Anthony Budiawan, Managing Director PEPS

Mau Menegakkan Hukum atau Hasutan Represif?

Selasa, 29/11/2022 13:45 WIB
Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (Sorot)

Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (Sorot)

Jakarta, law-justice.co - Video viral Benny Rhamdani sangat mengejutkan, secara terang-terangan memberi pernyataan kepada Presiden akan melawan (secara fisik?), kalau pemerintah tidak proses hukum kepada kelompok masyarakat yang menyampaikan pendapat kritis kepada pemerintah, khususnya kepada Jokowi.

Video yang menurutnya tidak utuh tersebut menunjukkan sifat otoriter anti kritik. Bahkan lebih jauh lagi, membujuk pemerintah untuk mengambil cara otoriter kepada masyarakat yang menyampaikan kritik.

Pernyataan ini sangat bahaya. Bisa mengundang benturan horisontal sesama anak bangsa. Padahal kritik adalah bagian dari demokrasi, kritik adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi. Pasal 28E Ayat (3) UUD mengatakan,

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Tetapi, menurut klarifikasi yang bersangkutan, kritik yang disampaikan ini bukan lagi sekedar kritik, tetapi upaya delegitimasi atau bahkan mau menjatuhkan pemerintah. Maka itu harus dilawan (alias “ditawur”?), kalau pemerintah tidak proses hukum, alias tangkap?

Klarifikasi ini juga sangat bahaya karena dapat dianggap sebagai fitnah kepada kelompok masyarakat yang kritis.

Karena itu, Benny Rhamdani harus bisa menunjukkan kritik mana yang dianggap delegitimasi atau mau menjatuhkan pemerintah?

Sebagai contoh, kalau ada masyarakat yang mengatakan “pemerintah gagal memberi kesejahteraan kepada masyarakat”, apakah ini delegitimasi dan mau menjatuhkan pemerintah, sehingga harus “ditawur”?

Benny Rhamdani juga mengatakan, kritik selalu dilakukan dengan pola yang sama: penyebaran kebencian, fitnah, adu domba antar suku dan agama, dan berita hoax, bahkan penghinaan dan pencemaran terhadap simbol-simbol negara, presiden, ibu negara. Sehingga menurutnya wajib “ditawur”?

Untuk hal ini, Benny Rhamdani juga harus klarifikasi apa yang dimaksud dengan penyebaran kebencian, fitnah, adu domba, berita hoax, dan lainnya itu. Dan wajib menunjukkan contoh kasus yang sudah terjadi.

Karena, jangan sampai yang dituduhkannya kepada kelompok masyarakat kritis ini hanya fitnah saja.

Sekali lagi, inti dari pernyataan Benny Rhamdani adalah, kalau pemerintah tidak bisa menegakkan hukum kepada kelompok masyarakat kritis, maka Benny Rhamdani bersama kelompoknya siap melakukan perlawanan (secara fisik?).

Kalau dicerna lebih dalam lagi, ungkapan Benny Rhamdani kepada Jokowi dapat juga dimaknai sebagai “ancaman” kepada Jokowi: kalau Anda tidak proses hukum kepada para “pengritik”, maka kami akan melawan (secara fisik?).

Selain bahaya, pernyataan Benny Rhamdani tersebut dapat menjadi bumerang. Kalau pemerintah tiba-tiba menangkapi masyarakat yang menyampaikan pendapat kritis, maka masyarakat mengerti siapa dalang di belakang itu semua.

Di sisi lain, pernyataan Benny Rhamdani mungkin sudah memenuhi pelanggaran Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatakan:

Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi tingginya tiga tahun.

Karena, pernyataan Benny Rhamdani “kami melawan” sudah bisa menerbitkan keonaran, dan yang disampaikannya merupakan berita bohong bahwa masyarakat kritis mau menjatuhkan pemerintah.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar