlembaga negara agar politik dan hukum tidak melahirkan para mafia, karena ketika penegakan hukum di bawah kendali mafia, maka keadilan hanyalah dongeng semata.

Seperti halnya kasus pembunuhan berencana Brigadir J yang didalangi oleh mantan Kadiv Propam Irjen Polisi Ferdy Sambo yang menggegerkan dan membuat publik tersentak. Tak ubahnya membuka kotak pandora, dari kasus Sambo ini terbongkorlah lingkaran mafia hukum dalam tubuh institusi Polri, dari mulai Satgasus, Konsorsium 303 hingga terjadilah perang bintang antarelite perwira Polri berpangkat bintang.

Kasus pembunuhan berencana Brigadir J adalah kasus besar yang menghancurkan citra lembaga kepolisian yang tengah memperbaiki diri menuju Presisi. Namun langkah tegas Kapolri Jenderal Polisi Listiyo Sigit Prabowo dan Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto telah menghidupkan kembali kepercayaan publik kepada institusi Polri.

Pasca ditetapkannya Ferdy Sambo dan sekutunya, publik pun masih percaya bahwa keadilan sedang ditegakkan dalam proses hukum di tengah parlemen yang bungkam.

Bungkamnya anggota Dewan Perwilan Rakyat (DPR) atas kasus Sambo yang menyita perhatian rakyat menimbulkan berbagai spekulasi liar. Beredar rumor Genk Sambo menabur dolar di bawah meja parlemen supaya anggota DPR tidak bersikap kritis.

Lembaga legistatif yang seharusnya menjalankan fungsinya atas kasus tersebut dengan pengawasan ekstra ketat, menjadi mandul dan cenderung tutup mulut. Padahal di balik kasus Sambo terkuat misteri Satgasus dan para mafia judi online dalam struktur Konsorsium 303.

Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah perang bintang dalam tubuh Polri. Pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD memperkuat indikasi terjadinya gesekan panas antara kubu Kabareskrim Komjen Agus Andrianto vs kubu Genk Sambo.

“Isu perang bintang terus menyeruak,“ kata Mahfud MD, Minggu (6/11).

“Dalam perang ini, para petinggi yang sudah berpangkat bintang saling buka kartu truf. Ini harus segera kita redam dengan mengukir akar masalahnya.”

Lebih lanjut Mafud MD menjelaskan, “Salah satu manuver yang sedang jadi sorotan adalah pengakuan mantan anggota polisi yang juga pengusaha tambang, Ismail Bolong.“

Menurut pengakuan Ismail Bolong, pernah menyetorkan sejumlah uang milyaran rupiah untuk Kabareskrim dari keuntungan tambang illegal di Kalimantan.

Tetapi setelah viralnya video testimoni Ismail Bolong yang beredar di media sosial, Ismail Bolong akhirnya meralat pengakuannya dan membuka kartu ASnya bahwa testimoni tersebut dibuat atas tekanan mantan Kepala Biro Pengamanan Internal (Karopamil) Divpropam Polri Brigjen Hendra Kurniawan yang kini sudah ditetapkan sebagai Tersangka dalam kasus Sambo karena dianggap melakukan perintangan hukum atau Obstraction of Justice.

Kabareskrim Komjen Agus Andrianto tampaknya menjadi sasaran tembak Genk Sambo. Namun Sang Jenderal tidak mundur sejengkal pun atas serangan balas dendam yang dilancarkan oleh pihak-pihak tertentu kepada dirinya. Di balik perang bintang, para mafia bermanuver agar kepentingan bisnis haramnya tetap aman.

Saya menjadi teringat ucapan Don Vito Corleone, tokoh sentral dari novel The God Father yang ditulis dengan deskripsi filmis oleh Mario Puzo, “Revenge is a dish that tastes best when served cold.” Balas dendam adalah hidangan yang paling enak disajikan dalam keadaan dingin.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar